Semasih sebagian elite dan petinggi parpol cenderung korup dengan "mencuri" anggaran negara melalui proyek pemerintah, sangat tak pantas jika uang yang dikelola dalam APBN kembali "dirampok" untuk membiayai parpol. Bagi parpol, ketika laporan keuangan partai masih tertutup, pengucuran anggaran itu dianggap wajar belaka.
Tak berlebihan mengatakan bahwa alokasi anggaran semacam ini sebagai bentuk "persekongkolan" baru pengawas pemilu, DPR, dan pemerintah (Kementerian Dalam Negeri). Parahnya, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) justru menjadi corong bagi parpol melegalkan praktik itu.
Dana politik
Regulasi yang mengatur tentang dana politik sangat jelas melarang parpol menerima dana dari APBN/APBD di luar ketentuan yang ada. Parpol hanya boleh menerima bantuan keuangan dari pemerintah melalui APBN/APBD atas dasar perolehan suara dan memiliki kursi di lembaga legislatif dalam pemilu sebelumnya (Pasal 34 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik).
Di sisi lain, penggunaan bantuan keuangan dari APBN/ APBD diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota parpol dan masyarakat. Prinsipnya, bantuan keuangan kepada parpol yang bersumber dari APBN/APBD tidak digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemilu (baca: saksi).
Dalam konteks pemilu legislatif (DPR, DPD, dan DPRD), alokasi anggaran dalam APBN/APBD untuk membiayai saksi parpol adalah bentuk pelanggaran atas ketentuan Pasal 139 Ayat 1 Huruf (c) UU No 8/2012 bahwa peserta pemilu dilarang menerima pendanaan yang bersumber dari pemerintah. Dari sudut konsep penganggaran, sumber pendanaan dari pemerintah mengarah pada alokasi anggaran pada APBN.
Dengan semua ketentuan di atas, pengucuran dana APBN untuk membiayai saksi parpol di tempat pemungutan suara (TPS) adalah bentuk pelanggaran atas undang-undang. Pemerintah dan DPR selaku pemegang kuasa atas penganggaran yang seharusnya memahami soal aturan itu justru jadi aktor utama atas semua pelanggaran ini.
Dalam kasus ini, pemerintah dan DPR sebetulnya menunjukkan "wajah aslinya". Tak dapat dimungkiri bahwa keduanya memang berasal dari entitas yang bernama parpol. Maka, tidaklah mengherankan apabila peruntukan alokasi anggaran itu disetujui.
Bagi parpol, di tengah tingginya biaya politik, pengucuran anggaran ini tentu menjadi dana segar untuk membiayai kegiatan politiknya (saksi). Maka, relasi antara persetujuan alokasi anggaran itu di tingkat APBN dan kebutuhan parpol saat ini menjadi tak terbantahkan.
Lalu, di mana peran Bawaslu? Bawaslu berubah menjadi "alat" bagi pemerintah dan DPR menyalurkan dana itu kepada parpol. Tujuannya sangat jelas: menghindari agar dana APBN tak secara langsung diberikan kepada parpol.
Jalur penyelundupan
Bawaslu telah menyediakan diri menjadi jalur "penyelundupan" anggaran kepada parpol. Padahal, jika anggaran tersebut diarahkan untuk penguatan kelembagaan pengawas pemilu di daerah, ini jauh lebih memungkinkan dibandingkan dengan mengambil alih tanggung jawab membiayai saksi parpol.
Dari sisi institusi, penguatan pengawas pemilu jauh lebih menjamin terselenggaranya pengawasan pemilu yang independen. Maka, pembiayaan saksi parpol oleh APBN tidak hanya melanggar undang-undang, tetapi sekaligus juga melemahkan pengawasan pemilu.
Dalam konteks hukum, alokasi anggaran ini jelas mengarah pada dugaan penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah, DPR, dan Bawaslu. Ada upaya yang sistematis dari ketiga lembaga ini untuk melegalkan praktik penyalahgunaan anggaran dalam pengawasan pemilu.
Untuk itu, perlu kiranya ada kebijakan meninjau ulang pengalokasian anggaran. Bawaslu sebagai lembaga yang dimanfaatkan sebagai corong "penyelundupan" anggaran seharusnya berani menolak anggaran itu digunakan untuk membiayai saksi dari parpol.
Jika tidak, Bawaslu akan menjadi lembaga yang paling dipersalahkan karena memfasilitasi parpol mendapat dana APBN di luar ketentuan yang diperbolehkan. Pelaksanaan Pemilu 2014 tentu akan kehilangan legitimasinya sebagai sarana demokrasi karena diselenggarakan dengan cara-cara yang melanggar hukum.
Penyelundupan anggaran pemilu untuk kepentingan parpol jelas telah mencederai kepercayaan publik terhadap parpol
dan pengawas pemilu. Bawaslu yang seharusnya mengawasi setiap tahap penyelenggaraan pemilu telah berubah menjadi "penyelundup" anggaran pemilu.
Reza Syawawi, Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004419185
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar