Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 29 Juli 2013

Menodai Magsaysay Award (Kompas)

Selama sepekan kemarin, setidaknya tiga peristiwa besar terkait praksis penegakan hukum di Indonesia membuat kita terkaget-kaget.
Pertama, dicokoknya Mario C Bernardo, pengacara kantor hukum Hotma Sitompoel & Associates, dan Djodi Supratman, pegawai Mahkamah Agung. Kedua, pengakuan Vanny Rosyane yang memperoleh fasilitas "bilik asmara" bersama terpidana mati Freddy Budiman di LP Cipinang. Ketiga, seolah-olah dua kasus itu menodai apresiasi Raymon Magsaysay Award 2013 untuk Komisi Pemberantasan Korupsi.

Kita apresiasi dukungan moral Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas eksistensi KPK. Niat baiknya menambah bobot penghargaan Magsaysay. Kita bangga dan gembira atas penghargaan setingkat Nobel Asia dan diberikan dalam waktu tepat. Sejak KPK dibentuk, hampir semua orang yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK selalu divonis bersalah di pengadilan.

Di saat yang sama, penegakan hukum sering direcoki niat memperlemah eksistensi KPK, atau berbagai kasus yang memberi kesan umum korupsi semakin marak. Penangkapan pengacara dan pegawai MA, lantas terungkapnya fasilitas bagi terpidana mati Freddy Budiman, sekadar dua contoh terakhir. Dua kasus itu masih bergulir. Menjadi cerita menarik dengan berbagai variasi sampingannya.

Kita ikuti babak berikutnya. Menyangkut penangkapan Mario dan Djodi, masalah akan membuka tabir dugaan mafia peradilan. Pencarian keadilan, bahkan sampai di tembok terakhir MA—apalagi di tingkat aparat penegakan hukum sebelumnya seperti polisi dan jaksa, sekarang ditambah pengacara—terlibat dalam jual beli perkara.

Mengenai penyalahgunaan lembaga pemasyarakatan, termasuk rumah tahanan, tidak sekali ini kasus serupa terjadi. Bilik asmara hanya satu dari beberapa kebobrokan yang terungkap, selain sebelumnya seperti bandar narkoba yang tetap bisa mengatur peredaran narkoba dari balik jeruji, pengusaha koruptor yang tetap bisa menjalankan bisnisnya dalam status terpidana, bisnis narkoba marak, dan perlakuan tidak manusiawi terpidana dan tahanan.

Dua kasus itu mencorengkan tinta hitam upaya penegakan hukum. Penegakan hukum pemberantasan korupsi sebagai tagline pemerintahan Yudhoyono menabalkan upaya ini seolah-olah utopia. Dari bahasa Yunani ou = tidak, topos = tempat, deskripsi naif tentang negeri ideal yang tak dapat direalisasikan dan tidak praktis.

Penegakan hukum di Indonesia hanya utopia? Tentu saja tidak. Ada titik terang. Terlepas dari sering terbentur kasus besar yang tak tersentuh, kehadiran KPK perlu terus diperkuat. Dukungan perundang-undangan dan pemerintah, terutama LSM antikorupsi, niscaya menjanjikan masih ada harapan. Penghargaan dari Manila pun menegaskan keyakinan kita. Penegakan hukum bukanlah utopia.

Maju terus KPK!

(Kompas cetak, 29 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger