Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 18 Juli 2013

Krisis Manajemen Pangan (Siswono Yudo Husodo)

Oleh: Siswono Yudo Husodo

Tragis, negeri dengan daratan dan lautan luas, tanah subur, dengan curah hujan cukup, dan sinar matahari sepanjang tahun, tak mampu mencukupi pangan bagi warganya. Minggu-minggu terakhir ini, harga pangan melambung dan sejak 10 tahun terakhir impor pangan terus meningkat.
Harga cabai rawit mencapai Rp 120.000/kg (dari Rp 27.700/kg); bawang merah Rp 64.000/kg (dari Rp 32.300/kg); bawang putih Rp 30.000/kg (dari Rp 14.000/kg); ayam Rp 35.000/kg (dari Rp 25.000/kg); daging sapi Rp 110.000/kg (tiga tahun yang lalu Rp 45.000/kg); telur ayam Rp 22.000/kg; beras medium jenis IR 64 Rp 8.200/kg. Hingga Juni 2013, telah diimpor cabai 22.737 ton dan bawang merah 60.000 ton dan saat ini akan ditambah kuota impor cabai sebanyak 9.715 ton dan bawang merah 16.781 ton.

Impor selalu menjadi pilihan
Ada yang salah dalam pengendalian harga pangan, karena siklus lonjakan harga pangan terjadi setiap menjelang bulan puasa, Idul Fitri, Idul Adha, Natal, dan Tahun Baru, yang seharusnya dapat diantisipasi. Ada pola kerja pemerintah yang tidak tuntas. Bila ada lonjakan harga, semua kementerian terkait membahasnya. Lalu, bersama-sama memutuskan untuk impor. Setelah kegiatan impor berhasil mengembalikan harga ke tingkat yang wajar, pemerintah tidak meneruskan kerja untuk mengatasi faktor-faktor penyebab lonjakan harga pangan yang berpusat pada kurangnya produksi pangan.

Diperlukan strategi yang tepat untuk mengelola pasar pangan bagi 240 juta penduduk Indonesia. Masalahnya bukan sekadar tidak baiknya koordinasi di pemerintahan untuk melancarkan kegiatan impor sebagaimana teguran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada para menteri yang gagal meredam lonjakan harga daging sapi. Kita perlu mengatasi persoalan pangan secara mendasar. Tugas yang harus dilakukan pemerintah adalah menjaga harga yang menguntungkan petani dan peternak dan tidak memberatkan konsumen. Jika harga terlalu murah, akan tidak menguntungkan petani dan peternak. Akibatnya, tidak ada insentif peningkatan produksi dan hasilnya impor akan semakin membesar.

Meningkatnya konsumsi pangan rakyat Indonesia disebabkan pertambahan penduduk yang sangat tinggi, 1,3 persen per tahun, termasuk dalam kelompok negara dengan pertambahan penduduk tertinggi di dunia. Meningkatnya jumlah kelas menengah juga menuntut pangan dengan kualitas yang lebih baik. Meningkatnya kebutuhan pangan tersebut belum dapat diatasi oleh meningkatnya produksi dan kualitas pangan dalam negeri.

Penyebab utama kurangnya produksi pangan adalah kurangnya lahan pertanian. Lahan pertanian tanaman pangan di Indonesia 7,8 juta hektar (ha), kalah dengan kebun sawit yang 8,2 juta ha, dengan 2,5 juta ha di antaranya milik perusahaan asing. Saat ini, untuk setiap rakyat Indonesia, hanya tersedia lahan pertanian pangan seluas 359 meter persegi. Rasio lahan per kapita untuk negara-negara berpenduduk banyak adalah India 1.590,6 meter persegi/kapita, China 1.120,2 meter persegi/kapita, Amerika Serikat 6.100 meter persegi/kapita, Vietnam 959,9 meter persegi/kapita, dan Thailand 5.225,9 meter persegi/kapita. Untuk komoditas pertanian, masalahnya amat jelas, diperlukan pembukaan areal pertanian tanaman pangan/hortikultura baru yang luas. Kegiatan ini dulu tercakup dalam program transmigrasi, yang pada waktu puncaknya pada 1995 pernah dalam satu tahun membuka 200.000 ha lahan tanaman pangan baru yang dibagikan kepada 100.000 KK buruh tani dan petani-petani gurem. Program ini telah ikut menopang swasembada beras, jagung, dan kedelai pada 1984.

Beda setiap komoditas pangan

Cukup luas wilayah-wilayah yang potensial menjadi penghasil bawang merah, cabai, dan lain-lain produk hortikultura yang perlu segera dibuka. Dan, ada daerah- daerah yang belum dimaksimalkan untuk bawang putih dan kedelai (yang merupakan tanaman subtropik), seperti dataran tinggi Napu di Sulawesi Tengah dan beberapa dataran tinggi di NTT dan NTB yang tersedia air dan berhawa kering, yang cocok untuk bawang putih dan kedelai. Untuk daging sapi, masalah pokoknya adalah kurangnya populasi sapi potong di Indonesia. Hasil sementara Sensus Pertanian 2013 menyebutkan, populasi sapi potong hanya 12 juta-12,5 juta ekor, jauh lebih rendah dari hasil sensus 2011 sebanyak 14,8 juta ekor. Dengan harga daging sapi yang sangat tinggi, di sejumlah daerah jagal-jagal memotong sapi betina produktif karena harganya lebih murah daripada yang jantan dan setelah dipotong, harga daging per kilogramnya sama.

Pembiaran pemotongan sapi betina produktif (banyak di antaranya sedang bunting), yang melanggar undang-undang ini telah menyusutkan jumlah sapi di Indonesia dan akan semakin meningkatkan impor daging. Regulasi serta struktur pasar sapi potong yang ada juga tak mendukung tercapainya harga daging sapi yang wajar di tingkat konsumen. Pasokan daging sapi ke pasar berasal dari tiga sumber, yaitu 6,4 juta peternak lokal (umumnya peternak kecil dan tradisional), 96 importir sapi bakalan, dan 67 importir daging.

Kebutuhan daging sapi nasional, 70 persennya dipasok dari produksi lokal dan 30 persen dari impor (bakalan dan daging). Konsumsi daging sapi 2013 diperkirakan 550.000 ton. Untuk industri 14,7 persen, untuk hotel, restoran dan katering 8,5 persen, serta untuk konsumsi masyarakat langsung 76,8 persen. Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang menentukan harga daging sapi adalah harga daging lokal. Jadi yang harus dijaga adalah harga daging lokal yang cukup memberi keuntungan bagi peternak lokal dan terjangkau konsumen. Harga daging sapi lokal ditentukan harga sapi hidup di dalam negeri. Harga sapi hidup di Pulau Jawa sekarang Rp 38.000/kg sehingga harga daging sapi setelah dipotong (berat karkas sekitar 50 persennya) menjadi Rp 76.000/kg dan ditambah biaya potong (RPH, retribusi, jagal, dan lain-lain) menjadi Rp 81.000. Ditambah transpor dan keuntungan pedagang (yang sampai ke pengecer bisa dua tahap), Harga pokok produksi (HPP) daging Rp 90.000/kg.

Harga daging impor Rp 45.000/kg sampai di Jakarta yang membuat keuntungan importir daging sangat besar.

Harga sapi hidup di Indonesia menjadi mahal karena importir sapi bakalan memenuhi ketentuan diharuskan membeli sapi lokal siap potong sejumlah 10 persen dari kapasitas kandang. Harga sapi hidup juga naik karena beberapa pemda, seperti Kaltim, Riau, dan Jambi, membagikan ternak kepada masyarakatnya dengan membeli ternak di sentra produksi sapi di Jatim, NTT, dan NTB. Beberapa BUMN juga ditugaskan menambah populasi sapi untuk ditempatkan di kebun-kebun sawit. Kegiatan ini secara nasional tak menambah populasi sapi, hanya pindah tempat, juga mendorong meningkatnya harga sapi hidup di sentra-sentra produksi.

Importir sapi bakalan juga untung karena harga sapi hidup di Australia sekitar Rp 24.000/kg dan sampai Jakarta sekitar Rp 28.000/kg hidup. Dengan harga yang tercipta saat ini, di mana harga sapi hidup Rp 38.000/kg dan daging eceran sekitar Rp 100.000/kg, konsumen menjerit, peternak penggemukan untung sedikit dari tambahan berat. Pedagang sapi, jagal, dan pedagang daging ritel untung sedikit. Yang untung sangat besar importir daging dan importir sapi bakalan. Menurut hemat saya, harga sapi hidup idealnya sebesar Rp 28.000-Rp.30.000/kg. Dengan begitu, harga daging eceran akan Rp 65.000- Rp 70.000/kg. Dengan kondisi ini, harga akan terjangkau konsumen dan semua pelaku usaha akan untung.

Caranya, memperbanyak impor sapi bakalan dengan maksimal berat 250 kg agar nilai tambah diterima peternak di Indonesia, (sekarang boleh sampai 350 kg) ditambah impor sapi betina sehat produktif untuk kepentingan jangka panjang, meningkatkan populasi sapi dengan cepat. Sementara itu, impor daging ditekan dan kalau bisa dihentikan. Pada era Orde Baru, impor sapi bakalan beratnya maksimal 200 kg dan impor daging sapi benar-benar dihambat. Untuk negara berpenduduk besar seperti Indonesia, secara bertahap memang harus membangun kemandirian pangan dalam arti mampu memenuhi sendiri kebutuhan pangan yang bisa diproduksi di Tanah Air dan selanjutnya jadi eksportir produk-produk pangan tropis. Kita pernah mencapai kondisi itu di era penjajahan Belanda, ketika kebutuhan dunia untuk kopi, teh, cokelat, lada, pala, minyak kelapa, vanili, cassava, casiavera, gula, sapi dan kerbau, juga karet bertumpu dari wilayah ini.

India menempuh arah yang sama untuk beberapa komoditas. Dari negara importir besar gula dan beras, pada 2012 India telah menjadi eksportir gula tebu terbesar ketiga dan beras terbesar di dunia dengan ekspor beras 10,4 juta ton, mengalahkan Thailand, melalui perencanaan yang matang dan langkah konsisten untuk meningkatkan produksi melalui insentif harga untuk petani. Dengan perencanaan yang tepat, berjangka panjang, dengan sasaran membangun ketahanan dan kemandirian pangan serta dilaksanakan secara konsisten, Indonesia akan dapat kembali menjadi negara eksportir produk-produk pertanian tropis yang menjadi kebutuhan dunia. Semoga.

Siswono Yudo Husodo, Anggota DPR

(Kompas cetak, 18 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger