Tak mudah menerima demokrasi kalau hanya berkaca pada praktik. Bisa dibilang, berbicara demokrasi ideal adalah berbicara ide, transendensi, postulat yang nyaris menjadi utopia.
Padahal, sejak Reformasi 1998, kita sudah berhasil dengan proyek institusionalisasi demokrasi. Secara formal, Indonesia sukses sebagai "negara demokrasi". Ukuran Freedom House di Washington bisa menjadi patokan, bagaimana kebebasan sipil (civil liberties) dan hak politik (political rights) mulai terjamin dengan baik (rerata 2,5 tahun 2013, pada skala 1-7; 1 terbaik, 7 terburuk).
Pidana golput
Namun, optimisme ini acap kali meredup tatkala kita berpaling pada kompleksnya korupsi politik, strukturalisme kemiskinan, minoritas yang terancam, kecurangan elektoral, baik dalam pemilihan lokal maupun nasional, termasuk kekerasan politik seperti yang dialami partai tertentu belum lama ini di Aceh.
Orang lalu percaya pada tesis tua sejarawan Katolik Inggris, Lord Acton (1834-1902), dalam cuplikan suratnya untuk Uskup Mandell Creighton (5 April 1887) bahwa kekuasaan cenderung korup dan orang besar hampir selalu orang yang buruk. Laswell (1936) membetulkan Acton dengan pendekatan pragmatisnya tentang politik sebagai "siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana".
Politik yang diperlihatkan kaum elite tidak lebih dari pesimisme itu. Tetapi, rakyat dituntut optimistis, bahkan golput (golongan putih) sebagai bentuk perlawanan eksistensial rakyat terhadap "elite gagal" pun terancam dipidana. Kalau memilih adalah hak politik, maka tidak memilih (baca: golput) seharusnya pun dihargai sebagai "pilihan" dalam terang hak tadi.
Dalam situasi kinerja sistem politik yang baik, tidak berpartisipasi dalam pemilu sah bisa dikecam sebagai ketidakpedulian moral terhadap negara. Tetapi, dalam politik yang rendah mutu, sementara skala persoalan sosial tinggi, kita sulit menemukan justifikasi moral untuk membenarkan pidana terhadap golput.
Tren menguatnya dukungan komunitas golput kepada Jokowi (calon presiden dari PDI Perjuangan) seperti terbaca di media sosial merupakan preseden yang menjelaskan bahwa golput bukan ketidakpedulian, melainkan radikalisasi dari harapan yang tak terpenuhi. Tidak ada golput kalau politik mempunyai kepedulian terhadap rakyat. Refleksi tertinggi kita adalah apa casus belli, alasan pokok persoalan politik yang rumit sehingga lahir golput, marak korupsi, daftar pemilih tetap (DPT) tidak pernah beres tiap pemilu, ancaman kekerasan politik menjelang pemilu, termasuk soal pemilih siluman.
Politik sebagai manuver kepentingan memang cenderung amorfis, nirbangun. Majemuknya kelompok dan kepentingan selain melahirkan kompleksitas masalah juga menjadikan politik tak punya bentuk yang terukur. Padahal, sebagai prinsip kebaikan umum, ada konstruksi sederhana yang linear, yaitu sebuah garis lurus tanggung jawab antara negara dan warganya yang dibangun di atas horizon bonum commune communitatis, kebaikan umum untuk semua.
Politik tidak untuk diri, tetapi untuk semua. Thomas Aquinas menulis dengan baik dalam Summa Theologica (1265/66-1273) bahwa bonum commune est melius quam bonum unius, kebaikan umum lebih baik daripada kepentingan pribadi.
Berkaca pada teologi dasar itu, kita menemukan akar masalahnya. Korupsi politik meluas karena elite tidak mampu menatap horizon kebaikan umum yang menjadi fondasi tanggung jawab politik. DPT tak kunjung beres karena pendataan penduduk potensial pemilih tidak dilakukan dengan dasar liabilitas, sementara alasan teknis krisis anggaran di pihak KPU melengkapi ketidakberesan di Kementerian Dalam Negeri.
Politik tak berbentuk
Kampanye politik diwarnai aksi saling hujat dan cenderung menjadi pesta gambar dan wajah salon karena partai politik masih menjauhkan diri dari prinsip "kebaikan umum" tadi. Risikonya, rakyat tidak tahu memilih partai apa dan calon anggota legislatif yang mana. Politik bukan perang gagasan, tetapi perang benaran. Metode politik uang, pemilih siluman, dan pencurian suara pun menjadi virus yang membunuh demokrasi pemilu. Pada sentrum ini mestinya tema golput harus ditemukan alasannya supaya kita menemukan pencerahan yang sama bahwa pidana golput adalah wacana teror yang merusak demokrasi an sich.
Masalah selalu tampak rumit. Tetapi, kesadaran terhadap tanggung jawab adalah energi utama yang memampukan kita menemukan lilin di ujung terowongan. Kembali pada ketentuan konstitusi dan menegakkan aturan yang ada adalah solusi.
Bentuk-bentuk sentimen kelompok, ikatan kinship, jejaring patronase, dan bosisme harus dikesampingkan ketika berhadapan dengan tanggung jawab publik.
Presiden SBY sudah memberi teladan sebenarnya, dulu ketika Aulia Pohan, besannya, diperiksa KPK. Mestinya teladan itu dilanjutkan dalam kasus-kasus lain seperti Hambalang. Ini preseden yang baik dalam penegakan hukum bahwa ikatan kekeluargaan (istri, anak, saudara) bukan hambatan berdemokrasi.
Mereka adalah warga negara yang juga dituntut tunduk pada hukum negara. Dalam penempatan posisi politik pun ikatan primordial tak boleh dijadikan determinasi karena demokrasi hanya bisa hidup dalam meritokrasi, sistem berbasis kompetensi. Saat demokrasi dileburkan dengan keluarga, seluruh prinsip kebaikan umum musnah pada dirinya. Politik pun menjadi kerumunan kepentingan yang amorfis, tak berbentuk.
Boni Hargens, Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005671044
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar