Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 03 Mei 2013

Masa Depan Demokrasi (Bawono Kumoro)

Bawono Kumoro
Presiden SBY baru saja menerima gelar doctor of letters dari Nanyang Technological University, Singapura. Menurut rektor universitas itu, Bertil Andersson, inilah pengakuan dunia akademik di Singapura atas kemajuan Indonesia di bawah SBY.
Ketika berpidato, Presiden SBY menceritakan sejumlah transformasi penting yang dilakukan Indonesia pada abad ke-21, terutama di bidang politik. Kini, perkembangan demokrasi Indonesia sangat pesat sehingga menjelma menjadi negara demokrasi ketiga terbesar dunia.
Pelaksanaan Pemilihan Umum 1999, 2004, dan 2009 yang berlangsung secara demokratis seakan menjadi bentuk penegasan sikap bangsa Indonesia untuk memilih demokrasi sebagai jalan hidup berbangsa dan bernegara. Pengalaman hidup di bawah rezim otoriter selama lebih dari tiga dasawarsa ternyata tidak menghambat bangsa Indonesia untuk bertransformasi menjadi negara demokrasi secara damai.
Meskipun demikian, harus diakui bahwa setelah 14 tahun berpaling dari rezim otoritarianisme, eksistensi demokrasi di Indonesia ternyata belum banyak memberi arti. Demokrasi seakan hanya menjadi konsumsi sekelompok elite politik. Apa yang ada di benak sebagian besar elite politik kita bukanlah bagaimana cara menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat, melainkan justru kapan dan bagaimana cara merebut, menjalankan, dan mempertahankan kekuasaan.
Realitas miris dari praktik politisasi kekuasaan itu memunculkan kegundahan kita semua, apakah pilihan terhadap demokrasi yang ditempuh bangsa Indonesia sejak 1998 sudah benar.
Tiga hal
Penulis teringat pidato Boediono dalam acara pengukuhan Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada pada tahun 2007. Melalui pidato "Dimensi Ekonomi Politik Pembangunan Indonesia", Boediono berusaha mencari jawaban atas kegundahan tersebut.
Pada bagian awal pidato, Boediono dengan penuh keyakinan menjawab kegundahan itu. Ia menilai Indonesia telah berada di jalur benar (on the right track) dalam menjatuhkan pilihan jalan demokrasi. Namun, posisi itu tidak serta-merta menjadi jaminan bahwa bangsa Indonesia pasti akan sampai pada tujuan dan cita-cita bersama.
Boediono mencoba memetakan risiko-risiko yang mungkin dihadapi setiap bangsa yang hendak melakukan modernisasi dan demokratisasi, termasuk Indonesia. Boediono berpendapat, ada tiga hal utama yang berpotensi menghadirkan risiko.
Pertama, kohesi sosial. Syarat paling mendasar bagi keberhasilan proses transformasi setiap bangsa adalah kemampuan mempertahankan eksistensi dan keutuhan. Kemampuan itu sangat bergantung pada kekuatan kohesi sosial.
Setiap bangsa memiliki kapasitas kohesi sosial yang berbeda. Yang perlu diwaspadai, terutama pada tahap-tahap awal rawan, adalah kepandaian menjaga keseimbangan kekuatan kohesi sosial di satu sisi dengan kecepatan perubahan di sisi lain.
Dalam pandangan Boediono, kohesi sosial bangsa Indonesia termasuk dalam kelompok peringkat sedang. Bangsa Indonesia beruntung karena tidak memiliki sejarah perseteruan panjang antarkelompok, suku, dan agama. Para pejuang kemerdekaan dan pendiri bangsa telah berhasil menempa kesadaran berbangsa meski negara berdiri di atas keragaman budaya, agama, dan tradisi yang berpotensi menimbulkan perpecahan.
Demokratisasi, desentralisasi, modernisasi, dan transformasi menuju keterbukaan. Apabila tidak dikelola dengan arif, semua itu dapat menciptakan kekuatan-kekuatan sentrifugal. Sebaliknya, pendidikan dan pertumbuhan ekonomi yang tersebar dan penerapan good governance akan memperkuat kohesi sosial.
Kedua, kinerja ekonomi. Risiko besar lain yang menghadang perjalanan transformasi bangsa adalah stagnasi ekonomi atau kemunduran ekonomi. Apabila hal itu terjadi, besar kemungkinan proses transformasi bangsa akan kandas di tengah jalan. Dalam mengelaborasi hal itu, Boediono menggunakan sebuah studi empiris sepanjang 1950-1990.
Studi itu menunjukkan, rezim demokrasi di negara-negara dengan penghasilan per kapita 1.500 dollar AS (berdasarkan paritas daya beli) memiliki harapan hidup delapan tahun. Pada tingkat penghasilan per kapita 1.500-3.000 dollar AS, demokrasi dapat bertahan rata-rata 18 tahun. Pada penghasilan per kapita di atas 6.600 dollar AS, daya hidup sistem demokrasi jauh lebih besar dengan probabilitas kegagalan 1 banding 500. Artinya, benih demokrasi baru akan bersemai dengan baik jika pendapatan per kapita suatu negara 6.600 dollar AS.
Pendapatan per kapita Indonesia saat ini masih pada level 3.000-4.000 dollar AS per kapita. Karena itu, Boediono memperkirakan perlu waktu sekitar sembilan tahun bagi Indonesia untuk mencapai batas aman. Perkiraan itu berdasarkan pada asumsi pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 persen per tahun dengan laju pertumbuhan penduduk 1,2 persen per tahun.
Ketiga, kelas pembaharu. Salah satu simpul kritis dalam pembangunan demokrasi adalah terciptanya kelas pembaharu yang mampu berperan sebagai pendorong dan pengawal demokratisasi. Demokrasi di sini harus diartikan secara substantif dan tak sebatas aspek prosedural seperti pemilihan umum.
Tidak jarang kita merasa kecewa karena pada tataran realitas belum dapat merasakan kondisi sebagaimana di negara-negara demokrasi mapan meskipun hampir seluruh mekanisme formal demokrasi telah kita penuhi. Tanpa kehadiran kelas pembaharu, proses demokratisasi hanya akan menghasilkan demokrasi yang berjalan tanpa sukma.
Ekonomi krusial
Dari ketiga hal itu, kinerja ekonomi memang menjadi hal paling krusial dalam menentukan masa depan demokrasi sebuah negara. Beruntung, awan kelabu krisis global yang tengah melanda sebagian besar negara di Eropa dan AS tidak membawa imbas negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia dari tahun ke tahun terus berada dalam tren positif. Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama beberapa tahun belakangan ini selalu berada di atas 6 persen. Pada tahun 2012, pertumbuhan ekonomi mencapai 6,23 persen atau kedua terbesar di dunia setelah China.
Tren positif kinerja ekonomi Indonesia itu tentu melegakan. Karena itu, kita layak optimistis demokrasi Indonesia memiliki masa depan yang cerah.
Semoga.
BAWONO KUMORO Peneliti Politik The Habibie Center
(Kompas cetak, 3 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®






















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger