Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 08 April 2013

Dilema Penyadapan (Heru Sutadi)

Oleh Heru Sutadi
Isu penyadapan menjadi salah satu klausul yang masuk dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Isu penyadapan menjadi menarik karena terkait anggapan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU HAP) akan melemahkan lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kewenangan penyadapan dianggap perlu melekat pada KPK mengingat manfaatnya dalam membongkar kasus-kasus korupsi di negeri ini.
Aturan penyadapan berelasi dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Pasal 31 Ayat 4 dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang berisi "tata cara penyadapan yang diatur oleh pemerintah". MK mengabulkan permohonan Wahyu Wagiman yang meminta pasal ini dihapus menanggapi rencana pembuatan RPP Penyadapan.
MK berpendapat, pembatasan mengenai penyadapan harus diatur dengan UU untuk menghindari penyalahgunaan wewenang yang melanggar hak asasi manusia (HAM). MK memandang perlu mengingatkan penyadapan dan perekaman pembicaraan merupakan pembatasan HAM. Pembatasan hanya dapat dilakukan dengan payung UU sebagaimana diatur Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945.
Diskursus di MK
Sebelum ramai dibahas dalam RUU HAP, diskursus penyadapan sebenarnya sudah berlangsung dalam pemutaran dan penyiaran rekaman pembicaraan telepon. Ini terutama setelah sidang di MK terkait uji materi (judicial review) Pasal 32 Ayat (1) huruf c UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang diajukan unsur pimpinan KPK non-aktif saat itu, Chandra M Hamzah dan Bibit S Rianto. Ada yang mendukung, ada yang menolak.
Yang mendukung melihat bahwa penyadapan sah dilakukan. Misalnya, bagi KPK, penyadapan menjadi alat ampuh menjerat para pelaku korupsi. Terbukti tim penyidik KPK beberapa kali berhasil membongkar ulah koruptor yang bahkan melibatkan penegak hukum.
Seperti kasus jaksa Urip Tri Gunawan, di persidangan terungkap, melalui penyadapan telepon ada hubungan antara Artalyta Suryani dan Urip, dan bahkan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Untung Uji Santoso. Dalam kasus Bibit-Chandra, tersebutlah tokoh Anggodo dan kawan-kawan.
Yang menolak penyadapan berargumen bahwa pembicaraan telepon, termasuk akses internet, merupakan wilayah pribadi dan dilindungi UU. Penyadapan serampangan membuat hal-hal pribadi terpublikasi.
Jaminan privasi
UU Telekomunikasi Nomor 36 Tahun 1999 menjamin privasi pengguna layanan telekomunikasi. Pasal 40 menyatakan, "Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apa pun".
Menurut Pasal 41, operator telekomunikasi wajib merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima konsumen jasa telekomunikasi. UU Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008 pada Pasal 31 Ayat (1) dan (2) juga melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan atau dokumen elektronik.
Namun, tetap ada perkecualian. Penyadapan (merekam informasi) dapat dilakukan untuk keperluan proses peradilan pidana atas permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu, serta permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai UU yang berlaku (Pasal 42 Ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 1999 dan Pasal 31 Ayat (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik No 11 Tahun 2008). Selain Kejaksaan dan Polri, berdasar UU 30 Tahun 2002 Pasal 12 Ayat (1) huruf a, KPK dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan juga dapat menyadap dan merekam pembicaraan.
Tidak mudah
Kenyataannya, penyadapan tidak selalu sesuai dengan UU, tugas, dan wewenang yang dimiliki. Permintaan tertulis tidak selalu ditandatangani Jaksa Agung atau Kapolri. Dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, ditengarai telepon seluler Rani Juliani dan Nasrudin Zulkarnaen disadap meski tidak langsung terkait tindak pidana korupsi.
Ada juga wartawan yang disadap, padahal ia melakukan tugas jurnalistik. Bahkan, ada seorang ibu yang sedang dalam proses perceraian disadap untuk kepentingan (bakal mantan) suami di pengadilan agama.
Dari pro dan kontra yang mengemuka, yang perlu dikedepankan adalah hak masyarakat, konsumen telekomunikasi, dan internet khususnya untuk tidak disadap. Dalam RUU HAP Pasal 83, tegas dinyatakan bahwa penyadapan pembicaraan melalui telepon atau alat telekomunikasi yang lain dilarang, kecuali terhadap pembicaraan terkait dengan tindak pidana serius atau diduga keras akan terjadi tindak pidana serius yang tidak dapat diungkap tanpa penyadapan.
Penyadapan hanya dapat dilakukan penyidik atas perintah tertulis atasan penyidik setempat setelah mendapat surat izin dari hakim komisaris. Aturan ini memberikan perlindungan privasi bagi masyarakat.
Sayangnya, aturan jenis tindak pidana serius yang dimasukkan terlalu banyak. Harusnya, dibatasi pada hal terkait keamanan negara, terorisme, korupsi, narkoba, pengancaman atau pemerasan, serta perampasan kemerdekaan/penculikan saja.
Selain itu, ketentuan Pasal 84 dalam RUU HAP menyebutkan, dalam keadaan mendesak penyidik dapat melakukan penyadapan tanpa surat izin dari hakim komisaris dengan ketentuan wajib memberitahukan penyadapan tersebut kepada hakim komisaris melalui penuntut umum. Hal itu dapat menjadi pembenar penyadapan tanpa izin.
Terkait isi RUU HAP, yang diperlukan adalah prosedur operasi standar dalam hal penyadapan. Misalnya, siapa yang berwenang menandatangani permintaan tertulis penyadapan, kapan boleh dilakukan, dan sampai berapa lama. Sebab, mungkin saja, walau belum ada indikasi tindak pidana atau korupsi, sudah disadap. Bahkan, yang tidak masuk dalam tindak pidana atau korupsi juga disadap.
Yang juga perlu diatur adalah audit penyadapan yang telah dilakukan penegak hukum. Ini untuk menilai apakah mekanisme penyadapan sesuai dengan prosedur operasi standar atau tidak. Sadap-menyadap yang tidak dapat dipertanggungjawabkan membuat masyarakat tidak percaya terhadap aparat penegak hukum dan pemerintah.
Terkait pembukaan dan penyebaran rekaman penyadapan, perlu dilihat kembali Pasal 17 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Ada beberapa informasi yang dikecualikan dari akses publik untuk mendapatkan informasi. Informasi yang dikecualikan itu antara lain apabila dibuka dan diberikan dapat menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana ataupun mengungkapkan identitas informan, pelapor, saksi, dan atau korban tindak pidana. Selain itu, dikecualikan juga informasi publik yang apabila dibuka dapat mengungkap rahasia pribadi.
Membuka penyadapan ke publik hendaknya disampaikan secara lengkap, sejak awal pembicaraan hingga selesai. Pembicaraan yang dipotong-potong berpotensi membuat teks keluar dari konteks.
Heru Sutadi Pengamat Sosial Politik; Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute
(Kompas cetak, 8 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®























Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger