Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 28 Oktober 2013

Belajar Hidup Bersama Bencana (Tajuk Rencana Kompas)

Merasa lega bahwa gempa di lepas pantai timur Jepang berkekuatan 7,3 skala Richter, Sabtu dini hari, tidak menimbulkan bencana di Fukushima.
Gempa Sabtu lalu menyebabkan tsunami, meskipun kecil, di Fukushima. Meski tak ada korban jiwa kali ini, hal itu mengingatkan kita pada gempa 11 Maret 2011. Saat itu, 18.000 orang tewas karena gempa berkekuatan 9,0 skala Richter telah menimbulkan tsunami besar.

Gempa bumi tektonik sampai hari ini belum dapat diprediksi kapan terjadi dan berapa besarnya. Meski demikian, para ahli dapat memperkirakan wilayah yang berpotensi terkena gempa tektonik maupun vulkanik.

Jepang termasuk negara rawan gempa. Pemerintah dan masyarakatnya sangat menyadari potensi tersebut. Mereka mengembangkan pengetahuan dan keilmuan mengenai kebencanaan. Lebih jauh lagi, keniscayaan gempa telah terinternalisasi menjadi cara hidup.

Sering kita mendengar murid sekolah sejak usia dini sudah diajar menghadapi gempa. Bangunan tinggi di Jepang juga menggunakan teknologi yang mengadopsi kemungkinan terjadinya gempa.

Lebih penting dari itu semua, kesiapan menghadapi gempa terus dilakukan secara konsisten oleh pemerintah dan masyarakat.

Di negara tetangga, Australia, sedang terjadi bencana kebakaran hutan. Kebakaran sejak 18 Oktober itu menghabiskan 124.000 hektar hutan di kawasan New South Wales.

Berbeda dari gempa tektonik, salah satu pemicu kebakaran hutan terbesar di Australia itu adalah aktivitas manusia. Ironisnya, penyebabnya aktivitas militer, yaitu ledakan senjata di lapangan tembak di area pelatihan Departemen Pertahanan Australia.

Dua bencana tersebut mengingatkan bahwa Indonesia juga daerah rawan bencana. Gempa bumi akrab dengan kita karena Indonesia berada di antara lempeng Eurasia, Australia, dan Pasifik. Indonesia juga berada di daerah gunung berapi aktif.

Masih terekam dalam ingatan kita gempa di pantai barat Aceh yang mengakibatkan tsunami besar pada 26 Desember 2004. Lebih dari 200.000 orang menjadi korban saat itu.

Meskipun tsunami Aceh membangkitkan kesadaran membangun sistem peringatan dini, yang masih kurang adalah kesadaran terus-menerus bersiaga menghadapi bencana. Kita juga rawan menghadapi bencana longsor, banjir, hingga kebakaran hutan akibat ulah manusia.

Bencana alam adalah keniscayaan di tanah air kita. Karena itu, kesiapan hidup bersama bencana dan menjadikan bencana sumber kearifan untuk meningkatkan kualitas hidup tidak dapat sekadar menjadi wacana. Kesadaran hidup bersama bencana harus terus-menerus diajarkan dan dipraktikkan bersama oleh pemerintah dan masyarakat.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002865211
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger