Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 18 Juli 2013

Independensi Bank Sentral di Persimpangan (J Soedradjad Djiwandono)

Oleh: J Soedradjad Djiwandono  

Pada awal Juli ini, Bank of England membuat kejutan dengan memercayakan kepemimpinan bank sentral ini kepada Mark Carney yang baru saja mengakhiri masa jabatannya sebagai gubernur bank sentral Kanada.
Tidak lama sebelumnya, bank sentral yang sudah berumur 319 tahun ini memperoleh mandat sangat luas, meliputi kebijakan moneter, kestabilan sistem finansial, dan regulasi bank-bank. Bank of England (BoE) dijuluki bank sentral paling berkuasa di dunia diukur dari mandat yang dipegangnya itu. Carney sudah lama diincar Menkeu Osborne untuk menempati jabatan yang selama sepuluh tahun dipegang Mervyn King yang menjaga ketat kemandirian lembaga yang dipimpinnya.

Mengangkat warga negara asing menduduki kepemimpinan bank sentral memang bukan merupakan hal baru. Gubernur bank sentral Israel yang baru saja menyelesaikan tugasnya, Stanley Fischer, adalah orang Amerika Serikat, meskipun negara ini memperbolehkan kewarganegaraan rangkap. Hongkong dan Singapura pernah punya deputi gubernur (managing directors) yang adalah warga negara asing. Bukan hal baru, tetapi tidak lazim.

Kebijakan moneter
Ada hal lain yang lebih menarik dalam kebanksentralan untuk disimak. Yaitu, kebijakan bank-bank sentral negara maju dalam menghadapi dampak krisis keuangan global yang berkecamuk sejak bangkrutnya Lehman Brothers 15 September 2008. Dunia keuangan menamakan malapetaka ini sebagai "9/15", disejajarkan dengan "9/11". Salah satu dampak dari krisis keuangan global adalah lemahnya pertumbuhan ekonomi yang berkepanjangan, dimulai dari negara-negara maju tetapi menjadi global juga, dinamakan the great recession.

Menghadapi hal ini bank-bank sentral seperti berkompetisi melaksanakan kebijakan moneter yang karena tidak lazim dinamakan unconventional monetary policies, kebijakan moneter yang tidak konvensional.

Bank sentral AS (Fed) di bawah Bernanke menurunkan suku bunga yang mendekati nol dan melakukan pembelian sekuritas di luar yang dikeluarkan Treasury. Kebijakan yang dikenal sebagai quantitative easing (QE) sudah dilaksanakan sampai berbagai tahapan. Yang masih berjalan sekarang adalah pembelian sekuritas sejumlah 85 miliar dollar AS per bulan. Kebijakan ini dilakukan tanpa batasan waktu yang spesifik, kecuali bahwa langkah ini akan diteruskan sampai perbaikan perekonomian AS mencapai kondisi di mana tingkat pengangguran menjadi 6,5 persen dari angkatan kerja.

Di Eropa, Bank Sentral Eropa (ECB) tidak mau ketinggalan. Sejak mulai memangku jabatannya akhir 2011, Presiden Mario Draghi berjanji melakukan apa pun yang diperlukan (whatever it takes) untuk menyelamatkan euro. Sejumlah langkah moneter yang tidak konvensional dilaksanakan, seperti fasilitas long-term refinancing operation (LTRO), suatu fasilitas rediskonto untuk sekuritas yang dipegang bank-bank. Atau melakukan pembelian surat utang dalam jumlah yang tidak dibatasi untuk jangka beberapa tahun, dikenal sebagai outright monetary transactions (OMT).

Gubernur BoJ Kuroda—mantan Presiden ADB dan Wakil Menteri Keuangan Jepang yang baru diangkat memimpin BoJ atas pilihan PM Abe—juga melaksanakan kebijakan serupa. Kuroda berjanji meningkatkan jumlah uang beredar menjadi dua kali lipat dan menentukan sasaran tingkat inflasi yang lebih tinggi (2 persen) dengan membeli sekuritas besar-besaran. Kebijakan ini dilaksanakan untuk mendorong perekonomian Jepang keluar dari ekonomi deflasi dan tanpa pertumbuhan yang sudah sekitar lima belas tahunan dialami Jepang (the lost decade and a half).

Semua langkah tersebut serupa, yaitu pengenduran likuiditas perekonomian dengan cara yang berbeda dengan yang biasa dilakukan dalam operasi pasar terbuka. Dalam kebijakan moneter yang konvensional, bank sentral melakukan operasi pasar terbuka dengan membeli obligasi pemerintah yang berjangka pendek. Sekuritas yang dibeli bank sentral di sini termasuk yang dikeluarkan perusahaan, seperti mortgage-backed securities.

Mengapa kebijakan yang tidak lazim ini dilakukan? Penyebabnya adalah bahwa semua perekonomian negara-negara ini mengalami masalah lemahnya pertumbuhan ekonomi dan tingginya tingkat pengangguran (kecuali Jepang), pada waktu sektor keuangan negara (fiskal) tidak berdaya.

Yang terakhir disebabkan defisit anggaran yang tinggi dan terus meningkat dengan tingkat utang pemerintah yang sangat tinggi dan meningkat pula. Negara-negara ini telah lama hidup lebih besar pasak dari tiang. Untuk AS masih ditambah dengan pertentangan ideologis di Kongres antara Partai Demokrat dan Partai Republik yang menimbulkan kemacetan (gridlock) dalam anggaran pemerintah. Sedangkan zona euro menghadapi ketentuan yang melarang bank sentral membiayai defisit anggaran pemerintah. Yang dilakukan pada akhirnya adalah mencari jalan tak langsung menggunakan sarana moneter menggantikan fiskal.

BoE juga melakukan hal serupa dalam kepemimpinan lamanya. Gubernur baru Mark Carney sebelumnya diberitakan mendukung gagasan menggunakan PDB nominal sebagai target kebijakan moneter. Artinya Carney percaya pada kebijakan moneter yang digunakan untuk memengaruhi sasaran sektor riil. Dan setelah ini tidak ditekankan lagi, ia diberitakan menyatakan bahwa kebijakan moneter masih mempunyai ruang gerak untuk memengaruhi pertumbuhan ekonomi, dengan cara yang tidak konvensional tentunya.

Semua tadi pada dasarnya menunjukkan bahwa bank-bank sentral di negara maju menerapkan kebijakan moneter yang memang tidak hanya mengacu kepada sasaran moneter murni (kestabilan moneter), tetapi juga mencakup sasaran yang lazimnya dihadapi dengan langkah di luar moneter, terutama fiskal. Pada waktu sektor fiskal tidak berdaya, karena batasan defisit anggaran atau pinjaman negara, maka kebijakan moneter dilakukan untuk menjangkau sasaran sektor riil, yang secara konvensional merupakan sasaran fiskal.

Menurut saya, kebijakan moneter yang tidak konvensional juga bisa dinamakan kebijakan moneter-cum-fiskal. Suatu bentuk baru kebijakan moneter yang menuntut kajian yang lebih mendalam mengenai efektivitasnya, dampak sampingannya, dan sebagainya. Sudah berminggu-minggu pasar uang dan modal di Asia, termasuk Indonesia, mengalami gejolak yang menyibukkan bank-bank sentral, termasuk BI. Semua "hanya" gara-gara Bernanke membuat pernyataan yang dibaca pelaku pasar sebagai meninggalkan kebijakan nonkonvensionalnya.

Independensi ditanyakan
Aspek lain yang perlu disimak adalah mengenai independensi bank sentral. Dalam kaitan ini, kebanyakan perekonomian Asia, termasuk Indonesia, setelah pengalaman pahit krisis keuangan 1997/1998, antara lain karena dorongan IMF dan negara-negara maju, telah meyakini perlunya status kemandirin bank sentral. Pascakrisis Asia, kebanyakan perekonomian Asia menganut sistem bank sentral yang independen dengan menggunakan target inflasi (inflation targeting) sebagai panduan operasinya.

Dalam sistem perekonomian yang menganut independensi bank sentral, dalam pelaksanaan mandatnya bank sentral tak boleh dicampurtangani pemerintah atau lembaga lain. Untuk itu, bank sentral diberi mandat yang spesifik dan jelas untuk kepentingan akuntabilitas. Kebijakan moneter nonkonvensional yang dilakukan di negara-negara maju menghadapi the great recession, menurut saya, telah meninggalkan prinsip kemandirian bank sentral seperti disebut di sini.

Mengamati perkembangan terakhir tampaknya ada kecenderungan untuk mengangkat gubernur bank sentral baru dari kalangan kementerian keuangan, atau malah mantan menteri keuangan, atau seperti yang terjadi di Inggris, Chancellor of the Exchequer Osborne memilih sendiri Mark Carney yang warga negara Kanada menjadi orang nomor satu di BoE.

J Soedradjad Djiwandono, Profesor Nanyang Technological University; Mantan Gubernur Bank Indonesia
 (Kompas cetak, 18 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger