Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 12 April 2013

Santet: Budaya dan Kejahatan (Oleh Amich Alhumami)

Oleh Amich Alhumami

Usulan revisi KUHP yang memasukkan santet ke dalam kategori tindak kejahatan yang dapat dipidana telah memicu polemik dalam masyarakat.

Undang-undang yang mengatur suatu hal berdimensi supernatural—seperti santet—memang selalu kontroversial.

Dalam kajian antropologi, santet merupakan gejala sosial budaya yang sangat kompleks karena terkait cosmological belief masyarakat, baik primitif maupun modern. Kompleksitas makin tinggi bila santet dikaitkan dengan upaya pengaturan dalam undang-undang karena harus mendudukkan secara jelas dua hal: budaya dan tindak kejahatan (culture and criminal offense).

Kejahatan terkait santet (witchcraft-related crime) harus dipahami dalam tiga kategori perbuatan. Pertama, perbuatan santet terhadap orang lain yang menyebabkan luka, derita, nasib buruk, sakit, bahkan kematian.

Kedua, syak wasangka/tuduhan terhadap seseorang sebagai dukun santet—disebut witchcraft accusations—sebagai pelaku santet, acapkali memicu kemarahan massa yang berujung anarki.

Ketiga, tindakan main hakim sendiri oleh kerumunan orang (taking the law into people's hands) terhadap seseorang yang dituduh sebagai dukun santet yang sering berakibat kematian.

Di sinilah letak komplikasi masalah santet sebagai tindak kejahatan berkonsekuensi hukum. Karena itu, apabila kejahatan santet hendak diatur di dalam KUHP, harus didefinisikan lebih dulu jenis-jenis perbuatan yang dapat dipidana dan dipilah perbuatan mana yang dapat disebut tindak kejahatan.

Penuh misteri

Santet adalah suatu fenomena yang penuh misteri dalam dua konteks. Pertama, santet melibatkan kekuatan gaib yang tidak bisa dideteksi indera manusia sehingga sangat sulit untuk melakukan obyektivikasi.

Obyektivikasi adalah suatu proses mematerialkan (baca: membuktikan) suatu gejala sosial agar dapat diamati, diidentifikasi, dan dieksaminasi oleh banyak—bukan hanya satu—orang untuk diterima sebagai peristiwa faktual atau kenyataan obyektif.

Kedua, perbuatan santet selalu tersembunyi dan dilakukan di suatu wilayah di luar jangkauan pengamatan langsung orang lain sehingga tidak ada yang dapat mengklaim tuduhan santet berdasarkan observasi dan bukti empiris. Dukun santet bekerja memanfaatkan kekuatan gaib atau memanipulasi magic power.

Para ahli antropologi menyebut santet sebagai penjelmaan psychic phenomenon sehingga tidak ada fakta keras (hard facts) yang dapat menjadi bukti konkret untuk mendukung sangkaan atas suatu tindak kejahatan santet. Untuk menguatkan tuduhan bahwa seseorang telah menyantet orang lain pun biasanya hanya merujuk pada circumstantial evidence—bukan empirical evidence—yang tecermin pada sikap iri, dengki, cemburu, marah, dendam, atau permusuhan satu orang dengan orang lain. Ketiadaan bukti fisik membuat hukum positif tidak bisa menjangkau tindak kejahatan santet atau menerima sebagai suatu realitas sosial.

Dua sisi

Dalam konteks ini, hukum formal yang bersandar pada pembuktian empiris seolah tidak berdaya ketika ada tuntutan untuk memprosekusi tindak kejahatan santet. Sebagian pihak bisa memaklumi kesulitan pembuktian tindak kejahatan santet dalam penegakan hukum.

Bagi pihak lain, terlebih lagi korban santet, ketidakberdayaan aparat penegak hukum mengadili tindak kejahatan santet menjadi alasan menggerakkan mob justice. Suatu bentuk peradilan komunal melalui mobilisasi massa dan digerakkan logika massa. Mob justice cenderung eksesif karena ia merefleksikan public outrage yang menjelma dalam aksi brutal, seperti membakar orang yang dituduh dukun santet.

Jika santet hendak diatur di dalam KUHP, bagaimana konstruksi hukumnya? Bagaimana di di negara lain? Pertanyaan pertama biarlah dijawab para pakar. Pertanyaan kedua, penulis dapat menyajikan sejumlah ilustrasi.

Banyak negara di berbagai belahan dunia—membentang dari Afrika sampai Amerika Utara—mengatur masalah santet di dalam kitab undang-undang yang disebut Criminal Code. Afrika Selatan punya The South African Witchcraft Suppression Act (Nomor 3, 1957). Tertulis, "Any person who professes knowledge of witchcraft or the use of charms shall be guilty of an offence where the accused has been proved to be a witchdoctor or witch-finder."

Zambia punya The Zambian Witchcraft Ordinance (No 31, 1952) yang menyebut: "Whoever shall be proved to be a witchdoctor or witch-finder shall be liable upon conviction to a fine" (Theodore Petrus, Defining Witchcraft-Related Crime, 2011).

Hukum berkuasa

Republik Pantai Gading menggunakan Criminal Law warisan Perancis—negara modern yang menjadi salah satu pelopor Renaisans Eropa—untuk mengadili pelaku kejahatan dengan prinsip nemo censitur ignorare legem (no one should ignore the law), termasuk pelaku santet (Veerle Gijsegem, Criminal Law of French Origin—The Modernity of Witchcraft Trials in the Republic of the Ivory Coast, 2006).

Jangan terkejut, negara yang sangat maju seperti Kanada juga mengatur santet dalam The Canadian Criminal Code (c.C-46, 1985, section 365), tertulis: "Everyone who fraudulently (i) pretends to exercise or to use any kind of witchcraft, sorcery, enchantment; (ii) undertakes, for a consideration, to tell fortune; or (iii) pretends from his skill in or knowledge of an occult or crafty science to discover where or in what manner anything that is supposed to have been stolen or lost may be found, is guilty of an offence punishable on summary conviction."

Esensi moralitas hukum adalah memberi proteksi atas hak hidup, jaminan perlindungan properti, memelihara ketertiban dan keteraturan sosial, serta mewujudkan keadilan bagi setiap insan. Sebagai bagian dari budaya, santet adalah anathema esensi moralitas hukum. Namun, mengingat pelik dan dampaknya bagi tertuduh, pembuatan aturan hukum harus hati-hati dan penuh pertimbangan.


Amich Alhumami Antropolog; Meraih PhD dengan Tesis Doktoral Berjudul "Political Power, Corruption, and Witchcraft in Modern Indonesia" dari The University of Sussex, United Kingdom

(Kompas cetak, 12 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger