Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 22 Juli 2013

Rivalitas Penyelenggara Pemilu (Kompas)

Persiapan Pemilu 9 April 2014 ditandai dengan adanya gejala rivalitas eksistensi penyelenggara pemilu. Fenomena ini perlu dicermati.
Berbeda dengan penyelenggaraan pemilu sebelumnya, UU Nomor 11 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu memperkenalkan lembaga baru, yakni Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. DKPP didesain untuk mengadili dugaan pelanggaran etika penyelenggara pemilu.

Dalam praktiknya, Badan Pengawas Pemilu pun memanfaatkan kewenangan yang luas termasuk menjatuhkan putusan atas laporan masyarakat/parpol berkaitan dengan pelaksanaan pemilu. Keputusan KPU soal penetapan caleg di satu daerah pemilihan dibatalkan oleh Bawaslu.

Melalui tangan Bawaslu, partai yang diputuskan KPU tidak lolos seleksi administrasi dan verifikasi untuk menjadi peserta Pemilu 2014 dipulihkan haknya dan bisa menjadi peserta Pemilu 2014. Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) juga dipakai sebagai jalan hukum untuk mempersoalkan keputusan KPU.

Jika keputusan KPU banyak digugat dan dipersoalkan peserta pemilu dan kebetulan KPU dikalahkan baik oleh Bawaslu maupun PTUN, DKPP pun aktif menyidangkan dugaan pelanggaran etika penyelenggara pemilu. Sudah lebih dari 100 anggota KPU daerah dipecat sebagai penyelenggara pemilu oleh DKPP.

Fenomena ini memang menimbulkan pertanyaan siapa sebenarnya penyelenggara Pemilu 2014? Keputusan KPU bisa dipersoalkan legalitas melalui berbagai jalur, seperti Bawaslu, DKPP, ataupun PTUN. Dalam "persidangan" itu ada beberapa putusan KPU yang dikalahkan.

Banyak putusan KPU yang kalah memicu pertanyaan lanjutan bagaimana pengambilan keputusan di KPU sendiri itu. Banyaknya putusan KPU yang dikalahkan pasti berdampak pada kredibilitas KPU sebagai lembaga. Melemahnya institusi KPU diperparah dengan banyaknya anggota KPU daerah yang dipecat DKPP atas tuduhan pelanggaran etika.

Lampu kuning menyala. Kondisi ini mengkhawatirkan pelaksanaan Pemilu 9 April. Banyak putusan KPU yang dipersoalkan ke lembaga lain berpotensi menciptakan stagnasi prosedur demokrasi. Kondisi demikian, jika terus dibicarakan tanpa ada solusi di antara penyelenggara pemilu, bisa menjadi hambatan bagi pelaksanaan Pemilu 9 April. Padahal, Pemilu 2014 secara teoretis merupakan tahapan akhir dalam proses konsolidasi demokrasi.

Rivalitas penyelenggara pemilu yang masing-masing ingin eksis seakan menjadikan Indonesia menganut ultra-check and balances atau ultrademokrasi. Setiap putusan KPU (yang mungkin saja putusan KPU memang problematik) digugat dan dipersoalkan ke Bawaslu dan PTUN, putusan Bawaslu dipersoalkan lagi ke DKPP, putusan DKPP dibawa lagi ke MK. Kalau gejala itu terjadi, Indonesia akan memasuki jalan panjang prosedur demokrasi yang tak akan mengenal akhir!

(Kompas, 22 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger