Survei Indeks Persepsi Korupsi yang dilansir oleh Transparency International (TI) terbaru menempatkan Indonesia pada peringkat ke-114 dari 176 negara dengan skor 32. Skor itu sama dengan hasil survei 2012. Artinya, terjadi stagnasi dalam pemberantasan korupsi. Mengapa pemberantasan korupsi terkesan berjalan di tempat? Bukankah KPK sampai saat ini banyak menangkap koruptor?
Berbeda dengan persoalan sosial yang lain, mengukur tingkat korupsi relatif lebih sulit. Karena korupsi termasuk tindak pidana, pelaku atau informan cenderung menutupi tindakannya untuk menghindari sanksi hukum.
Karena itu, dalam studi-studi kuantitatif, korupsi diukur melalui persepsi responden. Jadi, bukan korupsi yang diukur, melainkan persepsi responden terhadap korupsi seperti yang dilakukan oleh TI. Sesungguhnya, pada 2013, TI malah membuat indeks dari 13 survei korupsi yang dibuat oleh lembaga lain sehingga survei TI ini disebut survei dari survei.
Sebagian survei yang mengukur tingkat korupsi di Indonesia cenderung bias investor. Salah satunya Political Economy Risk and Consultancy (PERC) yang menanyakan soal korupsi kepada investor asing. Jadi, survei PERC yang dirujuk TI sesungguhnya korupsi di Indonesia menurut persepsi investor asing. Selain PERC, ada survei-survei lain yang digunakan, sebagian besar untuk kepentingan bisnis dan membatasi korupsi di sektor publik.
Karena yang diukur adalah pelayanan publik, khususnya untuk kepentingan bisnis dan investasi, bisa dimengerti jika tak ada kemajuan dalam pemberantasan korupsi. Bahkan, ada kontradiksi antara hasil survei dan penegakan hukum. Yang diukur dalam survei pelayanan publik, sedangkan aspek yang menonjol dalam pemberantasan korupsi di Indonesia adalah penegakan hukum, terutama oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Memang ada satu sumber survei TI terkait penegakan hukum, yakni World Justice Rule of Law Index. Namun, survei ini lebih memotret persoalan hukum dan hak asasi manusia serta korupsi oleh penegak hukum dan militer. Apa yang dilakukan KPK tidak cukup tergambar. Jadi, antara yang diukur dan yang dilakukan adalah dua hal yang berbeda. Namun, kontradiksi ini juga menunjukkan ada masalah dalam strategi pemberantasan korupsi.
Presiden tidak bekerja
Selama ini pemberantasan korupsi lebih fokus pada penegakan hukum. Ini bukan strategi yang salah, bahkan sangat perlu, tetapi penegakan hukum saja tak cukup. Untuk menuntaskan satu perkara butuh waktu lama, belum lagi sumber daya yang terbatas. KPK hanya memiliki anggaran dan staf terbatas dan sebagian besar kasus yang ditangani terjadi di Jakarta. Kinerja polisi dan kejaksaan masih jauh dari apa yang telah berhasil dicapai KPK. Namun, pada saat yang sama, reproduksi korupsi terus berjalan. Ribuan atau bahkan jutaan koruptor baru terus direproduksi setiap hari oleh sistem sosial dan birokrasi yang korup.
Untuk memberantas korupsi, tidak cukup hanya penegakan hukum. Pencegahan adalah aspek penting, terutama deteksi dini dan koreksi sebelum suatu kebijakan menjadi tindak pidana korupsi. Di dalam UU, KPK memang memiliki tugas melakukan pencegahan dan pendidikan selain penindakan. Namun, dengan keterbatasan sumber daya dan wewenang, praktis KPK tidak bisa bekerja sendirian. Banyak rekomendasi untuk pencegahan dan perbaikan sistem yang disodorkan KPK tidak digubris oleh kementerian dan lembaga pemerintah lainnya. Bukankah perbaikan sistem justru tugas presiden yang notabene adalah atasan dari menteri dan instansi pemerintah lainnya?
Jelas, buruknya peringkat kita dalam survei TI dan survei lainnya karena presiden tidak bekerja. Barangkali presiden merasa sudah bekerja dengan memberikan instruksi atau menyampaikan pidato. Namun, implementasi kebijakan butuh lebih dari sekadar itu, terutama untuk memastikan perintahnya dijalankan oleh semua level birokrasi. Ini yang absen dari presiden. Birokrasi bekerja sendiri-sendiri dan tidak ada monitoring serta kontrol efektif dalam pencegahan korupsi, terutama untuk memastikan pengawasan berjalan.
Pengawasan internal mestinya jadi komponen penting dalam pencegahan korupsi. Presiden bisa menggunakan lembaga pengawas internal seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau inspektorat untuk mengawasi birokrasi yang jadi prioritas. Jika ketahuan korupsi, langsung diambil tindakan oleh presiden. Pelaku korupsi langsung menerima sanksi internal dan kebijakan diperbaiki sebelum kasusnya menjadi tindak pidana. Namun, jika praktik korupsi terus berjalan meski sudah diperingatkan, itu jadi tugas penegak hukum. Pengawas internal seharusnya menjadi sumber informasi bagi penegak hukum, bukan malah menutup-nutupi praktik korupsi seperti yang selama ini terjadi.
Dengan waktu tersisa saat ini, agaknya sulit berharap kepada presiden sekarang. Problem kebijakan tak efektif bukan hanya dalam pemberantasan korupsi, juga bisa dilihat pada banyak persoalan lain. Negara dianggap absen karena presiden tak bekerja secara nyata untuk menyelesaikan bermacam persoalan. Saatnya kita mendorong presiden baru kelak agar pemberantasan korupsi memiliki prospek di masa depan, terutama dengan visi pencegahan yang kuat untuk melengkapi penindakan yang telah dilaksanakan oleh KPK.
J Danang Widoyoko, Koordinator Badan Pekerja ICW
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004317206
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar