Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 22 Juli 2013

Etika Bumi (Daoed JOESOEF)

Oleh: Daoed JOESOEF

Bencana asap kita yang mengganggu Singapura dan Malaysia rupanya sudah menjadi tragedi berulang di Indonesia. Ini perlu kita renungi. Ternyata tak setiap anggota pemerintah melihatnya sebagai krisis dalam tendensi lingkungan yang berlaku. Jangan sampai kesalahan kecil di awal berakhir menjadi kesalahan besar.
Degradasi lingkungan dapat menyebabkan disrupsi sosial yang parah. Meski tak bakal segera terjadi, krisis ini pasti tidak akan tertanggung dalam jangka panjang. Konversi ekosistem ke penggunaan human berlangsung akseleratif. Perkebunan kelapa sawit saja sudah mencapai 9,0 juta hektar, terluas di dunia, dibangun 70 persen dari hutan alam dan 30 persen dari hutan gambut. Tak sedikit orangutan, penghuni asli ekosistem lama, dibunuh, belum terhitung fauna dan flora langka lain.

Jadi, sejumlah besar luas bumi Indonesia sudah dikonversi dari habitat alami ke lahan pertanian, permukiman human, jalan, pertambangan, dan aneka kegunaan lain. Kalaupun bukan pertanda kehancuran lingkungan, rangkaian peristiwa itu pasti merupakan kegagalan moral. Apakah kita, mentang-mentang disebut wakil Tuhan (khalifatullah) di bumi, berhak melenyapkan makhluk lain dan menghancurkan ekosistem yang tak tergantikan? Bila tidak, degradasi lingkungan sudah merupakan krisis moral meski belum mengancam kelangsungan hidup human.

Kembangkan dan hayati
Bila demikian, kita harus segera kembangkan dan hayati etika bumi. Kita tidak cukup jadi sekadar ekolog, tetapi mematangkan diri jadi ekoteknosof: teknokrat ekologis yang berfilosofi. Seorang ekotek- nosof mengakui bumi atau ekosistem punya nilai moral sendiri dan perilakunya harus menghormati standing moral alam itu. Standing ini bukan anugerah manusia, ia nilai intrinsik alam, terlepas dari kepen- tingan manusia dan menyangkut keselu- ruhan ekologis. Jadi, ekologi teknosofis berpembawaan ekosentrik dan holistik.

Ide tentang etika bumi sudah dikembangkan sejak 1949 oleh Aldo Leopold, se- orang forester, ecologist, conservationist, and environmental philosopher. Istilah bumi ini merujuk pada segala sesuatu yang hidup, pada semua obyek natural dan proses yang membentuk ekosistem tertentu. Setiap individu adalah bagian dari suatu komunitas alami dan adalah absurd menganggap bahwa orang tak punya kewajiban pada komunitasnya sendiri. Maka, peran Homo sapiens berubah dari penguasa komunitas bumi ke sekadar anggota dan warganya. Berarti pantas menaruh respek sekaligus atas sesama anggota dan komuni tas itu sendiri.

Etika bumi memperluas pengertian komunitas hingga mencakup tanah, air, flora, dan fauna atau—secara kolektif—bumi. Berhubung etika itu bersendikan presumsi bahwa individu adalah anggota suatu komunitas dengan bagian lain yang interdependen, ia merupakan sejenis community instinct in the making. Jadi, asas pokok etika bumi adalah a thing is right when it tends to preserve the integrity, stability, and beauty of the biotic community. It is wrong when it tends otherwise. Berarti etika, estetika, dan tidak sekadar apa yang mendesak secara ekonomis (demi kenaikan GNP?).

Perang tepat
Pemaparan etika bumi kiranya tak lengkap jika tak membicarakan peperangan. Jika kehilangan spesies secara besar-besaran akibat pembabatan hutan saja sudah dianggap perbuatan terkutuk, apalagi peperangan yang ternyata berupa agresi kolektif. Jauh sebelum manusia menyadari signifikansi komunitas ekologis, peperangan antarnegara sudah ada. Maka, dalam rangka persiapannya demi hidup damai, si vis pacem, para bellum, orang sudah memikirkan pula konsep just war, perang tepat, dibenarkan karena adil dan sah.

Teori perang tepat mengatakan bahwa keputusan bertempur harus berasal dari otoritas yang sah, mendapat otoritas yang sah, mendapat otorisasi multilateral, bertujuan yang betul, punya peluang sukses yang masuk akal, dan dilaksanakan hanya setelah kehabisan cara mengubah sikap angkuh lawan. Korban perang harus proporsional dengan tujuannya.

Respons terhadap agresi merupakan primary just cause untuk berperang: musuh tak dicari, bertemu pantang dielakkan, esa hilang kedua terbilang. Negara bisa juga melakukan preemptive strikes, intervensi untuk mencegah genosida dan demi melawan intervensi asing dalam konflik domestik dan dukungan pada gerakan separatis. Intervensi dibenarkan kalau ia mengukuhkan a society's right to meaningful self-determination.

Adalah Barkdull dan Harris yang mengaitkan pemikiran perang tepat pada masalah (kehancuran) ekosistem. Mereka membedakan dua dimensi etis dalam konflik bersenjata: ius ad bellum dan ius in bel- lo. Kedua dimensi itu perlu diperhitungkan apabila perang tepat diminta concern pada komunitas ekologis yang didiami masyarakat.

Dalam dimensi pertama tadi, integritas ekosistem berarti kemampuannya berkembang ke arah kompleksitas dan diversitas yang semakin besar melalui seleksi alami. Maka, gangguan terhadap proses itu melanggar asas pokok etika bumi karena ia mengacu pada stabilitas, keindahan, dan integritas bumi. Jadi dalam term perang tepat, perusakan lingkungan merupakan sejenis agresi terhadap komunitas ekolo- gis, sama saja dengan self-determined social evolution yang dalam dirinya berupa suatu agresi terhadap komunitas human.

Jadi, adalah sah apabila pemerintah berniat memerangi tindakan degradasi itu: bukan hanya karena kepentingannya sendiri dirusak, tetapi lebih-lebih berhubung ekosistem global berhak punya nilai intrinsiknya sendiri. Memperhitungkan etika bumi secara serius pasti akan berimplikasi pada aksi militer, baik dalam melindungi komunitas biotik maupun guna pembenaran tradisional dari peperangan antarnegara.

Menurut ius in bello, asas terpenting ketika berperang adalah bahwa kombatan, yang bertempur, tidak layak membunuh nonkombatan. Asas diskriminasi ini juga berlaku pada ekosistem. Komunitas biotik selayaknya tidak dijadikan target atau cara membidik target human. Walaupun kombat antarprajurit mau tak mau mengor- bankan makhluk nonhuman dan bumi itu sendiri, penargetan lingkungan sebagai taktik bertempur adalah pelanggaran terhadap asas diskriminasi

Pelanggaran itu pernah dilakukan Amerika Serikat di Vietnam ketika merontok- kan dedaunan pohon di sejumlah area dengan menggunakan bahan kimia guna memerangi pasukan gerilya Viethminh. Demikian pula dengan Irak yang membumihanguskan sumber dan instalasi minyak bumi Kuwait ketika mundur dari negeri itu. Maka, pendidikan ekologis seharusnya ikut membentuk doktrin militer berhubung praktik kemiliteran tergantung sebagian atas keyakinan dan nilai yang dihayati prajurit. Sama dengan kewarganegaraan, keprajuritan adalah suatu mindset.

Hal ini memang tidak mudah, tetapi tetap diniscayakan karena pengorbanan eksesif sipil mengubah perang yang semula tepat menjadi tidak tepat, berhubung demi keberhasilannya perang sudah mengakibatkan kehancuran lingkungan secara eksesif. Ketika ongkos berperang menjadi terlalu besar, ius in bello dan ius ad bellum berkonvergensi. Pada titik itu perang menjadi peperangan terhadap komunitas biotik dan, karena itu, tak layak lagi diteruskan.

Diplomasi ekologis
Dalam Pertemuan Ke-45 Menlu ASEAN di Brunei akhir Juni lalu dikabarkan bahwa Singapura dan Malaysia mengangkat masalah kabut asap di mana Indonesia seharusnya bertanggung jawab, padahal pemodal kedua bangsa itu ikut memiliki perkebunan sawit yang membakar lahan. Alih-alih saling menuding, sebaiknya para menlu membahas urgensi adanya respek atas integritas, keindahan, dan stabilitas dari komunitas biotik.

Hubungan antarnegara seharusnya didasarkan lebih banyak atas the carrying ca- pacity of the planet earth. Kecenderungan negara bertindak demi pemenuhan kepentingan jangka pendek belaka dengan mengorbankan lingkungan sudah perlu dikoreksi oleh asas pokok etika bumi. Sinisme bisa saja mengatakan bahwa etika bumi tak bakal punya efek lebih daripada marjinal atas diplomasi, tetapi ini akan berarti mengakui praktik politik internasional yang berlaku is morally unacceptable.

Bila demikian, kaum intelektual terpanggil memasyarakatkan masalah moralitas ini, rakyat perlu meminta perubahan, dan pembuat kebijakan segera menjabarkan perubahan dalam praktik. Mengganggu proses evolusioner dan mengeksploitasi bumi memang tidak terkutuk 50 atau 100 tahun lalu, tetapi kita saksikan kini betapa tindakan itu self-destructive dan self-contradictory.

Menlu Indonesia konon sudah memikirkan dasar baru dalam berdiplomasi: dynamic equilibrium. Asas ini pernah diketengahkan 50 tahun yang lalu di bidang konjungtur ekonomi oleh Harrod dan Domar berupa kenaikan investasi yang terus-menerus. Demi mencegah depresi dan pengangguran, ekonomika meniscayakan intensifikasi eksploitasi sumber daya alam. Akibat penalaran ekonomi sepihak, picik, dan rakus ini adalah kerusakan ekologis. Kalau aksi begini diteruskan, anak cucu kita bakal hidup dari apa dan dari mana?

Tuhan menciptakan bumi yang kandungannya cukup bagi kebutuhan normal setiap orang, tetapi pasti tidak bisa memenuhi keserakahan setiap orang. Maka, di mana bumi dipijak di situ normal manusia harus menjunjung tinggi etika intrinsik bumi.

Daoed JOESOEF
Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne

(Kompas cetak, 22 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger