Vonis terhadap terdakwa bervariasi sesuai dengan tingkat kesalahannya. Vonis terberat dialami Serda Ucok Tigor Simbolon dengan hukuman 11 tahun penjara. Serda Sugeng Sumaryanto divonis 8 tahun penjara dan Koptu Kodik divonis 6 tahun penjara. Majelis yang diketuai Joko Sasmito memecat ketiganya dari dinas TNI. Mereka dinyatakan terbukti menembak empat tahanan titipan Polda Yogyakarta. Keempat tahanan itu ditembak saat ditahan di LP Cebongan, 23 Maret 2013, setelah menjadi tersangka penganiayaan yang menewaskan anggota TNI AD, Sertu Santoso, di Hugo's Cafe. Anggota Kopassus lainnya divonis hukuman penjara antara 4 bulan dan 1 tahun 9 bulan.
Penembakan di LP Cebongan, Yogyakarta, mengejutkan banyak kalangan. LP Cebongan bukanlah tempat publik yang bisa dimasuki siapa saja. LP Cebongan di bawah kontrol negara, yakni Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sehingga penembakan di dalam LP Cebongan tentu menjadi tanggung jawab aparat negara. Kita bersyukur unsur pimpinan TNI, khususnya unsur pimpinan TNI AD, mengambil langkah penyelidikan cepat sehingga bisa membawa kasus itu ke pengadilan. Hukum masih ada.
Awalnya, pemilihan pengadilan militer dikritik dan diragukan karena independensinya. Sebagaimana dilaporkan media, persidangan kasus itu mendapat tekanan dari pengunjuk rasa. Kita bersyukur majelis bisa menjatuhkan putusan yang menurut penilaian Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana mendekati rasa keadilan masyarakat. Vonis itu sendiri menimbulkan pro dan kontra. Ada yang menganggap ringan, tetapi ada yang menganggap berat. Rasa keadilan memang akan selalu berbeda tergantung dari sudut mana kita melihat. Kelompok masyarakat hadir dan mendukung terdakwa yang telah memerangi premanisme di Yogyakarta dan meminta oditur militer dan hakim untuk membebaskan terdakwa.
Langkah Serda Ucok dan kawan-kawan untuk mengajukan banding patut dihargai. Itulah jalan hukum yang seharusnya diambil. Bagi Kopassus TNI AD, vonis terhadap Serda Ucok dan kawan-kawan merupakan pukulan bagi institusi. Dipecat sebagai anggota TNI merupakan pukulan berat bagi prajurit dan bagi institusi. Berapa besar investasi yang dikeluarkan untuk mengembangkan sumber daya manusia prajurit elite yang terjerumus dalam penerapan jiwa korsa yang kurang tepat. Pembinaan prajurit menjadi prajurit profesional menjadi pekerjaan rumah Panglima TNI Jenderal Moeldoko. Penyimpangan yang kadang dilakukan prajurit haruslah dicari penyebab dan latar belakangnya sehingga tidak berulang lagi di kemudian hari.
Berangkat dari fakta yang terungkap di peradilan, kita juga mendesak kepolisian untuk mengambil langkah mengatasi premanisme yang mengganggu rasa aman masyarakat Yogyakarta dan sejumlah kota lainnya.
(Tajuk REncana Kompas, 7 September 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar