Minimal melalui film Sang Kyai, kita diingatkan betapa besar kontribusi pesantren (kiai) yang sering disebut sebagai kaum sarungan dalam pergulatan merumuskan "Indonesia".
Bagaimana para kiai menjadi entitas penting bersama kaum nasionalis mempercepat takdir Indonesia menuju pintu gerbang kemerdekaan, baik melalui perjuangan fisik maupun lewat jalur melingkar diplomasi. "Atas berkat rahmat Allah," inilah penggalan teks pembukaan UUD 1945 yang dengan jujur meneguhkan bahwa kemerdekaan itu bukan sekadar perjuangan fisik, militansi, dan gelora kaum pejuang, melainkan juga terlibat di dalamnya dua diksi metafisik yang sangat akrab dengan dunia pesantren "barakah" dan "rahmat Allah". Berkah atau barakah dan rahmat Tuhan yang boleh jadi hari ini, ketika kemerdekaan menginjak usia 67 tahun, semakin menjauh.
Kehilangan roh
Korupsi yang menggurita dan kekerasan yang terus mengepung menjadi alamat utama ihwal negara yang telah lumpuh kehilangan roh kemerdekaannya. Salah urus. Berkah itu telah menguap karena kita terlampau banyak melakukan tindakan politik bernegara yang "bidah" sebidah-bidahnya. Diperankan Ikranegara dengan apik, Hadaratusy Syekh yang berarti mahaguru (KH Hasyim Asy'ari, pendiri ormas NU) dengan visi jelas menautkan antara tenda nasionalisme dan payung agama (Islam) dalam sebuah langgam yang harmonis-dialektis. Tentu sebelum sampai pada kesimpulan mengawinkan agama dan nasionalisme, Sang Kiai melakukan ijtihad yang koheren.
Kiai Hasyim tak hanya membacanya lewat optik fikih (istinbath al-hukmi), tapi juga secara komprehensif dengan melihat latar fikih kebangsaan dan semangat untuk lebih mengedepankan kebersamaan yang jadi fakta "keindonesiaan" seperti sebelumnya telah diikrarkan secara puitis oleh Mohammad Yamin dan kawan-kawan melalui Sumpah Pemuda atau jauh ke belakang secara mistis ditating Gadjah Mada dalam hikayat Sumpah Palapa.
Dengan sangat visioner, dalam suasana kontestasi ideologi yang kental (nasionalis, komunis, Islam) ditambah sekapan kolonial Jepang dan Belanda yang ingin mencengkeramkan kembali hasrat penjajahannya, justru Sang Kiai mampu berkelit menawarkan sebuah jalan tengah elegan. Di satu sisi, kaum kolonial dilawan yang berpuncak pada heroisme "resolusi jihad", di sisi lain Sang Kiai menyodorkan politik moderat dalam konteks keindonesiaan yang masih mencari bentuk.
Bacaannya terhadap literasi tradisionalisme yang tuntas, yang biasa disebut kitab kuning, tidak kemudian menjebaknya dalam fantasi politik keagamaan ahistoris dan utopis semacam pan islamisme yang ditawarkan Jamaluddin al-Afgani, Darul Islam yang diusung Kartosuwiryo, atau sistem khilafahnya yang digembar-gemborkan hari ini oleh Hijbut Tahrir, tapi justru melakukan "formula politik baru" yang dijangkarkan pada haluan kultural dan akar spirit keagamaan inklusif.
Walaupun lama belajar di Mekkah (1893-1899) yang notabene merupakan sarang gerakan Islam puritan wahabisme, Sang Kiai tetap berpikir "mandiri" dan mengembangkan sayap Islam "khas Nusantara", Islam yang mampu beradaptasi dengan dinamika budaya lokal. Khas ulama yang "dilahirkan" dari tangan dingin Nawawi al-Bantani (1813-1897) dan Mahfudz Termas (1868-1919) sebagai elite ulama Jawi yang membangun jaringan intelektualisme di Mekkah yang kemudian menumbuhkan murid-murid cerdas lainnya, selain Sang Kiai.
Sebut saja Syekh Khalil Bangkalan (wafat 1923), Wahab Hasbullah (1888-1971), Bakri bin Nur (1887-1943), Asnawi Kudus (1861-1959) dan Haji Hasan Mustapa (1852-1940) dari tanah Pasundan yang mengembangkan "Islam Sunda" lewat ribuan cemerlang dangding mistiknya. Di tangan Sang Kiai, lokalitas tidak kemudian dianggap liyan, tetapi jadi mitra dialog sehingga terjadi sebuah upaya pergulatan kreatif saling memperkaya peradaban satu dengan lain. Sebagaimana gelombang hellenisme ketika Islam berdialog dengan kebudayaan Yunani abad pertengahan.
Dalam konteks ini, gagasan Abdurrahman Wahid tentang pribumisasi Islam sesungguhnya merupakan mata rantai dari Islam kultural yang digagas Sang Kiai (kakeknya) dan para ulama pendahulunya. Islam dengan wajah pribumi lengkap dengan budayanya dianggap penting agar umat tak kehilangan landasan kulturalnya. Islam yang tumbuh dengan keragaman budaya tidak monolitik. Sebagaimana dikatakan Kuntowijoyo, agama perlu budaya seperti budaya membutuhkan agama. Agama tanpa budaya akan kering dan hanya sekadar semangat teriakan "Allahu Akbar", sebagaimana kebudayaan tanpa topangan agama tak akan memiliki visi yang jelas.
Dialektika antara budaya lokal dan "api Islam" ini yang kemudian membuat Sang Kiai dan para santrinya tak asing ketika menemukan "Indonesia Baru" bersama Soekarno, Hatta, Bung Tomo, dan Sjahrir. Bukan hanya tak asing di rumah sendiri yang telah mereka bangun dengan darah dan air mata, melainkan juga dengan sikap terbuka mampu menangkap tanda-tanda zaman. Sang Kiai (dan kiai-kiai lain) biarpun tak berada di episentrum kekuasaan, dengan modal teososial dan kultural cermat menerakan elan vital ke mana sesungguhnya "bangsa" ini harus diarahkan. Sekali ijtihadnya keliru, bukan hanya Sang Kiai dan para santri dipertaruhkan, melainkan juga bangsa dan agama yang jadi meja pertaruhannya.
Keteladanan
Sang Kiai berpolitik dengan nalar sehat yang ditopang moralitas kokoh. Keteladanan menjadi kunci utama melakukan "dakwah". Beliau tak menyerukan keharusan hidup sederhana, tapi memberikan contoh nyata dalam pergulatan sejarah kesehariannya ihwal sikap asketik yang menjadi pilihan hidupnya sebagaimana terbaca dalam salah satu karyanya, arRisalah fi at-Tasawuf.
Perbedaan dan keragaman disikapi bukan sebagai "ancaman", melainkan modal sosial untuk membangun persaudaraan yang autentik seperti dapat disimak dalam karyanya yang lain, at-Tibyan fi an-Nahyi an-Muqathaat al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan. Tak terbayangkan absurdnya perjuangan Sang Kiai seandainya polahnya berbanding terbalik dengan "pidatonya". Tak tebersit sedikit pun gambaran Hadaratusy Syekh (dan KH Ahmad Dahlan) sebagai pemimpin umat melakukan penghinaan terhadap politik profetiknya dengan cara melakukan permainan impor daging sapi, mengawini para perempuan wangi, apalagi korupsi kitab suci. Sebagaimana dilakukan akhir-akhir ini dengan menjijikkan oleh insan politik, baik yang berlatar agama maupun sekuler dan nasionalis, di awal abad ke-21. Di hadapan Sang Kiai kita becermin tentang satunya kata dengan perbuatan, ihwal agama dan bangsa yang tak boleh kehilangan khitahnya: sebagai media penghayatan dan medan praksis sosial politik agar kehidupan tak kemudian kehilangan adab.
ASEP SALAHUDINEsais; Dekan IAILM Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat
(Kompas cetak, 21 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar