Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 22 Juli 2013

Demokrasi Kita (Sulastomo)

Oleh: Sulastomo  

Terbitan 1 Juli 2013 Kompas menampilkan tulisan Daoed Joesoef yang mengkritik demokrasi kita. Dikatakan bahwa demokrasi representatif yang diterapkan sejak reformasi makin tidak demokratis.
Ditunjukkan pula meningkatnya semangat untuk golput dan terputusnya hubungan antara rakyat sebagai pemilih dan wakil rakyat yang dipilihnya untuk mewakili di DPR. Ia mengusulkan demokrasi kontinu: setiap warga negara masih memiliki kesempatan menyampaikan aspirasinya melalui mekanisme musyawarah untuk mufakat sesuai dengan sila keempat Pancasila. Hal ini akan berdampak pada tumbuhnya instrumen pemerkuat pendelegasian kekuasaan.

Kekecewaan Daoed Joesoef mengenai demokrasi kita mengingatkan kita pada tulisan Bung Hatta berjudul sama pada 1956, yang menandai tanggalnya mitos Dwitunggal Soekarno-Hatta. Pada waktu itu Bung Hatta mengkritik demokrasi kita, ketika Presiden Soekarno menunjuk dirinya sendiri sebagai formatur kabinet. Sementara itu, Presiden Soekarno tentu memiliki pertimbangan sendiri dengan tindakannya itu. Kabinet Ali/Roem/Idham, yang merupakan koalisi pemenang Pemilu 1955, jatuh hanya dalam tempo 17 bulan, menyebabkan hilangnya kepercayaan kepada partai politik. Kabinet yang terbentuk dipimpin tokoh "nonpartai": Ir H Djuanda.

Ditambah dengan pergolakan di beberapa daerah yang juga melibatkan tokoh beberapa partai politik, dan gagalnya Konstituante dalam merumuskan dasar negara, Presiden Soekarno didukung tentara mengeluarkan Dekrit 5 Juli kembali ke UUD 1945. Dari kacamata demokrasi, semua itu dapat dikatakan "tidak demokratis". Mengapa diperlukan untuk menyelamatkan bangsa dan negara, serta mengakhiri proses demokrasi itu sendiri? Demokrasi ternyata bukan sega- la-galanya kalau tak didukung kehidupan kepartaian yang sehat.

Kurun waktu antara tulisan Daoed Joesoef dan Bung Hatta sekitar 60 tahun. Dapatkah diartikan bahwa selama kurun waktu itu, kondisi demokrasi kita masih belum beranjak ke arah yang lebih baik?

Tingkat pendidikan
Demokrasi memang harus diakui tidak sekali jadi. Di Amerika Serikat pun, meski mendeklarasikan bahwa men are created equal, demokrasi harus melalui proses panjang hingga menemukan bentuknya sekarang. Dalam 1960-an masih diperlukan perjuangan memperoleh persamaan hak-hak sipil bagi kaum kulit hitam. Pejuang persamaan hak sipil itu seorang pendeta, Martin Luther King, bahkan terbunuh. Kalau Barack Obama dicalonkan tahun itu, ia pasti tak terpilih.

Demokrasi, kata Bung Hatta, memerlukan tingkat pendidikan tertentu, bahkan juga tingkat ekonomi untuk memiliki sifat seperti itu. Di Indonesia kurun 67 tahun setelah kemerdekaan tampaknya belum cukup menemukan demokrasi kita itu. Trial and error selama itu tampaknya masih belum cukup.

Tidak berarti kita tak berusaha menemukan demokrasi kita yang sesungguhnya, tetapi karena Indonesia memang belum memiliki tingkat pendidikan, ekonomi, dan kesadaran masyarakat yang menjadi syarat kehidupan yang demokratis. Primordialisme, kepentingan golongan atau perseorangan, bahkan pemahaman terhadap demokrasi itu sendiri, masih sering bias. Demokrasi dianggap sekadar kebebasan mengeluarkan pendapat dan berserikat sehingga lahirlah democrazy.

Demokrasi tidak didukung sikap "siap kalah dan siap menang" sehingga demokrasi hanya menjadi sarana konflik, kekerasan. Budaya toleran belum menjadi budaya kita bersama sehingga kecenderungan merasa benar sendiri masih menonjol. Dapatkah demokrasi dibangun di dalam masyarakat seperti itu? Mungkin sulit, bahkan mustahil.

Wajar bahwa golput semakin banyak, komunikasi antara rakyat dan wakilnya semakin jarang terjadi. Rakyat terputus dengan para wakilnya sehingga diperlukan demokrasi kontinu, tulis Daoed Joesoef. Inilah tantangan demokrasi kita.

Di tengah suasana seperti itu, kita galau menghadapi 2014, saat kita menyelenggarakan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. Buat apa kita memilih wakil rakyat kalau wakil rakyat itu hanya memikirkan kepentingannya sendiri sehingga tidak nyambung dengan kepentingan masyarakat yang diwakilinya? Buat apa kita memilih presiden/wakil presiden kalau elektabilitas calon presiden/wakil presiden yang ada masih begitu rendah? Kenyataan ini, meski sedang kita hadapi, tak boleh mengurangi semangat kita untuk sukses Pemilu 2014. Bahkan, sebaiknya justru dijadikan cambuk untuk memperbaiki demokrasi kita.

Kalau kita semua bisa menjadi pemilih yang cerdas, Pemilu 2014 mungkin akan bisa menjadi momentum memperbaiki demokrasi kita. Sejak awal sebaiknya kita bisa mencermati partai, tokoh yang akan jadi wakil kita sejujur mungkin. Integritasnya, kejujurannya, profesionalismenya, pemahaman ideologinya, dan sebagainya sebagai syarat seorang pemimpin. Untuk itu, kita harus bersikap jujur. Tidak tergoda oleh politik uang atau iming-iming lain dan mampu bersedia menghilangkan pertimbangan yang bersifat primordial sehingga kita mampu menilai pilihan kita secara jujur. Referensinya adalah pengamalan Pancasila.

Kalau berhasil, jumlah partai politik akan bisa dikurangi secara demokratis. Demokrasi akan lebih sehat meski jumlah partai berkurang karena kompetisi antarpartai dan di dalam partai akan semakin sengit. Partai politik yang eksis adalah hasil dari pilihan yang cerdas, yang dinilai mampu mewakili rakyat. Demikian juga wakil-wakil rakyat yang terpilih tentu akan menjadi wakil rakyat kepada pemilihnya.

Dari partai politik dan wakil- wakil rakyat seperti itu kita berharap lahirnya sistem politik, ekonomi, dan sosial yang mampu meluruskan hal-hal yang kurang tepat. Demokrasinya merupakan wujud kedaulatan rakyat berdasar permusyawaratan/perwakilan, perekonomiannya berdasar asas kebersamaan/kegotongroyongan sehingga wujud keadilan sosial bagi seluruh rakyat dapat semakin didekati. Koperasi akan menjadi soko guru perekonomian Indonesia. Negara ikut mengendalikan pasar, sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945 sebagai wujud ekonomi pasar sosial terbuka.

Sulastomo
Koordinator Gerakan Jalan Lurus

(Kompas cetak, 22 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger