Titik temunya Piagam Jakarta yang membuat rumusan sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Menjelang sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 18 Agustus 1945, yang akan mengesahkan UUD, pada 17 Agustus sore ada sejumlah anak muda yang mengaku wakil umat Kristen dari Indonesia timur menemui Bung Hatta. Mereka menyatakan, kalau tujuh kata Piagam Jakarta tidak dihapus dari Mukadimah UUD, umat Kristen tidak akan bergabung ke dalam Republik Indonesia.
Bung Hatta mengundang sejumlah tokoh Islam dan membahas tuntutan tersebut. Maka tiga tokoh Islam bermusyawarah di rumah Bung Hatta dan mengambil keputusan tanpa sempat konsultasi dengan yang lain karena alat komunikasi amat terbatas. Tanpa ragu mereka sepakat menghapus tujuh kata tersebut dari Mukadimah UUD.
Dalam persidangan Konstituante (1956-1959), partai-partai Islam (Masyumi, NU, PSII, Perti, AKUI, dll) berjuang kembali untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara, tetapi gagal. Dalam tiga kali pemungutan suara, partai Islam mencapai suara sedikit di atas 43%. Karena Konstituante dianggap gagal, Bung Karno menerbitkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959: kembali ke UUD 1945.
Salah satu peristiwa lain yang perlu dicatat terkait hubungan Islam dan negara ialah penolakan warga dan ulama PPP di bawah Rais Aam PBNU KH Bisri Syansuri pada 1973 terhadap RUU Perkawinan. Beberapa pasalnya dianggap bertentangan dengan syariat Islam. Syukur, Pak Harto memahami penjelasan para ulama NU, kemudian menyetujui rumusan para ulama untuk Pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu".
KH Ahmad Shiddiq
Selanjutnya pemerintah berusaha supaya semua organisasi di Indonesia memakai asas Pancasila. PBNU yang sejak keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sudah merasa puas dengan pencantuman Piagam Jakarta sebagai pertimbangan Dekrit, mulai tergerak untuk mengkaji apakah memang betul bahwa Pancasila itu tidak sejalan dengan ajaran Islam. Ulama NU menyadari, tanpa dasar Islam, ternyata UU Perkawinan bisa menampung aspirasi umat Islam. Maka PBNU membentuk tim untuk mengkaji masalah itu, yang dipimpin oleh KH Achmad Shiddiq. Saya mendengar bahwa KH Achmad Shiddiq sejak lama sudah menyampaikan bahwa Pancasila itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Untuk membahas hasil kajian Tim KH Achmad Shiddiq itu, pada Desember 1983 diselenggarakan Munas Ulama NU di Asem Bagus. Hasil kajian tim itu disetujui Munas, tetapi masih memerlukan keputusan Muktamar NU. Maka, pada Desember 1984 di Asem Bagus diselenggarakan Muktamar NU Ke-27. Dalam Muktamar terjadi perdebatan sengit di dalam komisi yang membahas masalah tersebut. Berkat ketokohan dan kemampuan KH Achmad Shiddiq dalam menjelaskan dan mempertahankan argumentasi, maka muktamar menerima Pancasila.
Ironis, KH Achmad Shiddiq yang amat besar jasanya bagi bangsa dan negara Indonesia dalam memadukan Islam dan Pancasila, ternyata terlupakan dan tidak begitu dikenal namanya di luar lingkungan NU. Ada dua kejadian yang bisa jadi contoh terlupakannya mantan Rais Aam Syuriyah PBNU ini. Beberapa tahun lalu saya menerima rombongan mahasiswa dan dosen satu IAIN di luar Jawa yang mempelajari politik Islam. Mereka berziarah ke makam Gus Dur yang amat mereka hormati sebagai tokoh yang dianggap berjasa dalam proses NU menerima Pancasila. Ketika saya bertanya apa pendapat mereka tentang KH Achmad Shiddiq, ternyata mereka tidak mengenal beliau.
Contoh lain ialah sebuah buku mengenai tokoh-tokoh pemikir politik Islam yang diterbitkan oleh salah satu universitas Islam negeri (UIN). Saya tidak menemukan nama KH Achmad Shiddiq di dalam indeks nama-nama tokoh yang dibahas di buku itu, padahal prestasi dan jasa beliau dalam menyelamatkan dan mengarahkan politik Indonesia ke masa depan amat besar.
Kondisi mutakhir
Penerimaan Pancasila oleh NU dan ormas Islam lain serta parpol Islam sekitar 30 tahun lalu berdampak besar dalam kehidupan bangsa-negara, khususnya dalam kehidupan sosial politik dan keagamaan. Sebagai contoh, sebagian besar warga NU dan Muhammadiyah serta ormas Islam lain kini tak memilih partai Islam atau berbasis massa Islam, tetapi memilih partai tengah. Pemilih Partai NU dan Partai Masyumi pada 1955 menjadi cair karena warga kedua partai itu telah menerima Pancasila.
Salah satu masalah yang terasa mengganggu ialah adanya pihak yang tidak setuju negara berdasar Pancasila. Mereka menganggap RI adalah negara yang tak sesuai ajaran Islam. RI dianggap negara thaghut (negara yang mengubah hukum Allah). Ada yang menginginkan RI jadi negara Islam dan ada yang ingin RI menjadi bagian dari khilafah Islamiyah.
Kecenderungan di atas sudah lama dirasakan. Untuk mengantisipasi fenomena di atas, pada 2010 saya mengusulkan membangun Museum Islam Nusantara Hasyim Asy'ari di kompleks parkir peziarah makam Gus Dur di Tebuireng. Perencanaan teknis museum itu sudah selesai dan akan dibangun pada 2014.
Di dalam museum itu akan ditampilkan peragaan dan informasi tentang sejarah masuknya Islam ke Nusantara, bagaimana Islam disebarkan dengan cara damai bukan dengan kekerasan. Juga dijelaskan, ulama dan santri serta umat Islam berjuang bersama komponen bangsa lainnya dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Perang kemerdekaan itulah satu-satunya jihad dalam bentuk peperangan di Indonesia. Juga akan diberi informasi tentang proses umat Islam menerima Pancasila.
Museum Hasyim Asy'ari ingin menegaskan bahwa negara RI berdasar Pancasila bukanlah negara yang bertentangan dengan Islam. Bahkan menurut NU, Pancasila adalah wahana untuk menerapkan ajaran Islam. Bahwa masih banyak rakyat yang belum sejahtera dan banyak terjadi ketidakadilan, bukanlah karena kita memakai dasar negara Pancasila, melainkan justru karena kita tidak menerapkan Pancasila.
Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003765846
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar