Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 23 September 2013

Tunda Seleksi Hakim Agung (Tajuk Rencana Kompas)

Uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan Komisi III DPR terhadap 12 calon hakim agung dipersoalkan publik. Prosesnya pun diragukan.
Istilah fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan) calon hakim agung yang didengungkan saat reformasi telah dipelesetkan menjadi fee dan properti. Sebuah bentuk sinisme publik terhadap proses seleksi di DPR. Gugatan publik terhadap hak memilih DPR untuk calon hakim agung dipersoalkan menyusul munculnya dugaan transaksi uang di balik pencalonan itu.

Anggota Komisi Yudisial, Imam Anshori Saleh, mengungkapkan, ada anggota Komisi III DPR—belakangan diungkapkan Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman bahwa anggota DPR itu dari Fraksi Demokrat—menawari KY uang Rp 1,4 miliar untuk meloloskan calon hakim agung. Tawaran tersebut ditolak dan calon hakim agung itu dicoret. Proses seleksi hakim agung yang sedang dilakukan Komisi Hukum DPR juga jadi pergunjingan ketika anggota DPR dan calon hakim agung dipergoki wartawan melakukan lobi di toilet DPR.

Ide DPR ikut terlibat dalam seleksi pejabat publik mencuat saat Orde Baru berakhir. Pada masa Orde Baru, seleksi pejabat ditentukan pemerintah dan DPR seperti menjadi stempel. Era reformasi, bandul kekuasaan beralih. Hampir tiada pejabat publik bisa menjadi pejabat tanpa melalui DPR. Akibatnya, DPR menjadi penentu akhir lolos-tidaknya seseorang menjadi pejabat. Transaksi uang pun terjadi. Beberapa anggota DPR masuk penjara karena menerima gratifikasi saat melakukan seleksi pejabat.

Benar kata Ketua DPR Marzuki Alie bahwa proses seleksi DPR lebih mengedepankan pada pertimbangan politik. Kini, saatnya kewenangan DPR menyeleksi pejabat publik, termasuk calon hakim agung, dikoreksi. Kita mendukung gagasan untuk meluruskan kembali kekuasaan DPR dalam memilih calon hakim agung. Kembalilah kepada konstitusi, sebuah kontrak sosial bangsa!

Jika konstitusi dijadikan batu penjuru—dan seharusnya demikian—sebenarnya tidak ada hak DPR memilih calon hakim agung. Pasal 24A Ayat 3 menyebutkan, "Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden." Artinya, jelas dan terang bahwa DPR hanya memberikan persetujuan dan tidak memilih calon hakim agung yang sudah diseleksi Komisi Yudisial.

Dengan merujuk konstitusi, DPR tak perlu lagi memilih calon hakim agung yang sudah diseleksi Komisi Yudisial. Proses seleksi terhadap 12 calon hakim agung oleh Komisi Hukum DPR yang sedang berjalan sekarang ini pun berpotensi melanggar konstitusi. Atas dasar itu, dengan pertimbangan kemungkinan terjadi pelanggaran konstitusi yang perkaranya sedang ditangani Mahkamah Konstitusi dan proses seleksi yang diragukan publik, seleksi calon hakim agung harus ditunda!

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002261898

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger