Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 19 Juli 2013

”Googling” (BENI SETIA)

Oleh: BENI SETIA  

Kalau googling—dengan dua o dan satu g—itu merujuk ke goggling—dengan satu o dan dua g, maka kata dasarnya pasti goggle. Dan kita bisa merujuk ke Oxford Advanced Learner's Dictionary (1995), yang mengelompokkannya sebagai verb dan rinci mengartikannya sebagai: to stare at somebody/something with wide round eyes, especially in surprise or wonder.
Kini kita bisa menganggapnya gogling itu sebagai: dengan sungguh-sungguh memperhatikan seseorang atau sesuatu dan dilakukan saat ini juga. Tapi, si orang Indonesia punya pengertian berbeda, karena itu diksi goggling, dan terutama googling, ada dalam pengertian sempit, khusus amat bersifat idiom.

Bagi orang Indonesia, googling itu bukan goggling. Amat tak berkaitan dengan kekaguman akan sesuatu yang benar-benar mengherankan dan tak disangka- sangka, tapi hanya temuan yang bersimula dari (search machine) Google dengan memasukkan satu-dua kata kunci yang memicu pencarian. Sesuatu yang sangat menggampangkan menemukan teks rujukan, data penunjang, contoh kasus lain, dan seterusnya. Bahkan dianggap sebagai kecerdasan memanfaatkan terobosan teknologi informasi untuk memperkaya tulisan, paparan, atau omong kosong dengan data tambahan yang entah berada pada buku apa, serta berasal dari ilmuwan atau pengarang entah siapa—karenanya tidak semua orang mengetahuinya.

Di sini terandaikan adanya kemudahan yang dimulai oleh terobosan teknologi—bahkan bisnis warung internet (warnet) menyebabkan pencarian data dan kutipan dilakukan sembarang orang. Tapi ada orang yang beranggapan tak semua orang memiliki komputer, kalau punya komputer pun tidak mungkin punya pengetahuan serta pengalaman untuk memperkaya tulisan, paparan, dan omong kosong dengan kemudahan googling. Arogansi ini yang membuat si pelaku merasa pinter sendiri, kaya sendiri, dengan tiap orang di luar dirinya tak tahu apa-apa dan tak bisa apa-apa. Orientasi pada hasil tanpa menghargai proses itu menyebabkan di sekolah lahir kecenderungan menggampangkan masalah ketika siswa mendapat tugas mengarang atau membuat karya tulis.

Karya oplosan
Tugas dari guru diatasi dengan ke warnet, lalu print out temuan tanpa mengubah jenis huruf, besar spasi, dan seterusnya. Di atas yang lugu itu ada yang sedikit cerdas dengan melakukan editing meski cuma ganti huruf dan ubah spasi. Pada level lebih cerdas, ada yang meng-copy and paste sebagian data dari artikel ini dan memasukkan itu ke artikel lain, lalu menyuntingnya dengan beberapa kata kunci yang khas dirinya. Jadilah karangan yang idenya orsinal, tapi argumen, referensi, pendadaran, dan datanya diambil dari artikel orang lain. Bukan plagiarisme, melainkan mengoplos dengan kadar yang dicampurkan lebih dari 80 persen dari keseluruhan artikel.

Tapi keculasan siswa yang berpasangan kemalasan guru itu terkadang berlanjut. Si guru pembina, yang mendadak harus membina siswa untuk ikut lomba mengarang tingkat SLTA atau SLTP, disimulai dengan menugaskan si siswa aktif googling. Puisi atau cerpen yang ditemukan dicek sesuai tema lomba atau tidak. Kalau sesuai, langsung disadur supaya sesuai lokalitas domisili. Lantas diedit bersama agar khas punya si siswa.

Tapi apa arti khas personal bila ide awal cuma hasil googling? Tak ada momen berdarah dalam labirin mengarang. Kegiatan googling makin menjadi-jadi. Ini diperparah oleh pembina yang miskin respek intelektualis, tak pernah menghargai apa yang diketahui dan kecermatan menuliskannya di dalam teks dari seseorang. Semua dicaplok oleh kemudahan googling.

Bahkan, kegilaan goggling itu terkadang berubah jadi kebengisan berorientasi kemenangan dengan menghalalkan segala cara. Nama penulis dicoret pembina, meski bersusah payah goggling dan melakukan copy-paste, dan digantikan oleh siswa yang pandai bicara. Di sini bukan cuma googling, plagiarisme, tapi terjadi perampokan hak (cipta) googling. Lalu dari teladan sukses instan dengan pola cara yang menghalalkan tujuan itu akan melahirkan karakter siswa apa?

Tersebabkan karena kemalasan serta ketaksanggupan belajar guru pembina, kini hal itu dianggap rasional dan sangat efisien diterapkan di sekolah. Beriringan dengan makin hilangnya penghargaan pada proses ingin tahu serta merumuskannya, dan di sisi lain pengakuan atas intelektualitas direduksi oleh orientasi ke kemenangan mutlak, generasi macam apa yang akan meneruskan bangsa-negara ini?

Di titik ini googling yang awal untuk memuaskan ingin tahu itu berubah jadi laku konsumsi. Dan, konsumsi yang berlebihan itu telah membuat bangsa ini jadi si peminjam utang ulung dan tak tahu malu menjual murah kekayaan alam apa saja yang dimilikinya. Paduan kedua hal itu adalah kreatif berkorupsi. Negara kita ini hanya lokasi pemasaran produksi murah sumber bahan alam murah untuk industri negara lain, sekaligus jadi yang meluncur ke dalam kehancuran tersebab kemalasan yang levelnya naik menjadi ketergantungan pada yang serba instan.

BENI SETIA
Pengarang

(Kompas cetak, 19 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger