Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 09 Juli 2013

Ada Apa dengan RUU Ormas (Sugeng Bahagijo)

Oleh: Sugeng Bahagijo  

Dua tahun menjelang masa tugasnya berakhir pada tahun 2014, pemerintahan SBY sebaiknya lebih berhati-hati dan cermat dalam melihat apa yang sedang diajukan oleh para pembantunya. Hal ini setidaknya relevan dalam kaitan dengan RUU Ormas.

Dari perspektif apa pun, Presiden SBY lebih banyak dirugikan ketimbang diuntungkan karena RUU Ormas ini telah menimbulkan kontroversi tak perlu serta kerugian politik tak ringan bila diteruskan dan disahkan.

Dari teman saya di International NGO yang bekerja di Tanah Air, saya mendengar kekhawatiran dan ketakutan. Padahal, selama ini mereka mematuhi semua protokol dan regulasi, termasuk pelaporan, keterbukaan, dan pengawasan lembaga mitra mereka di pemerintahan.

RUU Ormas akan membatasi dan kemungkinan besar bisa mematikan ornop, seperti ICW dan Greenpeace, serta lembaga seperti Kontras dan Imparsial. Padahal, mereka banyak berjasa bagi Indonesia yang bersih dan melindungi martabat setiap manusia Indonesia. Ornop, seperti ICW, telah membantu pemberantasan korupsi yang merupakan prioritas pembangunan Indonesia. Greenpeace Indonesia berjasa besar dalam memantau tingkat kerusakan hutan kita.

Kiranya tak bisa dilupakan lembaga seperti Kontras dan Imparsial. Berapa kali mereka ingatkan agar Pemerintah Indonesia patuh kepada amanat UUD 1945 dan UU HAM 2009, terutama tentang masalah HAM yang belum dituntaskan. Berapa kali Indonesia dan warganya dibantu Migrant Care memecahkan masalah buruh migran Indonesia di luar negeri?

RUU Ormas jika tetap dilanjutkan akan menimbulkan kerugian politik yang tak ringan. Ke dalam, ia menjadi tanda-tanda awal elite politik yang tak percaya kepada suara kritis dan beda pendapat. Ia sinyal bagi elite politik yang menonjolkan kendali negara kepada suara masyarakat, lepas apakah itu efektif atau tidak sebagai sarana solusi.

Secara singkat, RUU Ormas dapat dan telah menurunkan kepercayaan publik kepada pemerintah dan demokrasi yang ada. Di tengah kegencaran penggunaan media sosial oleh kaum muda dan publik Indonesia, kata kunci kendali dan kontrol bukanlah siasat tepat pada masa ini. Metode atur dan kendalikan di era Twitter dan Facebook hanya akan menghilangkan kesempatan pemerintah mendengar suara warga dan peluang memperbaiki diri.

Ke luar negeri, kerugian poli- tik itu setidaknya dua hal. Pertama, persepsi negatif bahwa Indonesia dan presiden telah mundur atau berbelok arah dari pemimpin demokratis menjadi pemimpin yang merestui kebijakan/regulasi yang membatasi, mengatur, serta mengendalikan kebebasan dan peran organisasi masyarakat. Kedua, reputasi Indonesia dan presiden dapat menurun di mata dunia internasional bila RUU Ormas disahkan.

Peran Indonesia
Akhir-akhir ini peran Indonesia di kancah internasional telah menaik: Presiden SBY sebagai panel HLPEP Post 2015; Indonesia menjadi anggota utama Community of Democracy bersama Korea, AS, dan negara lainnya; Indonesia sebagai pemrakarsa Bali Democracy Forum; serta status Indonesia sebagai pemimpin ASEAN paling demokratis.

Reputasi Indonesia kiranya layak menjadi pertimbangan kita, termasuk anggota DPR yang hendak menetapkan RUU Ormas. Kita bersama perlu menjaga hal ini karena kedudukan Indonesia di dunia internasional dan karena Indonesia sudah mengikatkan diri pada berbagai kesepakatan internasional. Hal itu antara lain Indonesia sudah menjalin kesepakatan internasional dalam Aid Effectiveness di Busan di mana antara lain semua negara wajib menciptakan lingkungan yang mendukung peran CSO.

Juga patut dipertimbangkan, pada pertengahan Juli 2013 Indonesia akan menjadi satu dari empat negara yang kemajuan dan upayanya dalam pemajuan hak- hak sipil dan politik akan ditinjau Komite HAM PBB. Salah satu pasal yang akan dilihat: soal kebebasan berserikat dan kebebasan berbicara

Relasi CSO-negara
Perkembangan internasional di seluruh dunia terkait relasi ornop dan pemerintah memperlihatkan bahwa hanya di negara otoriter/totaliter atau negara transisi, negara berupaya membatasi dan mengendalikan organisasi sosial, contohnya: Vietnam, Burma, Mesir, dan Rusia. Sebaliknya, di negara demokratis dan negara maju, negara justru mencari bantuan dari ornop dan karenanya menyediakan dana.

Sebagai informasi, Presiden Putin di Rusia baru saja membatalkan atau menunda UU yang akan mengatur ornop dengan memberi label ornop yang menerima dana luar negeri sebagai "agen asing" atas nasihat dan dorongan berbagai pihak di dalam dan di luar negeri.

Di sisi lain, perkembangan hubungan negara-CSO di negara demokrasi, baik di Utara maupun di Selatan: mengakui diri sebagai mitra dalam pembangunan. Lebih dari itu, karena APBN merupakan dana warga hasil dari pajak, negara menyediakan dana kepada CSO.

Saban tahun negara-negara UE mengeluarkan calls for proposal untuk CSO-nya dan CSO di negara lain yang perlu dukungan. Karena CSO juga menciptakan barang publik yang diperlukan warga dan masyarakat: kualitas pemerintah yang baik, penurunan kemiskinan, dan perbaikan lingkungan hidup.

Di negara maju sekawasan dengan kita, seperti Korea Selatan, dukungan dana telah diberikan kepada ornop sejak era demokratisasi 1980-an. Saya mengetahui dari tangan pertama bahwa lembaga seperti Korea Democracy Foundation dan lembaga penelitian East Asia Institute yang bergerak dalam pemajuan HAM dan demokrasi di Korsel dan regional setiap tahun menerima dana 1 dollar AS-2 juta dollar AS dari APBN mereka.

Melihat kemajuan pembangunan 10 tahun terakhir ini dan jumlah dana APBN yang meningkat pesat hingga Rp 1.700 triliun, kiranya sudah waktunya Indonesia mengikuti jejak Korsel dan negara demokrasi lain. Apabila hal ini dilakukan, ada manfaat besar dan strategis bagi Indonesia: (i) negara atau pemerintah memberi bukti bahwa relasinya dengan ornop dalam arti luas sudah bergeser dan berubah dari masa lalu; (ii) negara dan pemerintah ikut memperkuat kapasitas dan akuntabilitas CSO Indonesia dengan adanya dukungan dana dalam negeri.

Memang benar bahwa Indonesia sudah memulai dukungan pendanaan kepada ornop, terutama mereka yang bergerak pada bantuan hukum melalui UU Bantuan Hukum. Indonesia juga sedang bereksperimen dengan UU Bantuan Hukum, yang menyediakan dana kepada ornop yang melakukan bantuan hukum kepada warga kurang mampu.

Dengan kata lain, Indonesia mestinya mulai meningkatkan relasinya dengan ornop, dari dukungan legal kepada dukungan finansial. Ini belum terjadi. Justru yang terjadi: dukungan hukum kepada CSO atau ornopnya sedang diminimalkan atau dibatalkan. Sungguh ironis.

Jika RUU Ormas ini bertujuan dan dimaksudkan menertibkan ormas yang vigilante, merusak properti dan anarki, KUHP sudah memadai. Terhadap organisasi massa seperti itu, yang diperlukan adalah ketegasan dalam penegakan hukum oleh aparat penegak hukum kita seperti polisi. Bukan UU baru!

Sugeng Bahagijo
Direktur Eksekutif INFID

(Kompas cetak, 9 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger