Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 05 Juli 2013

Kurikulum 2013 dan Guru (Kompas)

Riuhnya wacana masalah pendidikan selalu berakhir antiklimaks. Tak melangkah maju, tetapi mundur. Maju mundur, mundur maju.
Ibarat tarian poco-poco. Kalau keadaan ini terus terjadi, benar pendapat bahwa anak didik sebagai obyek eksperimen. Seolah-olah dikembangkan demokratisasi pendidikan, padahal yang sebenarnya strategi komunikasi "memenangkan perang". Masukan yang menguntungkan dipungut untuk mendukung pengambilan keputusan dan kebijakan yang sudah disiapkan.

Taruhlah contoh aktual yang berkembang. Masalah guru dan penerapan Kurikulum 2013. Program sertifikasi yang berlanjut pada pemberian tunjangan profesi keguruan awalnya gaduh luar biasa, tetapi berakhir dengan seolah-olah selesai. Padahal, banyak guru lulus tes, tetapi masih daftar tunggu terima tunjangan bertahun-tahun.

Begitu juga rencana penerapan Kurikulum 2013. Dilempar ke publik isu rencana perubahan. Wacana pro-kontra. Hampir semua oke perubahan kurikulum, tetapi yang kontra mengatakan jangan sekarang. Siapkan infrastruktur, sarana, dan kesiapan psikologisnya. Argumentasi kontra lebih masuk akal. Namun, karena "harus dilaksanakan tahun ini", yang bicara tak lagi logika, tetapi kekuasaan.

Kita apresiasi strategi komunikasi politik yang dikembangkan. Kita apresiasi keberanian membuat keputusan sesuai tugasnya. Namun, jauh lebih baik kalau pemerintah, dalam hal ini Kemdikbud, mempersiapkan infrastruktur dan sarana yang diperlukan. Kalau tidak, yang terjadi antiklimaks. Kurikulum 2013 dilempar ke publik seolah agar mendapat masukan, padahal sekadar bagian dari sarana "memenangkan perang".

Tidak ada yang meragukan kelebihan Kurikulum 2013. Namun, karena kurikulum ini memiliki kekhasan konsep, taruhlah di antaranya tematik integratif, tanpa dipersiapkan matang yang terjadi "penafsiran praktis-pragmatis". Terjadi kembali seperti selama ini: kurikulum di atas kertas berbeda dengan kurikulum di lapangan. Posisi guru strategis, tetapi di lapangan kurang memperoleh perhatian. Mereka diberi perhatian ketika dibutuhkan, bahkan disalahgunakan jauh dari fungsi pokoknya sebagai pendidik. Guru dijadikan tim sukses dalam pilkada.

Kongres Guru Indonesia 2013 yang sedang berlangsung tentu mengkaji kembali seberapa jauh fungsi keguruan didudukkan pada yang seharusnya. Bisa ikut menggarisbawahi dan menjabarkan bentuk konkret konsep dan kebijakan otonomi pendidikan. Bisa mengingatkan agar dihentikan kegemaran demokratisasi pendidikan seolah-olah, padahal hanya bagian dari strategi "memenangkan perang" sehingga semua tidak selalu berakhir dengan antiklimaks. Upayakan agar janji Menteri Mohammad Nuh saat pembukaan kongres terealisasi, yakni dalam tiga bulan akan menyelesaikan persoalan guru yang menyangkut isu otonomi pendidikan guru honorer, guru bantu, dan kekurangan guru.

(Kompas, 5 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger