Belum hilang keterkejutan masyarakat terhadap kasus pembunuhan Ade Sara oleh sepasang kekasih, di Jakarta, khalayak kembali dihebohkan kasus pembunuhan di Jawa Barat yang dilakukan oleh seorang ibu (D) terhadap anak kandungnya. Dalam waktu yang tak terlalu berjauhan, di Tangerang, Banten, juga terjadi pembunuhan yang dilakukan Ir terhadap bos toko kelontong, Hj. Korban tewas dengan beberapa luka tusukan.
Tahun lalu, publik juga dikagetkan oleh beberapa kasus pembunuhan sadis. Satu di antaranya adalah pembunuhan terhadap anak berusia 4 tahun berinisial F oleh S, di Surabaya. Jasad F dicor dengan semen, lalu dijadikan patung oleh pelaku.
Hubungan pelaku dan korban dalam beberapa contoh kasus di atas ternyata saling mengenal. Betapa mengagetkan sejoli yang membunuh Ade Sara. Pelaku H adalah bekas kekasih Ade Sara. Pembunuh anak balita F ternyata kenal dengan ayah korban. Alhasil, dalam sejumlah kasus, pelaku dan korban selain saling kenal juga tidak jarang memiliki hubungan sedarah, seperti pembunuhan anak kandung oleh D.
Mengapa orang yang saling kenal, bahkan memiliki hubungan sedarah, melakukan pembunuhan? Dalam literatur kriminologi terdapat suatu perspektif classical yang menjelaskan bahwa hingga kini dalam masyarakat masih terdapat sejumlah orang yang tak memiliki rasa takut terhadap sanksi apa pun, baik sanksi sosial maupun hukum.
Pada perspektif lain mengacu pada proses sosial. Dalam masyarakat terdapat sejumlah orang yang tak sempat menikmati institusi konvensional, seperti sekolah, pekerjaan, dan keluarga. Mereka umumnya bereaksi keras terhadap tekanan hidup sehari- hari. Mereka adalah orang-orang yang tak memiliki kepandaian atau keterampilan seperti dimiliki yang lain.
Dalam mengekspresikan diri secara verbal, mereka berusaha menonjolkan diri agar dihargai dan dihormati melalui cara-cara yang terkadang berkaitan dengan ancaman fisik dan kekerasan. Beberapa contoh di atas menunjukkan perspektif psychological behaviourist, yang memandang tindakan kekerasan mungkin meningkatkan derajat/tingkat penggerak agresi.
Sementara itu, terdapat perspektif lain dalam pendekatan kognitif, yang melihat perkembangan sampai batas (titik) di mana mereka tak dapat memahami akibat dari tindakan mereka. Contoh pembunuhan di atas menunjukkan, pembunuhan jenis ini menyiratkan pelakunya tidak pernah berpikir dua kali sebelum membunuh korbannya.
Perilaku dan motif pelaku
Beberapa motif pembunuhan sadis itu kerap kali sepele atau sederhana. Sebegitu sederhananya sehingga terkadang tak masuk akal. Seperti D yang menenggelamkan anaknya yang berusia 2,5 tahun, beralasan "mengirim ke surga". Lebih menarik lagi, keterangan itu ia sampaikan dengan ekspresi biasa. Ia merasa tindakannya tepat untuk menghindarkan buah hatinya dari kesusahan hidup yang dialaminya. Kenyataan di atas menunjukkan bahwa tidak menutup kemungkinan D harus menjalani pemeriksaan kejiwaan.
Perilaku tidak masuk di akal juga ditunjukkan oleh kedua sejoli pelaku pembunuhan Ade Sara. Setelah mereka membunuh, membuang korban, hingga korban disemayamkan, mereka "men-tweet" kalimat belasungkawa di akun Twitter masing-masing. Bahkan, mereka juga melayat korban ketika disemayamkan di RSCM. Perilaku tersebut mengindikasikan upaya keduanya untuk "cuci tangan", menghindarkan diri dari kecurigaan sebagai pelaku.
Kecenderungan motif dan perilaku yang terkadang membuat kita mengernyitkan dahi tersebut memang nyata dan terjadi di tengah-tengah masyarakat. Tidak memandang apakah dia orang berpendidikan tinggi, bekerja, memiliki kemampuan finansial, ataupun tidak. Fenomena di atas juga tidak terlepas dari perspektif psikoanalisis. Tak terpecahkan dalam konflik yang dihasilkan dalam trauma sejak masa kanak-kanak mengakibatkan ketidakteraturan kepribadian dan tingkah laku agresif seseorang.
Kenyataan perilaku agresif tersebut sejalan dengan teori Freud yang berpendapat bahwa manusia pada dasarnya memiliki dua insting dasar, yaitu insting seksual (libido) dan insting agresif atau insting kematian (death instinc). Insting seksual merupakan insting yang mendorong manusia untuk mempertahankan hidup, mempertahankan jenis, atau melanjutkan keturunannya. Adapun insting agresif yang mendorong manusia untuk menghancurkan manusia lain.
Tingkatan laku agresif itu sendiri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tingkatan laku agresif yang mengandung kebencian (hostile) dan tingkatan laku agresif yang memberikan kepuasan (reinforcement) tertentu. Tingkah laku hostile ditandai dengan kepuasan yang diperoleh karena lawan menderita, luka, atau sakit. Tingkah laku yang memberikan kepuasan (reinforcement) ditandai dengan kepuasan yang diperoleh karena lawan gagal mencapai obyek yang diinginkan.
Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas, tidak mengherankan apabila tingkatan laku agresif hostile dan reinforcement mendasari beberapa motif dalam contoh kasus pembunuhan di atas. Namun, patut diingat, faktor insting atau tingkatan laku agresif tersebut hanya salah satu elemen yang mendasari pelaku. Masih banyak penyebab dominan lain dalam beberapa contoh kasus pembunuhan itu sendiri.
Keragaman motif dalam beberapa contoh kasus pembunuhan tersebut dapat dilihat ketika pelaku, dalam kasus pembunuhan Ade Sara, bekas kekasih korban dan kekasih barunya menyalurkannya melalui penyiksaan dan pembunuhan sehingga sakit hati dan kebencian keduanya terpuaskan oleh meninggalnya korban. Demikian pula pada beberapa pelaku, seperti D yang membunuh anak kandungnya sendiri menyatakan ia cuma "mengirim" anaknya ke surga.
Dengan demikian, tak mengherankan jika terdapat banyak kemungkinan munculnya pelaku dan calon pelaku pembunuhan dengan motif dan perilaku yang setiap saat siap mewujudkan kedua tingkatan laku agresif di atas. Mereka ada di tengah-tengah masyarakat dan berkeliaran di sekitar kita hingga kini.
Tb Ronny Rachman Nitibaskara, Kriminolog; Penasihat Ahli Kapolri Bidang Kriminologi dan Hukum
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005552078
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar