Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 03 Mei 2013

Kemiskinan dan Kepemimpinan (SUWIDI TONO)

SUWIDI TONO
Pada Kongres Himpunan Ilmuwan untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial 1979, Soedjatmoko mengurai kemiskinan dengan pendekatan holistik, melampaui metode pengukuran baku yang simplistis.
Cendekiawan humanis ini menukik ke tali-temali struktur dan kultur dalam memaknai hakikat kepapaan. Sebuah kajian lintas disiplin serupa Clifford Geertz (Agricultural Involution, 1968), juga Sajogyo (Modernization without Development in Rural Java, 1973).
Mengungkap kemiskinan bukan merupakan kecaman terhadap rezim sekarang. Fenomena endemis ini sudah berlangsung sejak dahulu, bahkan sebelum era kolonial. Selain kemiskinan fisik, ikhtisar berikut juga mengaitkannya dengan kemiskinan solidaritas dan pemikiran. Indonesia hari ini mengidap semuanya dalam takaran akut.
Guremisasi
Salah satu sumber kemiskinan fisik adalah levelling-off, daya dukung lingkungan tidak mampu menyangga aktivitas produksi dan kebutuhan konsumsi sehingga diperlukan impor. Inovasi kebijakan mandek, tekad swasembada pangan untuk mengikis kemiskinan perlahan meredup. Impor beras, hortikultura (sayur dan buah), dan bermacam bahan pangan lainnya bukan lagi temporer, melainkan sebuah keniscayaan.
Konversi lahan pertanian di Jawa untuk properti, industri, dan infrastruktur semakin tidak terkendali. Di luar Jawa, pemusnahan keanekaragaman hayati berlangsung pesat seiring penetrasi modal besar lewat konsesi perkebunan monokultur terutama karet dan kelapa sawit. Pembabatan hutan makin liar dengan laju seluas lapangan bola setiap menit (IPB, 2008).
Pengalaman transformasi ekonomi melalui reforma agraria dan industrialisasi terencana di sejumlah negara berhasil meningkatkan pemilikan lahan petani sesuai skala ekonomi. Sebaliknya, di Indonesia rata-rata pemilikan lahan petani merosot 20 persen selama 1970-2003, dari rata-rata 0,9 hektar menjadi 0,7 hektar. Pada periode yang sama, bandingkan dengan Jepang (dari 4,5 menjadi 16,5 hektar), Korsel (0,8 menjadi 1,0 hektar), Brasil (59,4 menjadi 72,8 hektar), Denmark (11,6 menjadi 22 hektar), dan Thailand yang rata-rata pemilikan lahan petani 3,2 hektar.
Bukan hanya petani gurem (pemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar) yang terus bertambah, tetapi juga petani tak bertanah alias buruh tani. Terdapat 6,1 juta rumah tangga pertanian (RTP) buruh tani di Jawa dan 5 juta RTP di luar Jawa. Berarti sekitar 32 juta jiwa petani adalah bagian dari keluarga buruh tani, dan 90 juta jiwa adalah bagian dari keluarga petani subsisten (Bonnie Setiawan, 2009).
Upaya melepaskan diri dari belitan kemiskinan dalam wujudnya yang dramatis berupa membanjirnya jutaan tenaga kerja kurang terampil ke luar negeri dan meledaknya jumlah pekerja nonformal dalam beberapa dasawarsa terakhir belum dianggap sinyal bahaya. Singkatnya, transformasi ekonomi Indonesia mengalami antitesis, melahirkan guremisasi, dan malah menghancurkan pertanian.
Kedua, struktur masyarakat sedemikian timpangnya. Sedikit orang sangat kaya menguasai sumber-sumber ekonomi secara permanen. Sementara bagian terbesar rakyat tak memiliki aset memadai. Rakyat kehilangan empati berupa pembelaan dari para pengambil kebijakan untuk mempertahankan hak atas tanah, kelangsungan mata pencarian, dan habitatnya.
Kemiskinan solidaritas tampak mengenaskan ketika industri pertanian berbasis impor (terigu, kapas, gula, dan kedelai) malah beroleh insentif ketimbang industri bertumpu bahan baku domestik melimpah (minyak sawit, karet, kelapa, dan umbi-umbian). Perubahan pola makan rakyat justru didorong dan melumpuhkan kemandirian pangan (JF Fabiosa: Westernization of the Asian Diet: The Case of Rising Wheat Consumption in Indonesia, 2006).
Ketiga, yang sangat menggelisahkan adalah kemiskinan pemikiran. Warga kehilangan gairah untuk mempertanyakan hal-hal mendasar dalam hidup pribadi, bermasyarakat, dan bernegara. Truisme, hal-hal sepele dan tidak ada unsur kebaruan, mendominasi wacana publik. Masyarakat bergerak dari produksi dan konsumsi semata.
Pemimpin visioner
Kaum miskin mengukuhi subsistensi dan resistansi dengan aneka penyesuaian demi bertahan hidup. Golongan menengah-atas yang miskin solidaritas dan pemikiran nyaman bergelayut dalam kehidupan profan, abai terhadap gawatnya masa depan bagi anak-cucu kelak. Franz Magnis-Suseno menyebutnya "masyarakat dangkal".
Kemiskinan struktural dan kultural tidak mungkin diatasi dengan strategi penanggulangan yang selama ini cenderung menggunakan pendekatan ringkas, malas, dan pragmatis, serta lebih banyak bersifat guyuran bantuan (charity) daripada pendampingan terus-menerus dan pemihakan nyata (konsientisasi).
Juga mustahil dipecahkan dengan racikan anggaran tahunan yang dipengaruhi kepentingan politik, kondisi ekonomi, dan kapasitas fiskal. Pergantian beberapa kali rezim menunjukkan rendahnya pemahaman hakikat dan aksi konkret mengikis kemiskinan.
Dibutuhkan sejumlah pemimpin yang visioner untuk menjawab kondisi darurat ini. Mengadopsi Jack Welch, dalam situasi luar biasa perlu pemimpin dengan tiga karakter kunci.
Pertama, head: kepandaian yang menginspirasi dan memancarkan keyakinan tinggi. Kedua, heart: ketulusan hati dan kebesaran jiwa yang gigih berikhtiar demi kemaslahatan dan kemuliaan martabat bangsa. Ketiga, gut: keberanian memutuskan serta mengambil risiko dan pengorbanan untuk memancangkan capaian baru yang membuat semangat rakyat meluap.
Determinasi kuat dan spirit vocatio dari para pemimpin inilah sumber magma baru untuk menghapus artefak kemiskinan peradaban. Dari khazanah klasik, dapat dipakai inspirasi dari Haji Oemar Said Tjokroaminoto dalam memilih pemimpin bangsa untuk menggalang solidaritas dan menguatkan gerakan "Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat."
SUWIDI TONO Koordinator Forum Menjadi Indonesia
(Kompas cetak, 3 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger