Pertama kali muncul di depan publik sejak ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi, 2 Oktober 2013, Akil membuat pengakuan mengejutkan! Dia menegaskan, panel hakim yang diketuainya bersama Maria Farida Indrati dan Anwar Usman memenangkan pasangan Khofifah Indar Parawansa-Herman S Sumawiredja dalam sengketa Pilkada Jawa Timur dengan komposisi hakim 2:1.
Pengakuan Akil menjadi masalah karena pleno hakim konstitusi memutuskan menolak gugatan Khofifah dan mengukuhkan pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf. Putusan pleno hakim konstitusi diambil bulat tanpa ada perbedaan pendapat di antara delapan hakim konstitusi. Seperti dikutip harian ini, Hamdan mengatakan, rapat panel hakim tiga orang yang diklaim Akil memenangkan Khofifah itu tidak pernah ada. Yang ada hanya rapat pleno delapan hakim konstitusi dengan putusan yang berbeda.
Perdebatan terbuka "negarawan yang menguasai konstitusi" tidaklah mendukung upaya perbaikan citra MK. Ini "bencana" kedua di tubuh MK setelah Akil ditangkap. Kebenaran keterangan Akil perlu diselidiki dengan melibatkan Dewan Etik MK. Akan lebih baik seandainya hakim yang satu panel dengan Akil, Maria Farida Indrati dan Anwar Usman, memberikan klarifikasi mengenai pernyataan Akil agar duduk perkara lebih terang.
Tanpa ada penyelidikan menyeluruh yang didukung bukti, risalah, dan rekaman persidangan, MK akan terus dihadapkan pada krisis kepercayaan publik. Sementara para penyusun konstitusi mendesain putusan MK final dan mengikat! Asumsi dari penyusun konstitusi bahwa hakim konstitusi adalah negarawan yang menguasai konstitusi rontok dengan dugaan korupsi yang dilakukan Akil. Status putusan MK yang final dan mengikat telah menjadi tameng penyalahgunaan kekuasaan. Peristiwa ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa tak boleh ada kekuasaan absolut tanpa kontrol apa pun.
Kita berharap ada penyelidikan menyeluruh soal sengketa Pilkada Jatim sebagai modal awal MK bangkit dari keterpurukan. Upaya reformasi MK yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang telah disetujui DPR harus segera bisa diimplementasikan dan bukan malah dibatalkan lagi oleh MK. Sangat melawan asas hukum universal jika MK membatalkan aturan yang mau mengatur dirinya. Di situ ada konflik kepentingan!
Kita pun tak ingin MK menjadi lumpuh ketika pengganti Akil dan hakim konstitusi Harjono yang akan pensiun belum terpilih, sementara MK bakal dihadapkan pada sengketa hasil pemilu. Belum lagi jika Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta memperkuat putusan PTUN Jakarta yang menyetujui pencabutan keppres Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004566793
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar