Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 12 Juli 2013

Nalar Bank Pertanian (Oleh Khudori)

Oleh Khudori

Sejak diinisiasi oleh Komisi IV DPR pada 2010, usia RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani sudah lebih dari tiga tahun. Pembahasan RUU itu antara pemerintah dan DPR alot karena ada beberapa isu krusial. Salah satunya adalah bank pertanian.
Pada draf awal, DPR menghendaki pembentukan bank pertanian. Saat dibahas di DPR, Bank Indonesia dan pemerintah (diwakili Kementerian Keuangan) tak setuju membentuk bank pertanian. Alasannya, bank pertanian tak menguntungkan, perlu modal besar, dan lama membentuknya. Jika nanti dibentuk, sektor lain menuntut bank serupa.

Usul pemerintah: bentuk divisi khusus di bank nasional menangani pembiayaan pertanian. Sejumlah fraksi di DPR setuju.

Mereka lupa bahwa pembentukan bank pertanian bukan semata-mata aspek bisnis, apalagi untung-rugi. Di balik pembentukan bank pertanian ada misi mulia: menyejahterakan petani dengan menyentuh aspek ketimpangan struktural di negeri ini.

Melihat Malaysia
Kita bisa lihat Malaysia: menciptakan Bank Pertanian Malay- sia (BPM) bukan hanya sebagai manifestasi memajukan pertanian, melainkan dirancang untuk membangun keadilan. Pada dekade 1960-an, penduduk Malaysia yang berakar bangsa Melayu miskin dan tertinggal. BPM dirancang mengatasi itu dan merupakan instrumen strategis Malaysia keluar dari ketertinggalan (Pakpahan, 2004).

Afrika Selatan melahirkan Land and Agricultural Development Bank (LADB) Act 2002. Dalam pembukaan dijelaskan alasan pendirian bank bahwa di masa lalu, karena sistem apartheid, terjadi ketidakadilan dalam sektor pertanian dan kepemilikan lahan. Jadi, amat jelas latar dan untuk siapa undang-undang ini. Bukankah petani di Indonesia juga golongan orang-orang yang secara historis terpinggirkan dalam kaitan dengan lahan?

Diakui atau tidak, struktur sosial-ekonomi Indonesia dewasa ini kian timpang. Bukan hanya indeks gini yang tahun 2012 mencapai 0,41. Sebelum krisis ekonomi 1998 indeks rasio gini tidak pernah mencapai lebih dari 0,33. Kesenjangan akut tampak dari penguasaan kue ekonomi.

Pada 2010 kekayaan 40 orang terkaya Rp 680 triliun (71,3 miliar dollar AS), setara dengan 10,3 persen PDB Indonesia. Jumlah kekayaan 40 orang itu setara dengan kekayaan sekitar 15 juta keluarga atau 60 juta jiwa paling miskin (Prakarsa, 2011).

Dilihat lebih jauh, 0,02 persen penduduk terkaya akumulasi kekayaannya setara 25 persen PDB (Winters, 2011). Kekayaan yang dimiliki 43.000 orang terkaya itu setara dengan akumulasi kepemilikan 60 persen penduduk atau 140 juta orang. Menurut kalkulasi Perkumpulan Prakarsa (2011), situasi ini jauh lebih buruk dibandingkan kondisi menjelang kejatuhan Orde Baru. Saat itu kekayaan 1 persen penduduk setara kekayaan 28 persen penduduk.

Kekayaan kian terkonsentrasi. Konsentrasi kekayaan Indonesia kini dibandingkan negara tetangga lain kian parah: tiga kali lebih tinggi dari Thailand, empat kali ketimbang Malaysia, bahkan 25 kali dibandingkan dengan Singapura (Winters, 2011).

Kekayaan yang kian terkonsentrasi di secuil warga juga terjadi pada aset tanah. Bila pada 1983 indeks gini kepemilikan tanah 0,50 pada 2003 indeks gini mencapai 0,72. Ketimpangan kepemilikan aset di negeri ini amat akut: 56 persen aset nasional hanya dikuasai 0,2 persen dari jumlah penduduk. Ini berarti aset nasional hanya dikuasai 440.000 orang. Nyaris tak berubah dalam 60 tahun terakhir (Mohammad Tauchid, 1952). Konsentrasi aset itu 62 persen-87 persen berupa tanah (Winoto, 2008). Sebaliknya, 49,5 persen petani di Jawa dan 18,7 persen petani luar Jawa tunatanah (tak berlahan). Jadi, ketimpangan itu struktural!

Persoalan ilmu bagi
Persoalan mendasar di negeri ini sesungguhnya bukan ilmu perkalian sumber daya atau kapi- talisasi sumber daya, melainkan pada soal ilmu bagi alias soal keadilan sosial, seperti diuraikan oleh Budiman Sudjatmiko lewat artikel "Bentuk Kementerian Agraria!" (Kompas, 24/4/2013). Tanpa menyentuh masalah struktural yang tak adil itu, tiap saat negeri ini selalu dibayangi potensi ledak gejolak sosial. Seperti di Malaysia dan Afrika Selatan, sudah seharusnya pembentukan bank pertanian diskenariokan sebagai bagian penyelesaian masalah struktural negeri ini.

Jika DPR dan pemerintah mengusung misi mulia ini, perdebatan biaya Rp 3 triliun untuk membentuk bank pertanian dan aspek untung-rugi hanyalah masalah teknis. Prinsip banks follow the business dan pertanian tidak bankable yang banyak dianut para bankir juga menjadi usang. Apa kurang menariknya sektor pertanian? Bukankah sektor ini kebutuhan dasar tak tergantikan sektor lain? Harus diakui, risiko sektor pertanian tinggi dan kompleks, tetapi tetap saja rasional secara bisnis. Buktinya, di sejumlah negara ada bank pertanian. Bank-bank itu tak hanya eksis dan supersehat, tetapi juga berkembang pesat, bahkan operasinya mendunia, seperti Agricole dan Rabobank.

Membentuk divisi khusus, seperti ditawarkan pemerintah, bisa dipastikan tak akan mengubah apa-apa. Bukankah selama ini ada peraturan BI yang mewajibkan bank nasional menyalurkan 20 persen kreditnya buat UKM (termasuk pertanian)? Apakah persoalan pembiayaan pertanian selesai? Dalam 50 tahun terakhir, bukankah total kredit perbankan yang mengalir ke sektor pertanian hanya 7-8 persen dari total kredit? Bukankah sektor pertanian masih ditekuni 43 persen warga negeri ini? Adilkah ini?

Tentu ada trade off dengan spesialisasi bank pertanian. Namun, dengan masih dominannya pertanian dalam perekonomian nasional dan berbagai produk hasil pertanian, sektor pertanian merupakan ruang usaha yang besar bagi perbankan.

Untuk membentuk bank pertanian, kata kuncinya satu: keberpihakan. Dua jalan ditempuh. Pertama, mengamendemen UU No 10/1998 dengan memasukkan bank pertanian sebagai bentuk bank, selain bank umum dan BPR. Ini perlu waktu. Kedua, membentuk lembaga keuangan khusus, tapi boleh menggunakan istilah bank, seperti BPM di Malaysia. Jalan yang akan ditempuh pemerintah dan DPR itu teknis, bukan soal taktis.

Khudori
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)

(Kompas cetak, 12 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger