Menengok ruang sidang, kenangan masa lalunya kembali membayang. Pada usia 37 tahun, sebagai pejuang kemerdekaan antiapartheid dari The African National Congress (ANC), ia terinspirasi pidato Presiden Soekarno. Dalam membuka Konferensi Asia Afrika pada 18 April 1955, Bung Karno mengingatkan: "Perjuangan melawan kolonialisme berlangsung sudah sangat lama, dan tahukah Tuan-tuan, bahwa hari ini adalah hari ulang tahun yang masyhur dalam perjuangan itu? Pada tanggal 18 April 1775, kini tepat 180 tahun yang lalu, Paul Revere pada tengah malam mengendarai kuda melalui Distrik New England memberitahukan tentang kedatangan pasukan-pasukan Inggris dan
tentang permulaan Perang Kemerdekaan Amerika, perang antikolonial yang untuk pertama kali dalam sejarah mencapai kemenangan."
Bung Karno lantas menyadarkan kembali perjuangan dan penderitaan rakyat Asia Afrika. Gedung Merdeka sekarang ini, menu- rut dia, tidak hanya diisi pemimpin-pemimpin Asia Afrika yang hidup, tetapi juga oleh semangat dan jiwa "yang tak dapat dimatikan, tak dapat dijinakkan, dan tak dapat dikalahkan" dari generasi yang lalu dalam perjuangan kemerdekaannya.
Akhirnya beliau berpesan: "Dan saya minta kepada Tuan-tuan, janganlah hendaknya melihat kolonialisme dalam bentuk klasiknya saja, seperti yang kita di Indonesia dan saudara-saudara kita di berbagai wilayah Asia Afrika mengenalnya. Kolonialisme mempunyai juga baju modern, dalam bentuk penguasaan ekonomi, penguasaan intelektual, penguasaan material, dilakukan oleh sekumpulan kecil orang-orang asing yang tinggal di tengah-tengah rakyat.... Di mana, bilamana, dan bagaimanapun ia muncul, kolonialisme adalah hal jahat yang harus dilenyapkan di muka bumi."
Semangat Bandung Historical Walks dan api inspirasi dari pidato Bung Karno berpe- ngaruh besar pada mental juang Mandela. Ia mengenang Bandung, seperti sebutan Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, sebagai "ibu kota Asia dan Afrika". Lewat Konferensi Asia Afrika, Bandung berperan sebagai "pusat koneksi" dari negara dan rakyat Asia Afrika dalam menyusun barisan kesetiakawanannya. Bandung juga berfungsi sebagai "dalang'" dalam kelanjutan proses sejarah kebangkitan bangsa-bangsa yang masih dijajah (Roeslan Abdulgani, 2013).
Semangat Bandung, dengan cepat memompa darah perjuangannya. Mandela menggunakan pidato-pidato Bung Karno sebagai alat perjuangannya dan menjadikan Konferensi Asia Afrika sebagai titik tolak pembebasan bangsanya. Melalui ANC, ia melancarkan unjuk rasa, boikot, mogok kerja, dan aksi lainnya. Apa yang dikatakan Bung Karno sebagai jiwa "yang tak dapat dimatikan, tak dapat dijinakkan, dan tak dapat dikalahkan" itu mengantarkan perjuangan Mandela sebagai pemenang.
Begitu dalam kesan Mandela terhadap Indonesia. Setelah mendekam 27 tahun di penjara, salah satu tempat pertama yang dikunjungi adalah makam Sheikh Yusuf Al-Makassari di Cape Town, pejuang Indonesia yang memberinya pelajaran tentang ketabahan dan konsistensi perjuangan. Ikatan batinnya dengan Indonesia, ia tandai dengan menjadikan batik sebagai pakaian kebesarannya. Utang budinya terhadap inspirasi Indonesia ia tunjukkan saat kunjungan Megawati ke Johannesburg pada September 2002. Lazimnya, pemimpin negara lain sebagai tamu yang datang berkunjung ke kediamannya. Namun, dalam kasus ini, justru Mandela-lah yang menemui Presiden Megawati, putri Bung Karno yang dikaguminya.
Soekarno dan Mandela laksana belahan jiwa. Bung Karno merintis jalan Asia Afrika dalam memperjuangkan kemerdekaan; sedangkan Mandela menuntaskan jalan Asia Afrika dalam memperjuangkan perdamaian. "Kita barangkali sulit melupakan, tetapi harus bisa memaafkan!" Kalimat itu dilontarkan Mandela saat membujuk Miriam Makeba untuk kembali ke Afrika Selatan dari tempat pengasingan. Mandela berpetuah, "Untuk berdamai dengan musuh, seseorang harus bisa bekerja sama dengan musuh, dan musuh itu menjadi mitramu."
Kini, Soekarno dan Mandela telah pergi. Namun, arwahnya masih menitipkan pesan kepada kita, seperti dalam lirik puisi Chairil Anwar: Kami sudah coba apa yang kami bisa/Tapi kerja belum selesai... belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa/Kami cuma tulang-tulang berserakan/Tapi adalah kepunyaanmu/Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan/Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan/Atau tidak untuk apa-apa/Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata/Kaulah sekarang yang berkata.
Yudi Latif, Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003828604
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar