Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 04 Februari 2014

TAJUK RENCANA Hidup dengan Gunung Berapi (Kompas)

TAK  ada ungkapan lain kecuali duka dan prihatin atas jatuhnya 15 korban jiwa dalam erupsi Gunung Sinabung, Sabtu (1/2) akhir pekan lalu.
Melihat kondisi yang ada, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperkirakan jumlah korban bisa bertambah meski belum bisa dipastikan.

Gunung Sinabung sejak September 2013 kembali aktif, tetapi beberapa hari terakhir mereda, bak mencari kelengahan warga. Ia meletus ketika sejumlah warga mendekat ke puncak yang berbahaya untuk beberapa alasan.

Ada warga yang amat ingin menengok rumahnya untuk melihat lagi sekiranya ada barang yang masih bisa diselamatkan. Ada juga yang merisaukan kondisi tanaman di ladang setelah sekian bulan mengungsi.

Kita juga menangkap, lebih dari 30.000 pengungsi di tempat pengungsian dilanda kejenuhan. Bisa dipahami, siapa yang kerasan tinggal di tempat pengungsian yang berdesakan, terbatas sarana MCK-nya, dan terbatas persediaan logistiknya. Dengan segala hormat pada semua ikhtiar yang telah diupayakan untuk meringankan beban penderitaan, pengungsi ingin segera kembali ke rumah, ke kehidupan normal.

Hanya sayang, alam punya daulat sendiri. Manakala desakan semakin tak tertahankan di lubuk bumi, gunung api pun akan memuntahkan jutaan meter kubik bahan mahapanas yang tak akan tertanggungkan oleh manusia.

Kejadian di Sinabung bukan tragedi pertama yang dialami warga Indonesia dalam interaksinya dengan gunung api. Terakhir kita menyaksikan tragedi serupa saat Gunung Merapi erupsi akhir tahun 2010, saat hampir 300 warga menjadi korban.

Kini, BNPB banyak memasang spanduk peringatan agar warga tidak memasuki zona berbahaya di Sinabung. Di sejumlah pos berjaga anggota TNI, Polri, dan staf Pemerintah Kabupaten Karo. Namun, imbauan dan pos penjagaan belum bisa menghentikan masuknya penduduk ke zona terlarang. Sejumlah warga tetap saja tergerak untuk naik ke lereng lebih tinggi, tetapi berbahaya.

Pada sisi lain, lebih ke hulu lagi, semestinya memang tidak ada permukiman penduduk di dekat puncak gunung berapi di mana pun di Indonesia. Ini guna mencegah dorongan warga untuk naik ke kawasan berbahaya saat gunung sedang dalam periode erupsi.

Namun, sebagaimana diulas oleh jurnal National Geographic beberapa tahun lalu, hanya di Indonesia-lah terjalin hubungan yang sulit dipisahkan antara manusia dan gunung berapi.

Letusan gunung berapi menebarkan abu vulkanik yang membuat tanah subur untuk pertanian. Pemandangan di sekitar gunung memesona dan hawanya juga segar. Semuanya menjadi magnet yang membuat hubungan manusia dan gunung berapi lalu menjadi kultural di sini.

Namun, masyarakat harus diajak bergerak menuju masyarakat berbasis pengetahuan, berhadapan dengan realitas. Yang dimaksud realitas adalah ancaman awan panas piroklastik atau wedhus gembel bersuhu 600-an derajat celsius yang ganas itu, yang pasti akan mengalahkan tubuh manusia.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004548206
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger