Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 16 Agustus 2013

Sejarah Hitam Mesir (Tajuk Rencana Kompas cetak)

Brutal. Berlebihan. Tidak bisa dimaafkan. Itulah tiga istilah yang rasanya pas untuk menyebut tindakan polisi dan militer Mesir hari Rabu lalu.
Mereka—polisi dan militer—mengerahkan segala daya dan kekuatan untuk membersihkan para pendukung presiden tersingkir Muhammad Mursi yang selama sekitar enam pekan menduduki kawasan Masjid Rabaah al-Adiwiyah, Nasr City, Kairo, dan Lapangan Al-Nahda, Distrik Giza, Kairo Raya. Akibat tindakan itu, sekurang-kurangnya, menurut versi Kementerian Kesehatan Mesir, 525 orang tewas dan 3.700 orang terluka.

Sementara menurut versi Al-Ikhwan al-Muslimin (IM), sebagai motor utama gerakan perlawanan terhadap penyingkiran Musri itu, korban tewas lebih dari 500 orang dan ribuan orang terluka. Karena itu, IM menyebutnya sebagai "pembantaian" yang korbannya termasuk orang- orang tak bersenjata, perempuan, dan anak-anak.

Sangat masuk akal dan wajar kalau kecaman pun bertubi-tubi dari segala penjuru, termasuk Sekjen PBB, ditujukan kepada Mesir yang dianggap terlalu gegabah dan berlebihan dalam menangani para pendukung Mursi. Kita pun bersikap sama, memprihatinkan, menyayangkan, dan bahkan menentang tindakan kekerasan yang berujung pada tewasnya orang-orang yang tidak bersalah.

Bagi pemerintah sementara Mesir, dukungan militer yang memerintahkan polisi dan kemudian militer menindak tegas mereka yang melakukan aksi pendudukan di kedua wilayah tersebut, sepertinya tidak memiliki pilihan lain. Memang hanya ada dua cara yang mereka lihat untuk mengatasi kebuntuan politik sejak penyingkiran Mursi, 3 Juli: solusi politik dengan mengajak semua pihak untuk melakukan dialog nasional dan rekonsiliasi serta tindakan dengan menggunakan kekerasan.

Cara kedua itu yang dipilih pemerintah karena cara pertama tidak bisa jalan. Namun, konsekuensi atas pilihan itu memang luar luar biasa. Tindakan polisi dan militer di Kairo dan Giza menyulut aksi perlawanan di banyak kota di sejumlah wilayah Mesir. Pada saat bersamaan, muncul pula gerakan masyarakat propemerintah dukungan militer itu. Tak pelak lagi, bentrokan yang menelan korban bahkan jiwa ada di mana-mana.

Pada akhirnya, memang, Pemerintah Mesir memberlakukan undang-undang darurat dan jam malam untuk mengatasi situasi krisis sekarang ini. Pertanyaannya tentu, akankah situasi krisis akan segera dapat diatasi atau justru akan semakin menjadi-jadi? Yang pasti, perpecahan bangsa Mesir semakin jelas dan nyata. Gejala konflik horizontal berbau sektarian pun mulai terlihat. Inilah harga mahal yang harus dibayar pemerintah. Sebuah kondisi yang mencoreng wajah sejarah Mesir. Noda hitam. Noda hitam yang mengotori nilai-nilai kemanusiaan karena nafsu kekuasaan dari semua pihak.

(Tajuk Rencana Kompas cetak, 16 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger