Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 28 Desember 2013

Semiotika Amuk (Acep Iwan Saidi)

PERISTIWA itu terjadi Kamis siang, 14 November 2013. Di ruang Pengadilan Mahkamah Konstitusi, sekelompok orang mengamuk. Beberapa orang naik ke atas meja, yang lain melempar dan memorakporandakan ruangan.
Dalam serapah, pecahan kaca berhamburan di lantai. Hamdan Zoelva, hakim ketua yang memimpin sidang, menghindar keluar. "Ini yang pertama kali terjadi," katanya.

Besoknya harian ini mengangkat kasus itu dengan kepala berita: "Wibawa MK Hancur Lebur" (Kompas, 15/11). Beberapa pengamat pun menganalisis, menghubungkan peristiwa tersebut dengan ditangkapnya Akil Mochtar, bekas Ketua MK, sebagai tersangka koruptor. Fadjroel Rachman dalam acara Gestur di TVone (13/11), misalnya, mengatakan, peristiwa itu merupakan representasi dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap MK karena kasus Akil.

Tajuk Rencana harian ini (16/11) menyebut peristiwa itu sebagai tindakan premanisme akibat akumulasi kekecewaan terhadap kinerja MK. Namun, dari arah lain, hakim konstitusi Patrialis Akbar membantah. Ia berujar, "Penilaian saya, ini tidak ada hubungannya dengan kasus Pak Akil." Patrialis justru menuduh balik pengamat. Pengamatlah, katanya, yang turut memberi andil pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap MK (14/11).

Lantas, bagaimana kasus ini harus diurai? Patrialis tentu boleh menyangkal. Hanya saja, siapa pun tidak bisa membantah bahwa peristiwa itu terjadi setelah penangkapan Akil. Harus pula diingat bahwa sebelumnya mengemuka desakan beberapa pihak untuk meninjau ulang semua putusan MK tentang sengketa pemilihan umum kepala daerah (pilkada). Padahal, sebelum Akil tertangkap, MK adalah "Lembaga Dewa". Tidak ada satu pihak pun berani menentang. Putusan MK adalah ibarat takdir.

Namun, keragu-raguan terhadap pendapat Patrialis tidak serta-merta membenarkan pendapat yang menghubungkan peristiwa itu dengan kasus Akil. Soalnya, kini kehidupan berbangsa kita sedang serba tidak jelas. Di bawah langit hitam krisis ekonomi global, sebagian elite pejabat (eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif) justru sibuk dengan diri sendiri. Ada yang merasa terus-menerus difitnah dan harus memberikan hak jawab; ada yang mendirikan panggung di mana-mana agar bisa pentas pada 2014; ada pula yang menguras sejumlah jurus untuk menyelamatkan diri dari tuduhan KPK.

Pada hemat saya, yang terjadi di Gedung MK juga berada di dalam pusaran kabut demikian. Langit Indonesia memang makin mendung—meminjam judul cerita pendek Ki Panji Kusmin yang pada tahun 1960-an menjadi kontroversi.

Kabut dusta
Dalam perspektif semiotika, kabut tebal yang menggulung kehidupan bernegara dan berbangsa kita hari ini telah menyebabkan kekaburan tanda. Dengan kata lain, tidak ada tanda yang dengan jelas dapat dibaca. Terjadi kesimpangsiuran "gestur" di situ. Lihatlah, orang yang berpenampilan baik, bahkan agamis, tiba-tiba menjadi tersangka korupsi.

Situasi demikian jelas menjadikan semiotika sebagai ilmu tafsir tanda menjadi terancam. Bagaimana tidak, ketika logika tanda menjadi jungkir balik, ia tidak bisa lagi dibaca dengan nalar yang sehat. Tanda-tanda tidak serta-merta dapat dihubungkan secara logis dengan referennya. Terjadi pembelokan realitas dalam relasinya dengan tanda. Akibatnya, terjadilah beraneka ketidakjelasan.

Beberapa tanda bertubrukan dalam "horizon harapan" masyarakat yang notabene haus mendapatkan makna pada setiap wacana. Alih-alih mendapatkannya, wacana itu sendiri menjadi bejana tempat bahasa diporakporandakan. Tidak ada kejelasan pesan dan makna dalam setiap wacana. Semua hal terperangkap di ruang gelap tanda. Semua tanda adalah dusta.

Umberto Eco (1979) memang pernah mengatakan bahwa semiotika adalah ilmu tentang dusta. Namun, istilah itu dipakai untuk menjelaskan karakter metafora. Metafora adalah bahasa figuratif, yang menempatkan makna dalam bingkai asosiasi, yang logikanya terletak pada kesamaan sifat tertentu. Perempuan, misalnya, diasosiasikan dengan mawar. Substitusi perempuan dengan mawar jelas dusta. Namun, itu adalah "dusta metaforik", dusta yang tetap mempertahankan logika melalui kesamaan sifat sehingga kita masih dituntun untuk bisa menemukan maknanya. Namun, kekaburan tanda dalam realitas politik dan ketatanegaraan kita adalah kekaburan makna sebagai dusta yang sebenarnya. Tidak ada logika yang bisa menuntun kita ke arah pemahaman makna yang berbasis akal sehat.

Terkait dengan kasus kerusuhan di MK, kita tidak bisa serta-merta menyebutnya sebagai representasi ketidakpercayaan masyarakat terhadap MK. Soalnya, bisa saja sejumlah pihak memancing di air keruh, memanfaatkan krisis di MK untuk betul-betul menjatuhkan lembaga hukum ini. Bahwa kasus pengkhianatan Akil dianggap sebagai penyebab munculnya ketidakpercayaan terhadap lembaga hukum sangatlah logis. Hal ini berarti bahwa tidak ada relasi tanda yang pasti di antara kerusuhan dan kasus Akil.

Namun, kedua-keduanya berakhir pada muara yang sama, yakni rontoknya arsitektur hukum. Inilah yang saya sebut sebagai semiotika amuk: tanda yang saling melepaskan diri dan bertubrukan menuju kehancuran.

Pusat yang rapuh
Semiotika amuk sedemikian faktanya tidak hanya berlaku untuk kasus di MK, tetapi dalam banyak kasus lain seputar tata kelola negara bangsa. Penyebabnya adalah intrik yang begitu hebat terjadi di pusat politik. Intrik terjadi karena putusnya tali yang mengikat kebersatuan kepentingan. Di dalam dunia politik, kita mafhum bahwa setiap kepala adalah kepentingan. Namun, politik yang sehat tidak pernah menyebabkan perang kepentingan menjadi liar.

Pengendali keliaran politik semestinya adalah kepemimpinan yang "merekat" keseluruhannya. Kepemimpinan menjadi perekat ketika ia berdiri di atas netralitas semua kepentingan. Di situlah kepemimpinan mengakar menjadi pasak yang mencengkeram dan melangit menjadi menara pengintai bagi keseluruhan elemen kepentingan. Di situ pemimpin adalah Garuda: sayapnya merangkul, sedangkan matanya tajam mengawas.

Ketika kepemimpinan telah menempati posisi demikian, ia akan menjadi pusat segala tanda, sebuah titik ordinat yang menyatukan beberapa titik subordinat di sekelilingnya.

Sebaliknya, ketika titik ordinat retak, hancur pula semua titik subordinatnya. Ketika pusat menjadi tanda ambigu, samar pula semua tanda yang berelasi di seputarnya.

Dan inilah yang sedang terjadi dalam realitas berbangsa kita sekarang: pusat yang rapuh, dan karena itu, seluruh bangunan kehidupan berbangsa di sekelilingnya terguncang.

Acep Iwan Saidi, Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003469952
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger