Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 17 Juli 2013

Alpa dalam Pembangunan Karakter (KIKI SYAHNAKRI)

Oleh: KIKI SYAHNAKRI

Kamus Umum Bahasa Indonesia mengartikan karakter sebagai watak, sifat-sifat seseorang. Dalam pigura bangsa, pembangunan karakter dapat diartikan sebagai upaya membangun "moral" bangsa, tegaknya sistem nilai—baik universal maupun karakteristik lokal— bangsa tersebut.
Sedemikian fundamentalnya hal ini sehingga Bung Karno amat menekankan pentingnya pembangunan karakter. Bagi bangsa Indonesia, tentu yang diarah adalah moral Pancasila. Di tengah ingar-bingarnya kancah politik praktis menjelang 2014, baiknya kita berkontemplasi sejenak tentang tema "politik negara" yang vital-esensial ini.

Normatif
Pembangunan karakter digelindingkan dalam proses pendidikan karakter melalui penanaman tiga komponennya, yaitu cipta, rasa, karsa (Ki Hajar Dewantara), yang secara sistematis dilaksanakan lewat langkah berikut.

Pertama, penanaman nilai secara kognitif agar diketahui mana yang baik/buruk, perintah/larangan, seperti tentang kebesaran Tuhan, kejujuran, ketulusan, tolong-menolong, atau berbohong, buruknya kekerasan. Kedua, pendalaman penghayatan secara afektif untuk membentuk sikap dasar, seperti takwa, jujur, disiplin, rendah hati, toleran, nasionalis, dan bertanggung jawab. Ketiga, pembentukan tekad secara konatif—conatio: keinginan kuat untuk mengamalkan nilai— sebagai hasil penanaman dua komponen karakter sebelumnya.

Pendidikan karakter harus dilakukan secara berkelanjutan, dimulai sejak usia dini, bahkan ketika bayi masih dalam kandungan, sebagaimana ditegaskan pakar psikologi pertumbuhan Erik Ericson (1978). Usia dini (0-4 tahun), biasa disebut usia emas, sangat menentukan kemampuan anak mengembangkan potensinya. Hasil penelitian di AS menunjukkan, sekitar 50 persen variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika masih berusia 4 tahun. Peningkatan 30 persen berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20 persen sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua.

Berkaca pada hasil penelitian di atas, sistem pendidikan nasional harus terdiri atas dua poros utama, yaitu penanaman nilai untuk membentuk karakter serta pembekalan pengetahuan dan teknologi untuk membentuk kompetensi. Oleh karena pendidikan karakter dilakukan sejak usia dini, proses pendidikan pada tahap awal harus didominasi oleh pendidikan karakter atau penanaman nilai dengan sedikit pembekalan pengetahuan (pengajaran). Makin ke puncak proses pendidikan, porsi pengajaran harus bertambah besar, sebaliknya porsi penanaman nilai justru berkurang, merujuk pada teori, pada usia dewasa (17-20 tahun) karakter seseorang sudah terbentuk.

Suatu bangsa harus memiliki konsepsi pendidikan nasional yang sistematis. Jepang, Korea, dan banyak negara di Eropa berhasil karena efektifnya pendidikan karakter. Sebaliknya, banyak negara berkembang yang kemajuannya lambat, stagnan, bahkan menjadi negara gagal karena lemahnya pendidikan karakter.

Potret keberhasilan/kegagalan pendidikan karakter di Indonesia dapat ditelusuri antara lain dari data yang dikeluarkan Economist Intelligence Unit (2010) tentang indeks demokrasi global. Diungkapkan, dari 167 negara demokrasi di dunia, Indonesia di urutan ke-60, di bawah Timor Leste (42) dan Papua Niugini (59). Rendahnya peringkat ini disebabkan lemahnya variabel demokrasi, seperti kualitas penyelenggaraan pemilu, apresiasi terhadap pluralitas—terutama kelompok minoritas, tingginya angka korupsi, serta kejahatan dan kekerasan. Semua alasan tersebut mengindikasikan lemahnya karakter akibat alpa dalam pendidikan karakter.

Pendidikan karakter tak hanya dilaksanakan di sekolah, tetapi juga di keluarga dan lingkungan sosial. Persoalannya, sistem pendidikan nasional kita masih berfokus pada pembentukan kompetensi, kurang berorientasi pada proses penempaan karakter. Dalam lingkungan keluarga pun tak efektif karena kesibukan orangtua sehingga pengasuhan anak usia dini lebih banyak ditangani pembantu. Suguhan televisi yang menjadi tontonan anak pun jauh dari tujuan pendidikan karakter. Lingkungan masyarakat juga sudah terkontaminasi kekerasan, pornografi, dan narkoba. Kondisi ini sangat tak kondusif bagi pendidikan karakter.

Tantangan aktual
Pembangunan karakter tak lepas dari proses penyelenggaraan pemerintahan negara, artinya sangat terkait dengan upaya pembangunan sektor lainnya. Efektivitas pemerintahan di bidang ekonomi, kesehatan, informasi, pertahanan, dan lainnya niscaya memberikan keluaran positif pada pembangunan karakter. Karena itu, pembangunan karakter sangat dipengaruhi kualitas kepemimpinan pada semua level dan sektor.

Sangat benderang bahwa jalannya pemerintahan negara kita, termasuk sistem demokrasi yang dianut kini, sangat liberalistis. UUD hasil empat kali amendemen serta sejumlah peraturan per-UU-an di bawahnya tidak lagi dijiwai Pancasila.

Seiring dengan filosofi dan sifat liberalisme yang sangat mengagungkan kebebasan individu, berkembanglah kebebasan yang nyaris tanpa batas. Nilai-nilai luhur bangsa, seperti kekeluargaan, kebersamaan, gotong royong, toleransi, nasionalisme, dan patriotisme, pun tergerus tajam. Sebaliknya merebak individualisme, materialisme, hedonisme, fanatisme sempit, bahkan anarkisme. Oleh karena itu, pembangunan karakter di Indonesia harus merupakan upaya keras dan menyeluruh, yang secara fundamental mesti dimulai dari upaya menghidupkan kembali ruh Pancasila dalam kehidupan berbangsa-bernegara.

Sebuah adagium klasik mengatakan, "Jika kehilangan harta, sesungguhnya tidak ada yang hilang. Kalau kehilangan kesehatan, ada sesuatu yang hilang. Namun, bila kehilangan karakter, kita kehilangan segalanya." Inilah tantangan aktual bangsa, terlebih pembangunan karakter merupakan amanah konstitusi, menjadi butir keempat dari empat pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 45 sebagaimana ditegaskan dalam penjelasannya, yang ironisnya telah "dihilangkan" dalam proses amendemen yang lalu.

KIKI SYAHNAKRI, Ketua Badan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat

(Kompas cetak, 17 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger