Kita menerima dengan takzim disebut bangsa muda, hanya karena ketika Inggris bikin maklumat Magna Charta (1215) yang membatasi monarki, sementara Kerajaan Singasari baru hendak berdiri. Saat Eropa dilanda renaisans, kita masih mendekap mistis dan takhayul.
Rendah diri ini menyesatkan. Kita punya Borobudur dan banyak prasasti adiluhung hasil olah rasa-karsa-karya leluhur. Juga Sriwijaya dan Majapahit, bukti ekstensi daulat maritim Nusantara jauh sebelum Britania Raya menguasai dunia. Kita kedodoran meneruskan peran pemersatu negara-negara bekas jajahan melanjutkan kiprah Bung Karno memimpin Konferensi Asia-Afrika 1955 dan menawarkan Pancasila di Majelis Umum PBB (To Build the World a New, New York, 1960). Semua kejayaan itu seolah onggokan artefak, beku di lorong gelap sejarah.
Singkatnya, kita terjebak kebodohan kolektif yang bermula dari kemiskinan karakter, sengkarut bernegara, akhirnya kesulitan melakukan transformasi paradigmatik dan aksi. Kita enggan menangkap "api" kedaulatan dan sukarela masuk pusaran globalisasi. Padahal, kemajuan selalu berpangkal kemandirian sebagaimana Jerman, AS, Inggris, Jepang, China, dan Korsel tak pernah berkompromi dalam meneguhkan kepentingan nasionalnya.
Tugas sejarah
Energi dan kesempatan banyak terbuang pasca-Reformasi 1998. Presiden baru punya kesempatan menunaikan tugas sejarah membangun "titik berangkat" bersama agar tak kembali terperangkap involusi, berkubang pada kesalahan yang sama. Setidaknya ada 10 agenda besar untuk dikerjakan sebagai pijakan kokoh ke depan agar bangsa maju dan terus bertumbuh.
Pertama, pendidikan yang mencerdaskan, mandiri, dan bermartabat. Pendidikan dasar harus didesain ulang untuk membudidayakan esensi kawasan kognitif-psikomotorik-afektif sebagai basis pembentukan pola pikir anak-anak bangsa. Menyemai hasrat meluap untuk mengeksplorasi talenta, menyuburkan kebajikan insani, dan membentuk karakter kuat terlalu mahal ditukar dengan aneka silabus hampa nilai.
Kedua, pencegahan korupsi sebagai gerakan tak henti-hentinya. Korupsi merajalela akibat mewabahnya watak munafik dan menyelinap sejak perencanaan. Terbukti lembaga pengawasan melekat (inspektorat dan sejenisnya) dan sanksi hukum tidak efektif karena rentang kendali sangat elastis, memberi keleluasaan bagi praktik kejahatan kemanusiaan itu. Bahkan, lembaga procurement, yang dibentuk 2007 untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas pengadaan barang dan jasa proyek pemerintah, belum berdaya guna mencegah korupsi.
Kita berkaca dari beban bunga obligasi rekap BLBI dalam APBN yang mencapai Rp 70 triliun-Rp 80 triliun per tahun sampai 2033. Fakta ini tak sekadar mengingkari asas deliberasi publik, sekaligus menunjukkan mandulnya moral eksekutif-legislatif, yang mengubah piutang negara kepada sejumlah pengusaha dan perbankan menjadi beban utang rakyat.
Ketiga, revitalisasi program Keluarga Berencana (KB). Struktur demografi ke depan dibayang-bayangi ledakan jumlah penduduk usia produktif berkualitas rendah akibat minimnya asupan gizi dan pendidikan bermutu. Dengan laju pertumbuhan penduduk tinggi, rata-rata 1,5 persen per tahun (di beberapa daerah miskin malah 2 persen), program KB merupakan pangkalan utama dan pertama untuk merekayasa generasi unggul masa depan dengan campur tangan penuh negara.
Keempat, fokus pada paradigma pembangunan maritim. Masa depan Indonesia adalah eksplorasi, eksploitasi, konservasi keanekaragaman hayati beserta seluruh potensi lautnya. Sejak lama negara menyia-nyiakan anugerah dan peluang besar ini, sebaliknya condong pada strategi land-base development yang melahirkan aneka konflik "lapar lahan" luar biasa.
Kelima, menata bangun ekonomi yang lebih memenuhi rasa keadilan. Patronase politik-ekonomi yang tetap kuat terus mereproduksi jenis korporasi lisensi dan konsesi di sektor-sektor strategis. Jumlah wira usahawan mandiri hanya 1,25 persen dari total penduduk. Jauh dari mencukupi syarat untuk meraih mimpi "Indonesia Incorporated".
Menurut Kepala Lembaga Demografi UI Sonny HB Harmadi, hasil sensus 1928 (era kolonial) dan 2010 memperlihatkan fenomena ajek, ditandai sebaran penduduk dan kontribusi ekonomi per wilayah terhadap pendapatan nasional tidak berubah signifikan. Konsentrasi kegiatan ekonomi tetap bertumpu di Jawa dan sebagian Sumatera. Transformasi ekonomi tersendat, tidak efisien, dan lamban membangun basis produksi bagi pertumbuhan dan pemerataan berkelanjutan.
Liberalisasi industri keuangan selain rawan juga diperburuk operasi para pelaku rente, seperti merebaknya pegadaian swasta dan bank-bank berkedok koperasi yang meruyak ke seluruh daerah. Harga dana tetap mahal dan sukar diakses kelompok usaha kecil-menengah meskipun mereka terbukti selalu tampil sebagai bantal pengaman saat krisis. Joseph E Stiglitz (1999) mengkritik: "Another metaphor has become fashionable for small, less developed countries embarking on financial and capital market liberalization. It is likened to a small boat setting sail on a wild and rough ocean—even if well steered and solidly constructed, it is vulnerable to being hit broadside by a wave and capsizing."
Keenam, reforma agraria dengan determinasi tinggi. Mustahil berharap triple-track strategy: pro-pertumbuhan, pro- pembukaan kesempatan kerja, dan pro- pengentasan dari kemiskinan berhasil tanpa konsolidasi dan redistribusi lahan secara adil dan produktif. Terdapat 7,5 juta hektar tanah telantar di seluruh Indonesia yang selama ini dibiarkan menganggur, tumpang tindih penguasaannya. Belajar dari sukses pembangunan pertanian di negara mana pun, reforma agraria selalu menjadi hulu pemecahan masalah.
Ketujuh, mengakhiri paradoks TKI dan ketimpangan pemilikan aset, antara remitansi dan repatriasi. Jumlah TKI melonjak 6,5 juta orang memberi pesan tegas semakin menyempitnya peluang kerja, analog dengan tingginya angka pengangguran terbuka. Selama acuannya penghasil devisa (seperti Banglades dan Filipina), kita akan terus dihadapkan "buah simalakama" dari perdagangan legal manusia berketerampilan terbatas ini.
Struktur penguasaan aset sumber daya alam (pertambangan dan perkebunan) juga semakin memperlihatkan berkuasanya dominasi asing. Inilah salah satu ironi terbesar negeri ini: rakyatnya berduyun-duyun mencari nafkah ke luar negeri, sementara aset produktifnya dikuasai para pemodal besar. Ini mengingatkan pleidoi Bung Karno di depan pengadilan kolonial ("Indonesia Menggugat", Bandung, 18/8/1930): "Penduduk Bumiputera dibikin hanya sebagai bangsa yang terdiri dari kaum buruh belaka dan menjadi buruh di antara bangsa-bangsa."
Kedelapan, pembangunan infrastruktur dengan pola arisan daerah. Akibat APBN terbebani bermacam subsidi dan pembayaran utang, kapasitas pemerintah semakin terbatas dalam membiayai pembangunan infrastruktur.
Salah satu alternatifnya dengan pola arisan antarwilayah, termasuk menggandeng swasta. Model ini menjanjikan terutama untuk menjembatani kesenjangan pembangunan infrastruktur antarwilayah, keterbatasan sumber daya lokal, dan sinergi pembentukan "titik-titik api" pertumbuhan ekonomi.
Sejak inisiasi proyek Kawasan Pembangunan Ekonomi Terpadu di sejumlah daerah di era Orde Baru sampai Infrastructure Summit 2005, realisasi pembangunan prasarana strategis bergerak lambat. Kawasan Indonesia barat melaju kian jauh meninggalkan Indonesia timur sehingga melebarkan disparitas harga, ketertinggalan, kelambatan arus barang dan jasa.
Kesembilan, merawat dan memperkuat kebinekaan. Eksistensi keberagaman terus mendapatkan rongrongan terorisme, gerakan sektarian, eksklusivisme atas nama agama-kepentingan-kedaerahan, intoleransi, berkecamuknya bermacam konflik ekonomi dan adat. Kemampuan mengelola "perbedaan dalam persatuan" yang terus merosot menunjukkan negara dan masyarakat abai menjaga kemajemukan sebagai omnipresent, suatu kenyataan tak terbantahkan.
Kesepuluh, menyusun tim kabinet mumpuni. Selama ini, harapan tinggi digantungkan kepada figur presiden. Indonesia terlalu besar, luas, dan multidimensi untuk ditangani seseorang, sekaliber apa pun. Realistisnya, kita memerlukan segugus pemimpin kredibel—bukan sekadar sekumpulan pejabat tinggi—untuk melansir perubahan besar. Meski penunjukan menteri merupakan hak prerogatif presiden, publik kiranya dapat aktif berperan menetapkan kriteria berdasarkan tantangan dan kebutuhan situasi. Keterlibatan publik (akademisi, praktisi, profesional) bisa menjadi rujukan, penguat seleksi kapabilitas, dan integritas kandidat. Ini juga dapat diartikan sebagai bentuk dukungan nonpolitik, sekaligus watchdog bagi kinerja kabinet.
Mengobarkan semangat
Kita butuh banyak figur dengan karakteristik enabler bukan provider, leader bukan dealer, pemimpin bukan pembesar. Negarawan otentik dengan visi melenting ke depan, bukan kontestan yang menjual keajaiban. Konfigurasi tantangan dan beban negara menghendaki ekspresi keteguhan sikap, keputusan, dan tindakan yang menyatukan visi besar bersama.
Kita tidak memilih seorang presiden biasa yang mudah berjanji, tetapi belum cukup memberi di lapangan pengabdian kemasyarakatan dan kebangsaan. Perlu banyak tokoh teladan yang dapat membangkitkan tekad untuk memecahkan begitu banyak kebuntuan, bersendikan misi kuat, terukur, dan terencana. Figur-figur dengan dukungan mencukupi dari berbagai kalangan, mampu merangkum cita-cita bangsa, dan mengobarkan semangat dan hasrat besar agar Indonesia meraih martabat semestinya.
Kita butuh para pemimpin yang dapat meningkatkan kapasitas bangsa menggapai daya saing tinggi, tetapi sekaligus mengembangkan daya sanding kohesif. Pemimpin yang paham mengendalikan kompetisi yang sering kali memakan korban pihak paling lemah, sekaligus kerja sama untuk saling berbagi ruang dan peluang.
Tokoh yang hendak bermetamorfosis jadi pemimpin sejati sepatutnya mengerti makna konfesi, tugas utama seorang manusia pilihan sebagai representasi makhluk mulia yang sukacita mengusung "titipan" kebajikan-kebajikan besar. Bagaimana ia menunaikan tugas itu, menunjukkan sejauh mana derajat konfesinya.
SUWIDI TONO, Koordinator Forum "Menjadi Indonesia"
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004441074
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar