Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 04 Maret 2013

Melatih Guru Pelatih

JC Tukiman Taruna
Dalam konteks rencana penerapan Kurikulum 2013, angka dan jadwal seolah-olah sudah menggambarkan suatu kepastian (Kompas, 19/2). Akan tersedia 3.456 instruktur nasional: mereka akan melatih 46.213 guru inti/guru pelatih, selama seminggu, pada awal April 2013.
Jumlah guru inti (GI) dan guru pelatih (GP) yang sangat besar itu idealnya "hasil verifikasi" kabupaten/kota. Artinya, tiap kabupaten/kota harus menyediakan sekitar 93 calon GI/GP. Para calon GI/GP sebanyak itu pasti harus terdiri atas mereka yang berasal dari SD/MI, SMP/MTs, ataupun SMA/SMK/MA, mengingat Kurikulum 2013 diujicobakan di kelas I, IV, VII, dan X.
Sementara itu, dapat diduga, 3.456 instruktur nasional akan "disebar" ke kabupaten/ kota, sehingga setiap kabupaten/kota akan dipandu oleh sekitar tujuh instruktur. Pelatihan guru pelatih oleh tujuh instruktur nasional merupakan pelatihan yang penuh tantangan dan kerja keras, mengingat pelatihan semacam ini seyogianya menggunakan model pelatihan andragogi.
Selanjutnya, puluhan ribu GI/GP itu secara berjenjang akan melatih secara massal 712.947 guru kelas, selama 52 jam atau setara lima hari. Sebutlah, nantinya di setiap kabupaten/kota akan terlatih 1.435 guru kelas I, IV, VII, dan X oleh 93 GI/GP, dan hal itu akan terjadi pada bulan Mei atau Juni 2013.
Seperti diketahui, sebuah pelatihan yang ideal, jumlah peserta per kelas/rombongan sebaiknya tidak lebih dari 40 orang. Maka, di setiap kabupaten/kota diperlukan sekurangnya 36 kelas, yang secara paralel akan difasilitasi 93 GI/GP. Tantangan pelatihan ini pasti jauh lebih besar/kompleks dibandingkan dengan melatih guru pelatih bagi GI/GP, mengingat sangat bervariasinya kualitas guru kelas I, IV, VII, dan X di masing-masing satuan pendidikan yang juga sangat variatif di bumi Nusantara ini.
Andragogi
Semua pelatihan, apalagi pelatihan untuk guru, selalu dan pasti berlaku formula ini: "apa yang diperoleh, itulah yang akan diteruskan". Maksudnya, kalau GI/GP memperoleh/mengikuti pelatihan yang melulu ceramah, sudah dapat dipastikan mereka akan meniru atau meneruskan begitu saja model ceramah yang diperolehnya itu ketika GI/GP itu menangani pelatihan guru-guru. Bahkan, ekstremnya, lelucon yang diperoleh pun pasti akan diteruskan kepada guru-guru.
Pelatihan model serba ceramah bukanlah jelek. Akan tetapi, untuk sebuah kerja besar terkait implementasi Kurikulum 2013, model ceramah pasti akan sangat merugikan semua pihak.
Memang Kemdikbud telah merancang bahwa pelatihan berjenjang itu akan ditempuh dengan cara, pertama, penjelasan konsep Kurikulum 2013 (baca: ceramah); kedua, alasan mengapa harus terjadi perubahan dari KTSP ke Kurikulum 2013 (baca: ceramah); ketiga, memahami buku pegangan (baca: jangan-jangan juga ceramah); dan keempat, cara mengajar dengan metode tematik-integratif (baca: semoga penuh praktik individual).
Rasanya tidak berlebihan kalau disarankan agar empat substansi utama pelatihan guru pelatih tersebut semuanya dilaksanakan dengan pendekatan andragogi. Maksudnya, para peserta pelatihan hendaknya disentuh dengan model pelatihan orang dewasa, yakni minimal 60 persen dari alokasi waktu dipergunakan untuk praktik/kerja individual atau kelompok, boleh juga diskusi; dan kurang dari 40 persen alokasi waktu untuk ceramah oleh pelatih.
Praktik atau kerja individual/ kelompok jadi sangat penting mengingat guru-guru yang dilatih nantinya akan terus-menerus (setiap hari) menerapkannya di kelas masing-masing. Cara mengajar dengan metode tematik- integratif hanya akan berhasil jika pendekatannya learning by doing karena siswa harus benar-benar mengalami sendiri, melihat, menyentuh, mengamati, menganalisis, dan merumuskan sendiri di bawah fasilitasi guru. Guru akan dapat menjalankan metode tematik-integratif di kelasnya apabila hal itu benar-benar diperoleh dalam pelatihannya.
Jadwal selanjutnya setelah pelatihan guru pelatih yang disiapkan Kemdikbud ialah pendampingan di ruang kelas pada pertengahan Juli 2013. Pertanyaannya, siapa akan memberikan pendampingan itu? Logikanya ialah 93 GI/GP tersebut. Namun, karena para GI/GP itu juga guru yang aktif memegang kelas atau mata pelajaran di satuan pendidikannya, besar kemungkinan pendampingan di ruang kelas I, IV, VII, dan X akan mengalami kendala. Bukankah satu GI/GP rata-rata akan mendampingi sekitar 15 guru kelas dalam jadwal pendampingan yang relatif singkat? Sementara itu, selama ingar-bingar proses pelatihan guru pelatih, kepala sekolah/madrasah serta pengawas besar kemungkinan tak dilibatkan.
Dengan kata lain, ketika pendampingan oleh GI/GP di ruang kelas terjadi, jangan-jangan kepala sekolah/madrasah atau pengawas tidak tahu apa-apa. Kekhawatiran ini sangat beralasan. Bila itu terjadi, proses pendampingan yang seharusnya dilakukan kepala sekolah/madrasah dan pengawas akan tidak terjadi. Bahkan, kalaupun terjadi, harus menunggu waktu cukup lama karena menunggu giliran kepala sekolah/madrasah dan pengawas dilatih dulu hal yang sama.
Masukan untuk Kemdikbud
Prakarsa besar penerapan Kurikulum 2013 sebaiknya dipersiapkan dan dihitung lagi secara cermat. Hitung-hitungan di atas sekadar contoh sederhana. Namun, jika tidak dicermati sampai ke tingkat satuan pendidikan/sekolah, jangan-jangan hanya akan berhenti di proses pelatihan guru pelatih, tetapi tidak berdampak signifikan di kelas.
Pengalaman bersama Unicef Indonesia yang bekerja sama dengan Kemdikbud (waktu itu Depdiknas) sejak 1999/2000 mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah (MBS) di tingkat SD/MI membuktikan bahwa pelatihan selama kurun lebih dari lima tahun ternyata hanya mampu menjangkau tak lebih dari 10.000 pelatih. Oleh karena itu, pelatihan untuk implementasi Kurikulum 2013 tidak ada salahnya sejak awal melibatkan unsur kepala sekolah/madrasah dan pengawas.
Di samping itu, aspek pendampingan langsung dan terus-menerus terbukti menjadi kunci utama keberhasilan implementasi MBS. Siapa pendamping utama dalam hal ini? Tentu saja kepala sekolah/madrasah dan pengawas yang terlatih tadi. Bahkan, di sejumlah sekolah ada unsur komite sekolah atau orangtua yang terlibat dalam pendampingan, mengingat mereka juga mengikuti proses pelatihan berjenjang itu.
JC Tukiman Taruna Praktisi Manajemen Berbasis Sekolah di Jawa Tengah
http://cetak.kompas.com/read/2013/03/04/02144181/melatih.guru.pelatih
Powered by Telkomsel BlackBerry®

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger