Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 24 Desember 2013

Natal dan Mimpi Perdamaian (I Suharyo)

"KITA mimpikan suatu dunia yang bebas dari kekerasan. Dunia dengan keadilan dan harapan. Setiap orang hendaknya mengulurkan tangan kepada sesamanya, tanda damai dan persaudaraan."
Kalimat ini merupakan bagian dari lirik lagu "The Prayer" yang sejak diperdengarkan untuk pertama kali sampai sekarang tetap sangat populer. Kata-kata kunci yang terdapat di dalam lagu itu, seperti keadilan, harapan, damai, persaudaraan, dan bebas dari kekerasan, merupakan kata-kata yang sangat dekat dengan kerinduan hati terdalam setiap pribadi manusia. Selain karena melodinya indah, lagu itu amat populer karena kata- katanya mampu menyentuh rasa perasaan manusia yang paling dalam.

Dalam Pesan Natal Bersama Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia bersama dengan Konferensi Waligereja Indonesia Tahun 2013, semua umat Kristiani diajak berdoa mohon damai, khususnya bagi Tanah Air tercinta Indonesia, dan damai untuk seluruh umat manusia.

Dalam sejarah sampai sekarang, umat manusia tidak pernah bebas dari berbagai macam konflik, kekerasan, perang, dan berbagai kejahatan yang merusak wajah Allah Sang Kasih, merendahkan martabat manusia dan merusak lingkungan hidup. Semuanya itu menghalangi terwujudnya damai yang sejati. Damai sejati adalah keadaan ketika relasi manusia dengan Allah, relasi manusia dengan manusia, dan relasi manusia dengan alam serasi, harmonis, tidak tercederai apa pun.

Tiga masalah
Damai adalah realitas kompleks yang menyangkut semua segi dari relasi-relasi itu. Dengan latar belakang inilah, PGI dan KWI menyebut tiga masalah yang dianggap menyebabkan damai masih jauh dari yang dicita-citakan di negeri kita: intoleransi, korupsi, dan perusakan alam. Berita mengenai intolerasi amat sering dikabarkan di sejumlah media massa. Beberapa komunitas pegiat HAM tak kenal lelah mendesak pemerintah menuntaskan pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Lembaga Bantuan Hukum Bandung mencatat, sejak Januari sampai 10 Desember 2013, di Jawa Barat saja terjadi 72 kasus pelanggaran HAM terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan. Yang tampil ke permukaan sebagai masalah agama, bisa saja menyembunyikan masalah lain, seperti ketidakadilan sosial atau politik kekuasaan. Namun, akhirnya yang amat menentukan adalah keyakinan mengenai agama itu sendiri. Ada bahaya bahwa agama tidak dilihat dan diyakini sebagai kumpulan ajaran, kepercayaan, norma, dan nilai, tetapi sekadar sebagai pengelompokan sosial.

Kalau demikian, agama hanya menjadi kelompok yang terbentuk oleh keanggotaan, tidak sampai menjadi komunitas yang disatukan nilai yang diyakini dan dianut bersama. Dengan paham seperti itu, dengan mudah, orang tidak menyembah Tuhan, tetapi menyembah agama. Agama dibela, bahkan dengan kekerasan, kalau perlu dengan mengorbankan manusia yang dianggap berbeda kelompoknya.

Dalam keadaan seperti ini, kebebasan beragama dan berkeyakinan berada dalam bahaya dan damai sejahtera yang kita rindukan akan sulit dirasakan. Dalam konteks ini, kebebasan beragama dan berkeyakinan harus diyakini sebagai jalan menuju damai yang sejati (Benediktus XVI, Hari Perdamaian Sedunia, 1 Januari 2011).

Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan 9 Desember sebagai Hari Antikorupsi Sedunia. Dalam rangka menyambut peringatan itu, Ketua KPK Abraham Samad menuliskan di Papan Harapan Menuju Indonesia Tanpa Korupsi, "Jauhkan hidup dari keserakahan dan ketamakan karena keserakahan adalah cikal bakal dari perilaku korupsi" (Kompas, 11/12/2013, hlm 3). Keserakahan memang cikal bakal korupsi, tetapi lebih daripada itu adalah berhala (Ef 5:5) yang semakin banyak penyembahnya.

Warga masyarakat biasa sering bertanya, bagaimana mungkin ketika KPK begitu gencar mengejar koruptor, tetap saja korupsi terjadi di mana-mana dan terkesan meluas? Amat sedih membaca catatan Kementerian Dalam Negeri yang mengatakan bahwa sejak tahun 2005 sampai 2013, terdapat 277 gubernur, wali kota, atau bupati yang terlibat kasus korupsi.

Adapun anggota DPRD yang terjerat hukum sudah mencapai 3.000 orang (Suara Pembaharuan, 9/12/2013, hlm 1). Menurut Indeks Persepsi Korupsi, Indonesia ada di urutan ke-114 dari 177 negara dengan angka 32.

Munculnya istilah peyoratif trias koruptika atau regenerasi korupsi mencerminkan betapa seriusnya masalah korupsi di negeri kita ini. Kejahatan korupsi adalah realitas yang amat kompleks yang asal-usulnya dari berbagai macam elemen, dari agama, pendidikan, sistem, pribadi, dan hukum.

Dengan demikian, kejahatan korupsi harus dikeroyok dari berbagai macam jurusan dan oleh berbagai macam lapisan. Memperingati Hari Antikorupsi serta menyebarluaskan pendidikan dan gerakan antikorupsi dapat menjadi gerakan bersama yang akan berbuah pada waktunya.

Kehancuran lingkungan
Luasnya masalah kerusakan dan perusakan lingkungan hidup dapat dirasakan kalau disadari bahwa lingkungan hidup adalah segala sesuatu yang ada di sekitar makhluk hidup, termasuk manusia, berupa benda, daya, dan keadaan yang memengaruhi kelangsungan makhluk hidup, baik langsung maupun tidak langsung (UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup).

Kerusakan lingkungan hidup yang saat ini terjadi antara lain disebabkan aktivitas pengambilan sumber daya alam yang tidak terkendali di sejumlah bidang, seperti pertambangan, perkebunan, dan kehutanan. Pencemaran tanah, pencemaran udara, serta pencemaran air dan sampah membuat lingkungan hidup semakin tidak bersahabat, bahkan mengancam hidup manusia (Nota Pastoral Konferensi Waligereja Indonesia 2013, hlm 8-22).

Sekadar contoh, kadar timbal di udara Jakarta mencapai 29 mg/m3, sedangkan standar WHO 0,5 mg/m3. Kerusakan lingkungan hidup ini juga dengan mudah menjadi penghambat besar bagi damai sejati. Kalau kita ingin mengalami damai, kita dituntut menjaga kelestarian alam ciptaan dan bertumbuh dalam solidaritas antargenerasi (Benediktus XVI, Hari Perdamaian Sedunia, 1 Januari 2010).

Munculnya komunitas-komunitas kreatif dapat sangat membantu menyebarluaskan dan memperdalam kesadaran akan tanggung jawab melestarikan keutuhan ciptaan (Kompas, 17/12/2013). Dengan demikian, merayakan Natal berarti ikut mengambil tanggung jawab untuk mendatangkan damai, dengan menyingkirkan hambatan-hambatannya. Damai yang seperti itu adalah tugas yang tidak akan pernah selesai dikerjakan. Selamat Natal 2013 dan selamat menyongsong Tahun Baru 2014.

I Suharyo, Konferensi Waligereja Indonesia

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003747567
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger