Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 03 Juli 2013

Rapor Reformasi (Sulastomo)

Oleh: Sulastomo  

Ada kegalauan yang terasa semakin meluas pada tahun ke-15 reformasi. Bahkan, Buya Syafii Maarif dalam sebuah diskusi berkomentar, kalau ada orang yang puas dengan kondisi sekarang, berarti orang tersebut tidak normal.

Mengutip tokoh yang lain lagi, Komaruddin Hidayat, demokrasi kita memang sedang dalam proses bunuh diri karena tidak disertai dengan upaya penegakan hukum, etika moral, serta pemerataan pendidikan dan ekonomi.

Semuanya seolah-olah menisbikan pencapaian yang positif. Pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dinilai sebagai kurang berkualitas karena kenyataannya melahirkan kesenjangan sosial yang semakin melebar. Pertumbuhan ekonomi itu ternyata tidak dinikmati sebagian besar rakyat. Kebebasan mengeluarkan pendapat yang telah kita nikmati dianggap sebagai berlebihan. Semuanya menimbulkan pertanyaan, apa yang salah dengan reformasi?

Risiko demokrasi
Salah satu tujuan reformasi adalah mewujudkan kehidupan yang lebih demokratis. Kalau demokrasi hanya diukur dari kebebasan mengeluarkan pendapat dan kebebasan berserikat, pencapaian kita sudah melampaui harapan.

Dengarkan suara rakyat di radio Elshinta, dalam semalam suntuk kita bisa tahu unek-unek masyarakat yang galau dengan kondisi sekarang. Bahasanya sangat lugas. Kata-kata yang digunakan mencerminkan kebebasan yang berlebihan, tanpa kendali. Konon, hal itu diperlukan agar kritiknya didengar. Perhatikan jumlah partai yang lahir setelah reformasi, tidakkah hal itu mencerminkan kebebasan berserikat yang berlebihan?

Demokrasi seperti itu juga tercermin di dalam pengelolaan ekonomi, politik, birokrasi, dan kehidupan berbangsa dan bernegara kita lainnya. Perekonomian kita berjalan di atas konsep pasar-bebas. Sistem politik kita diselenggarakan sesuai konsep demokrasi langsung. Birokrasi kita ditandai desentralisasi atau otonomi yang begitu luas, dan kehidupan sehari-hari kita ditandai dengan semakin longgarnya kebersamaan atau kegotongroyongan.

Ketika kebebasan berlebihan, demokrasi kita menjadi "democrazy". Semuanya, secara sistemik, berperan dalam penyelenggaraan negara. Penegakan hukum yang memprihatinkan, degradasi etika dan moral, dan kesenjangan ekonomi yang semakin melebar merupakan dampak yang mestinya harus diperhitungkan.

Di pihak lain, kenyataan itu juga mengindikasikan bahwa semua sudah sistemik. Negara menjadi sangat fragmented sehingga sulit dikelola. Semuanya serba high cost, baik ekonomi maupun sosial, budaya, dan politiknya. Ekonomi kita tidak kompetitif, biaya politik kita terlalu mahal, demikian juga biaya pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.

Implikasinya, semuanya serba transaksional, termasuk dalam penegakan hukum sekalipun. Kecenderungannya akan semakin meluas kalau tidak diambil langkah-langkah yang juga sistemik untuk mengubah kenyataan itu. Ada yang sudah berpikir, diperlukan sebuah reformasi jilid dua atau bahkan sebuah "revolusi".

Kondisi seperti itu, baik dan buruknya, sesungguhnya adalah harus menjadi tanggung jawab kita bersama. Kegalauan itu sesungguhnya juga kita ciptakan. Mengapa kita memilih "demokrasi" seperti ini? Mengapa kita memilih bentuk otonomi daerah seperti ini sehingga negara menjadi sangat fragmented? Tidakkah hal ini justru mengancam kesatuan NKRI? Tidakkah semua itu pilihan kita?

Dengan demikian, upaya untuk memperbaiki dan mengoreksi semestinya juga harus datang dari kita sendiri. Di sinilah diperlukan kejujuran sebagai langkah awal melakukan koreksi agar kita mampu memilih jalan yang benar dan tidak semakin terpuruk.

Momentum 2014
Momentum untuk memperbaiki kondisi seperti itu adalah Pemilihan Umum 2014. Kalau kita semua sebagai hakim, pemegang kedaulatan negara sebagai pemilih, mampu menggunakan hak pilih kita dengan cerdas, koreksi jalannya reformasi bisa dilakukan secara demokratis pula. Tidak hanya memilih figur/calon yang kita anggap profesional, tetapi juga cita-cita, program, atau bahkan ideologi partai yang mengusungnya. Ini penting sebab dalam sistem politik kita, peran partai sangat besar.

Secara perorangan, peran anggota DPR bisa direduksi peran fraksi, yang merupakan kepanjangan tangan dewan pimpinan pusat sebuah partai. Sementara calon presiden/wakil presiden juga harus melalui pencalonan partai. Parpol, dengan demikian, benar-benar merupakan pilar demokrasi. Senang atau tidak senang, inilah kenyataannya.

Karut-marut yang terjadi dalam era reformasi sebagian besar menjadi tanggung jawab pimpinan partai yang mengendalikan proses legislasi dan kebijakan negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Karena itu, menyongsong 2014, adalah harapan kita semua untuk dapat mencermati kebijakan, langkah-langkah atau program yang akan diambil sebuah partai politik dalam mengantar bangsa ini mewujudkan cita-citanya, mewujudkan masyarakat yang adil/makmur dan demokratis. Apakah melanjutkan sistem kapitalisme, liberalisme, dan individualisme meskipun berbendera Pancasila atau berusaha kembali mengamalkan Pancasila secara murni dan konsekuen, merujuk nilai-nilai yang substantif, yang cenderung mendorong terwujudnya demokrasi yang mengedepankan konsensus, ekonomi pasar sosial, dan kebersamaan/kegotongroyongan.

Apabila hal itu bisa kita wujudkan, sebagaimana kita bisa belajar dari Jepang, China, atau negara-negara Skandinavia, kebersamaan itu justru memiliki nilai kompetitif yang lebih besar dibandingkan individualisme. Inilah yang mungkin terlupakan di era Reformasi. Sesungguhnya kita telah memiliki "sistem sendiri" yang lebih kompetitif, tetapi kita lebih mengadopsi sistem lain yang bisa menyimpang dari tujuan untuk apa negara ini didirikan.

Gagalnya reformasi sesungguhnya adalah tanggung jawab kita bersama ketika kita bermimpi tentang demokrasi. Sebab, demokrasi yang kita lahirkan ternyata adalah "democrazy" sehingga keseluruhan tatanan berbangsa dan bernegara kita diselimuti kegalauan yang meluas.

Momentum 2014 adalah saat yang tepat untuk dapat mengawali upaya meluruskan jalannya reformasi. Pilihlah calon atau partai yang menjanjikan harapan itu sehingga demokrasi kita sekaligus menjanjikan terwujudnya kesejahteraan yang berkeadilan sosial.

Sulastomo
Koordinator Gerakan Jalan Lurus

(Kompas cetak, 3 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger