Salah satu fakta tak terhindarkan dari rencana pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 adalah wilayah negara-negara ASEAN, khususnya Indonesia, didominasi laut.
Pada titik ini laut bisa menjadi satu modalitas bagi proses integrasi kawasan. Akan tetapi jika tak terkelola dengan baik, sebaliknya, laut dapat memicu disintegrasi yang mengarah pada bentuk-bentuk konflik, baik antarnegara maupun antarwarga. Dibutuhkan diskusi antarpemangku kepentingan, baik pemerintah maupun masyarakat, untuk mendorong berdirinya komunitas maritim ASEAN.
Paradoks regionalisme
ASEAN adalah manifestasi dari konsep regionalisme ekonomi. Meskipun dianggap sebagai satu proses transformasi paling ideal dari sebuah hubungan multilateral, perspektif regionalisme tidak sepi dari kritik. Regionalisme adalah perluasan dari paham neoliberal yang menempatkan negara sebagai the necessary evil. Satu cara pandang yang mengharapkan agar negara tidak lagi terlalu banyak mengurusi persoalan-persoalan di dalam masyarakat, meskipun mereka juga berharap agar negara juga mampu menjamin keamanan masyarakat dari segala macam bentuk ancaman, baik dari luar maupun dari dalam. Ringkasnya: di satu sisi menolak, tetapi di sisi lain berharap.
Berkaca pada posisi yang paradoksal seperti itu, maka regionalisme menuntut satu prasyarat penting dalam konteks hubungan negara bangsa, yakni membuat sebanyak mungkin peluang hubungan antara satu kelompok masyarakat dan kelompok masyarakat lain dalam satu kawasan. Negara diharapkan lebih membuka diri pada proses-proses sosial yang mungkin muncul ketika relasi antarwarga itu terbangun. Batas-batas negara yang semula pejal, dalam konteks regionalisasi ekonomi diharapkan menjadi lebih cair sehingga dimungkinkan adanya aliran manusia dan modal yang lebih cepat serta bebas hambatan.
Pada posisi seperti inilah kritik terhadap cara pandang regionalisme mulai mengemuka. Salah satunya terkait persoalan kedaulatan nasional. Pengembangan kawasan ekonomi multilateral mensyaratkan bentuk-bentuk pengurangan dominasi peran negara bangsa dalam urusan-urusan masyarakat, terutama terkait dengan persoalan investasi.
Regionalisasi, yang merupakan perluasan makna dari globalisasi, dianggap sebagai satu kekuatan positif yang mesti direspons dengan ramah oleh negara. Padahal, seperti banyak ditengarai, globalisasi menyimpan paradoks. Di dalam globalisasi ada kesempatan sekaligus ancaman.
Oleh karena itu, penyiasatan-penyiasatan pada level negara jadi sangat penting. Posisi negara untuk menciptakan keamanan, keadilan, dan kemakmuran tidak mungkin terhapuskan, bahkan oleh peluang besar yang ditawarkan oleh pasar dalam globalisasi dan regionalisasi ekonomi itu sendiri.
Konteks maritim
Paradoks regionalisme yang telah diuraikan di atas menemukan kontekstulitasnya pada persoalan kemaritiman, terutama terkait aliran manusia, aliran modal, dan tata batas teritorial negara. Dengan demikian, tantangan ke depan adalah bagaimana persoalan-persoalan kunci terkait relasi antarnegara dan relasi antarwarga ASEAN yang eksis di laut bisa dikonstruksikan sebagai arena baru dari sebuah proses integrasi kawasan yang tetap mengedepankan kedaulatan setiap negara. Di sini penting untuk memulai inisiatif komunikasi yang didasari oleh satu kesamaan kepentingan, sekaligus kesamaan nasib: nasib bangsa- bangsa ASEAN yang peradaban maritimnya terdegradasi.
Degradasi kultur maritim nyatanya bukan hanya domain Indonesia. Hans Dieter Evans (2011) dalam salah satu tulisannya tentang Malaysia juga merasakan kegalauan yang sama. Ia mempertanyakan mengapa bangsa Malaysia saat ini seperti menjauh dari laut. Padahal di masa lalu etnis mayoritasnya memiliki keterkaitan erat dengan kebudayaan Polinesia yang memiliki pengalaman panjang mengarungi samudra.
Kenyataan yang sama sepertinya juga terjadi di negara-negara anggota ASEAN lain, seperti Filipina, Thailand, dan Vietnam. Padahal, sampai hari ini kawasan Asia Tenggara adalah jalur pelayaran tersibuk yang menghubungkan Barat dan Timur selama beberapa abad lamanya.
Sejarah mencatat banyak muncul bandar-bandar kosmopolitan yang melayani para pengarung samudra dari sejumlah bangsa di sepanjang jalur pelayaran Asia Tenggara: mulai dari Selat Malaka sampai Laut China Selatan. Kesamaan sejarah dan nasib kekinian ini sepertinya bisa jadi titik berangkat yang sama di antara setiap negara anggota ASEAN. Dibutuhkan satu kesadaran kolektif bahwa masa depan hubungan multilateral kawasan ini terletak di laut.
Oleh karena itu, inisiatif Indonesia untuk mendorong konektivitas maritim di kawasan patut diapresiasi sebagai satu optimisme baru pola interaksi di antara warga negara di kawasan ini. Norma-norma baru perlu ditumbuhkan sebagai antisipasi untuk mencegah munculnya benturan ataupun konflik di laut.
Laut harus dijadikan sebagai arena di mana interaksi sosial, ekonomi, politik, dan kultural antarwarga bangsa bisa terjadi. Negara dengan aparatusnya bertugas menjaga keamanan kawasan agar tetap kondusif bagi proses interaksi tersebut.
Daulat masyarakat ASEAN
Karena proses interaksi antarwarga yang makin meluas, konstruksi kedaulatan nasional terkait batas atau teritorial negara memiliki kemungkinan dimaknai ulang tanpa harus mengurangi wibawa negara. Norma-norma baru yang mengikat para pencari ikan dari negara masing-masing juga perlu disusun sehingga bisa mengikat setiap pihak. Tentu saja di sini pilihannya adalah apakah konstruksi norma baru itu berangkat dari apa yang selama ini sudah berjalan baik di tingkat negara maupun di tingkat masyarakat, atau sebaliknya: konstruksi norma regional itu jadi acuan bagi norma-norma pada tingkat nasional dan lokal.
Sepertinya yang pertama lebih relevan untuk dipilih. Sebab acuan pada tingkat regional semestinya memiliki dasar-dasar empiris pada tingkat lokal sehingga selain memperkecil benturan horizontal antarwarga pencari ikan di laut, mekanisme tersebut juga bisa melindungi hak-hak komunal pada tingkat lokal.
Di sini jelas bahwa jika kawasan laut ASEAN ingin dijadikan sebagai kawasan laut bersama, yang paling penting adalah melindungi hak-hak kolektif yang sampai hari ini masih hidup di dalam masyarakat lokal. Apalagi secara sosiologis hampir semua negara anggota ASEAN, kecuali Singapura, adalah negara berkembang yang sebagian besar penduduknya tinggal di wilayah pedesaan dan bergantung secara langsung pada alam.
Selain penetapan batas teritorial negara, perlindungan terhadap masyarakat yang menggantungkan hidup pada laut harus dilihat sebagai manifestasi dari kedaulatan nasional setiap negara. Perlindungan terhadap hak komunal juga sebagai upaya menjamin rasa keadilan tetap hadir bagi masyarakat.
Bagi Indonesia, bermacam inisiatif dapat mulai digulirkan untuk mendorong satu tatanan pengelolaan sumber daya laut dan masyarakat maritim kawasan yang berkeadilan. Masyarakat maritim sendiri, mengacu Janizewski (1985), adalah satu tatanan masyarakat yang tidak saja tinggal dekat laut dan menggantungkan kebutuhan hidupnya pada laut. Di dalam masyarakat maritim juga muncul berbagai ikatan sosial dan bermacam obligasi sosial yang berhubungan dengan laut. Identitas kolektif mereka pun terbentuk dari proses pemaknaan bersama tentang laut.
Salah satu inisiatif yang bisa dijalankan adalah produksi pengetahuan mengenai masyarakat maritim di sejumlah negara di ASEAN. Inisiasi ini tentu bukan dalam kerangka mendominasi ASEAN, melainkan sebagai upaya untuk memperkuat landasan pengetahuan bagi masyarakat agar bisa membangun satu proses interaksi sosial maritim yang mampu mendorong integrasi sosial dan meminimalisasi konflik. Upaya ini juga bisa dimaknai sebagai jalan untuk mengembalikan kejayaan maritim kawasan.
(Bayu A Yulianto, Mengajar Sosiologi Maritim di Prodi Keamanan Maritim Universitas Pertahanan)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002758822
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar