Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 30 Mei 2013

Merosotnya Kepercayaan Publik (Tajuk Rencana Kompas)

Terungkapnya aliran uang Rp 4 miliar ke politisi DPR dalam kasus dugaan korupsi pengadaan simulator menambah faktor terus merosotnya kepercayaan masyarakat.

Daftar ketidakpuasan itu semakin panjang. Semakin banyak pula anomali, teka-teki atas berbagai masalah dan cara menyelesaikannya. Semua masalah dianggap selesai dengan janji dan pernyataan, selesai dengan politik "dagang sapi".

Kalau ketidakpercayaan dibiarkan, krisis pemerintahan akan terjadi, yang berujung pada krisis rezim. Potensi negara gagal yang ditakutkan berawal dari merosotnya kepercayaan publik (public trust). Akan lebih baik apabila ketidakpercayaan itu memperoleh outlet, lewat unjuk rasa, protes, atau konflik; sebaliknya, lebih berbahaya yang diam apatis.

Sekitar 70 persen atau 291 kepala daerah terlibat kasus korupsi dalam kurun 2004-2013. Komisi Pemberantasan Korupsi menangani 41 orang, 9 di antaranya gubernur, contoh bibit ketidakpercayaan. Otonomi daerah, selain menghasilkan pemimpin daerah yang inovatif, juga melahirkan koruptor, pemerataan korupsi, dan sosok-sosok yang seolah-olah tak tersentuh hukum.

Selain contoh besarnya persentase kepala daerah yang terlibat korupsi—tidak seluruhnya korup, sebagian karena kesalahan manajemen—masih banyak contoh lain. Jabatan publik, dalam artian kedudukan dan eksistensinya dari rakyat dan untuk rakyat, ternodai. Efektivitas dan efisiensi praksis pemerintahannya mandul.

Ketika perilaku wakil rakyat—tidak seluruhnya memang—tidak pantas jadi teladan, eksistensi mereka tidak lebih dari "togok" dalam kisah pewayangan. Anggap saja banyolan. Ketika ketidakpastian selalu dijadikan wacana keputusan-keputusan politik, tanpa sengaja perilaku itu mempersubur ketidakpercayaan publik.

Perpolitikan memang tak hitam putih, tidak dua tambah dua sama dengan empat. Akan tetapi, ketika semua diskenariokan sebagai pencitraan sekaligus menafikan realitasnya—padahal kurang mudarat, negara dan bangsa ini menuju kebangkrutan.

Dalam sisa waktu setahun pemerintahan (nasional) SBY, ada baiknya dilihat kembali janji-janji yang pernah disampaikan. Sudah saatnya mulai dibangun kepercayaan, demi warisan nama baik, bukan hanya pujian, awards, dan penghargaan, melainkan sejauh mungkin diusahakan restorasi dan perbaikan bagi kepentingan publik/masyarakat.

Dengan demikian, terkikis pelan anomali politik dan ketidakpercayaan, sekaligus merajut terkoyaknya luka ketidakpercayaan rakyat, yakni menegakkan demokratisasi, tatanan hukum, dan keadilan bagi kepentingan rakyat banyak. Kalau tidak, kondisi pra-Reformasi menjadi candu, sekaligus terpupuk merosotnya kepercayaan publik. Habis sudah kita!

***
(Tajuk Rencana, Kompas, 30 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger