Mengapa tahun 2014? Karena sejak tahun itu habislah seluruh tentara asing, yang terlibat perang selama 12 tahun, di Afganistan. Kecuali Loya Jirga atau Dewan Agung yang beranggotakan sekitar 3.000 orang yang terdiri dari tokoh agama, politisi, aktivis sosial, akademisi, praktisi hukum, serta para tokoh organisasi sosial dan budaya, menyetujui draf perjanjian keamanan antara AS dan Afganistan.
Dalam perjanjian itu disebutkan antara lain bahwa AS akan tetap berada di sana hingga tahun 2024. Tentara yang akan tetap berada di Afganistan berjumlah 8.000 hingga 12.000 personel; dua pertiga di antaranya adalah tentara AS dan sisanya dari NATO dan sekutu-sekutu lainnya. Mereka tidak bertugas untuk berperang, tetapi untuk melatih, menjadi penasihat, dan membantu pasukan Afganistan. Hal lain yang juga disebut dalam draf perjanjian tersebut adalah tentara asing itu memperoleh kekebalan hukum, dalam arti tidak bisa diadili dengan hukum Afganistan, tetapi dengan hukum AS bagi tentara AS.
Apakah Loya Jirga akan menyetujui draf perjanjian tersebut. Ternyata, kemarin, Loya Jirga memutuskan untuk menolak mengesahkan draf perjanjian yang menjadi dasar keberadaan tentara AS dan NATO setelah tahun 2014. Mereka baru akan memutuskan setelah pemilu presiden pada tahun 2014.
Apa artinya semua itu? Keputusan tersebut memang tidak serta-merta bisa diartikan sebagai penolakan sepenuhnya terhadap draf perjanjian antara AS dan Afganistan. Loya Jirga masih ingin melihat siapakah yang akan menjadi pemenang dalam pemilu presiden tahun depan.
Sejumlah tokoh, seperti mantan Menteri Pertahanan Jenderal Abdul Rahim Wardak, Qayum (saudara Presiden Hamid Karzai), mantan Menteri Luar Negeri Zalmai Rassoul, Ashraf Ghani, dan mantan pesaing Karzai pada Pemilu 2009, Abdullah Abdullah. Apakah presiden mendatang akan melanjutkan kebijakan Hamid Karzai?
Terlepas dari itu, hal yang nyata adalah apabila Loya Jirga tidak menyetujui draf kerja sama itu, seluruh bantuan komunitas internasional akan dihentikan, barangkali tidak berlanjut. Afganistan tidak seperti Irak, yang mampu membayar tentaranya sendiri (meskipun sepeninggal tentara asing, Irak terjerumus dalam perang saudara yang hingga kini belum selesai). Afganistan adalah negeri miskin. Karena itu, apakah Afganistan sudah siap dengan kenyataan itu, termasuk sendirian, dengan kekuatan sendiri menghadapi kelompok Taliban, misalnya?
Saat inilah, sebetulnya, saat pertaruhan Afganistan yang akan harus memasuki babak baru. Apakah mereka mampu berdiri sendiri atau masih butuh topangan asing.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003309216
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:
Posting Komentar