Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 08 Juni 2013

Merasa Cukup Kaya (INDRA TRANGGONO)

Oleh INDRA TRANGGONO

Merasa cukup, itulah yang kini hilang dalam kesadaran etis bangsa ini. Menumpuk-numpuk kekayaan dan mengejar kenikmatan pun jadi "etos" baru seiring dengan maraknya korupsi.

Terminologi rumongso cukup (sadar pada kecukupan) diintrodusir kritikus sastra dan budayawan Faruk. Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada itu melihat dan merasakan kaya tanpa mengenal batas telah menjadi pilihan mayoritas bangsa demi meraih berbagai kenikmatan, kenyamanan, dan "kehormatan" sosial. Kerakusan pun menjadi watak yang sepenuhnya tidak lagi dikutuk, tetapi justru dirayakan.

Masyarakat pun semakin permisif (serba boleh). Kaum koruptor pun tak lagi mendapatkan sanksi sosial yang berat, tetapi justru "dimaklumi", bahkan disambut dengan selebrasi. Siapa pun yang korupsi atau menjadi bagian dari persekongkolan penyolongan duit rakyat kini justru semakin populer dan "diterima" publik. Tanpa disadari, politik media massa—yang meletakkan negativitas sebagai basis pemberitaan—telah mengapitalisasi isu korupsi beserta aktor-aktornya menjadi komoditas.

Menjadi kaya merupakan hak setiap bangsa. Namun, kearifan Jawa memberikan peringatan: sugih tanpa ngasorake diri lan liyan (menjadi kaya tanpa harus mengorbankan kehormatan diri sendiri atau orang lain). Ini terhubung dengan ucapan pujangga Ronggowarsito: sak beja-bejane wong kang lali ising bejo wong kang eling lan waspada (kesadaran lebih utama dari lupa/khilaf).

Dari sini, dalam konteks kekayaan, perlu dikutip pelesetan yang mengatakan: sak beja-bejane wong kang sugih, isih beja wong kang duwe rasa cukup, nanging ya tetep sugih (keberuntungan orang kaya masih kalah beruntung dengan orang yang punya rasa cukup, tapi ya tetap kaya).

Meja makan

Kekayaan merupakan pencapaian diri yang sah sepanjang ia tetap dalam kontrol moral dan etik. Dengan kaya kita bisa menolong diri sendiri dan orang lain dari tekanan kemiskinan yang berpotensi menghilangkan martabat. Artinya, kekayaan bukan tujuan hidup, melainkan menjadi jalan budaya untuk membangun keberadaban manusia.

Budayawan YB Mangunwijaya mengatakan, orang bisa disebut kaya jika ia memiliki banyak kemungkinan untuk melakukan berbagai tindakan yang meluhurkan kemanusiaan. Dunia kemungkinan itu adalah nilai-nilai ideal kehidupan yang disangga secara kolektif.

Merasa cukup dalam menyikapi kekayaan merupakan konsep etik dan moral. Ia tidak hanya menghindarkan manusia dari watak tamak, tetapi juga membangun moralitas yang melekat pada kesadaran untuk selalu mau berbagi dengan orang lain. Ibaratnya, orang kaya yang berbudaya tidak akan memperlebar meja makannya hingga menggusur hak-hak orang lain. Ia merasa cukup dengan meja makannya yang kecil atau sedang sehingga masih tersedia ruang bagi orang lain untuk turut menikmati nasi dan lauk kesejahteraan.

Namun, kini yang terjadi pada mayoritas bangsa ini—terutama yang memiliki kuasa politik, ekonomi, sosial, dan budaya—justru menyelenggarakan festival kerakusan dengan ramai-ramai memperbesar meja makan masing- masing. Mereka pamer menu makanan berharga jutaan untuk sekali makan di depan orang- orang yang hanya bisa membayangkan rasa kenyang.

Dengan meja makan yang terus diperbesar, mereka tidak mengenal rasa cukup. Kekayaan yang mereka peroleh bukan menerbitkan rasa syukur melainkan justru menambah rasa lapar mereka untuk meraih kekayaan yang lebih besar, dengan cara-cara yang menyimpang moral dan melawan hukum.

Pada masa Orde Baru, orang sudah cukup syok mencuri uang negara bernilai puluhan atau ratusan juta. Akan tetapi, kini para koruptor merasa belum "berprestasi" jika belum mampu nyolong duit negara miliaran atau triliunan rupiah. Ketamakan telah merevitalisasi korupsi terkait jenis, teknik, dan capaiannya.

Imaji kebangsaan

Dalam sikap hidup yang permisif atas materi dan kenikmatan yang kini dominan dan hegemonik, mayoritas bangsa ini kian kehilangan imajinasi tentang kebangsaan. Dalam kemiskinan imajinasi dan kedangkalan cara berpikir, kebesaran bangsa tak lagi menjadi obsesi kolektif, tetapi sekadar dipahami sebagai mitos.

Konsumerisme yang diberhalakan telah mengubah kesadaran atas bangsa menjadi kesadaran atas ego pribadi dan kelompok. Kekayaan personal yang menjulang dianggap lebih mulia dibandingkan kesejahteraan yang terdistribusi bagi publik. Bangsa ini cenderung makin meng-"aku" (aku sebagai pusat kepentingan), tidak lagi meng-"kita" (kolektivitas sebagai orientasi nilai).

Kita khawatir ke depan ukuran kebangsaan bukan lagi rasa senasib, melainkan kekayaan tanpa mengenal rasa cukup. Siapa pun akan tidak diakui sebagai bagian dari bangsa ini hanya karena miskin. Cap sebagai beban negara pun disematkan kepada kaum papa.

Ke depan bangsa ini lebih membutuhkan pemimpin-pemimpin berkapasitas negarawan berkemampuan manajerial daripada penguasa-penguasa yang tak lebih dari "satuan pengaman" bagi kepentingan asing.

INDRA TRANGGONO Pemerhati Kebudayaan

(Kompas cetak, 8 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger