Film ini diangkat dari kisah sejarah dalam buku The Monuments Men: Allied Heroes, Nazi Thieves and the Greatest Treasure Hunt in History oleh Robert M Edsel dan Bret Witter.
Diceritakan di situ, pada masa Perang Dunia II, Hitler merampok dan mencuri jutaan karya seni rupa dari berbagai museum, galeri, dan rumah-rumah pribadi di negeri-negeri yang ia taklukkan. Karya seni itu, mulai dari lukisan Picasso, Renoir sampai patung Bruges Madonna, disembunyikan di berbagai tempat. Tujuan Hitler adalah jika Jerman memenangi PD II, didirikanlah museum seni Hitler yang maketnya ternyata sudah disiapkan. Namun, jika Jerman kalah dan dirinya mati, Hitler memerintahkan agar karya-karya seni itu dibakar.
Presiden AS FD Roosevelt mengetahui skandal ini lewat George L Stout (dalam film bernama Frank Stokes), restorator seni Museum Harvard Fogg. Sang Presiden pun segera membentuk tim penyelamat benda-benda seni itu. Lalu direkrutlah sejumlah kurator, penulis seni, dan sejarawan seni dari berbagai institusi untuk bergabung. Para ahli seni itu menerobos dentuman bom dan terjangan pelor. Misi ini berhasil meski ada ribuan karya seni yang tak ditemukan, hancur, dan terbakar. Bahkan, ada 2 anggota tim yang tewas.
Atas tewasnya dua pakar seni itu, Roosevelt memberikan pertanyaan kepada masyarakat AS: apakah karya seni cukup berharga untuk diburu mati-matian meski harus mengorbankan nyawa? Pertanyaan renungan itu, berkurun tahun kemudian, dijawab oleh sejarah: sangat berharga. Lantaran karya-karya seni itu, yang kini terpajang di berbagai museum di Eropa, pada akhirnya bisa ditonton manusia sedunia dan dihayati sebagai warisan kebudayaan nan agung.
Tepat waktu
Pada minggu-minggu ini masyarakat Indonesia sedang menuju panggung pemilihan umum yang ujungnya akan memilih presiden baru. Berkait dengan itu, pemutaran The Monuments Men sangat relevan dan tepat waktu. Lantaran, pertama, substansi film ini memberikan amsal ihwal hadirnya pemimpin negara yang memiliki tekad besar melindungi karya-karya seni walau karya-karya itu bukan milik bangsanya sendiri.
Kedua, lantaran film itu bisa menstimulasi rakyat untuk membentuk kriteria baru bahwa presiden yang akan datang harus manusia komplet. Tak cuma memiliki visi politik, sosial, dan ekonomi, tetapi juga punya pengetahuan dan kecintaan mendalam atas seni dan menyimpan kesadaran kebudayaan seperti Roosevelt.
Sebagai negeri pelahir para seniman hebat sekaligus negeri yang menginspirasi lahirnya karya seni luar biasa, Indonesia telah menghasilkan pemimpin negara yang sangat berkesenian. Presiden Soekarno tentulah contoh terpuncak yang diiringi Muhammad Yamin sebagai peletak dasar pengetahuan seni lewat jabaran kebudayaan. Dengan modal sendiri, Bung Karno mengumpulkan ribuan lukisan, patung, dan keramik yang menjadikan sejumlah istana presiden selayak museum. Tahun 1964, Bung Karno dijunjung masyarakat internasional sebagai presiden yang paling banyak memiliki koleksi seni rupa di dunia.
Setelah Bung Karno, bendera puncak kejayaan seni itu memang kurang berkibar. Pada jajaran menteri memang ada Fuad Hassan yang tampil sebagai penggerak. Namun, kesementaraan jabatan menyebabkan apa yang dilakukan segera terhenti. Sementara Presiden Soeharto, selama 32 tahun berkuasa, lebih meletakkan kebudayaan dan kesenian sebagai elemen kecil pembangunan.
Bahkan, pada masa Soeharto, koleksi benda-benda seni di istana presiden yang tersebar di Jakarta, Bogor, Cipanas, Yogyakarta, dan Tampaksiring tidak pernah didaftarkan sebagai harta karun negara sehingga tidak dicatat oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Status ini menyebabkan karya-karya seni itu tidak memperoleh perlindungan formal dari pemerintah.
Presiden Megawati Soekarnoputri ingin mengembalikan mitos Bung Karno. Dengan memegang prinsip artes alit honos (seni menumbuhkan kehormatan), ia menjadikan istana presiden sebagai rumah seni yang kemudian diformulasikan dalam buku besar: Rumah Bangsa. Pada periode lain, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di akhir jabatan mendirikan museum seni memorabilia di beberapa istana presiden. Sebelumnya ia berusaha membangkitkan peran ratusan museum di Indonesia meski anggaran yang disetujui DPR ternyata hanya cukup untuk makan para karyawan museum.
Namun, yang diharapkan bukan hanya perhatian terhadap kesenian yang ada di istana presiden dan museum milik negara, melainkan juga yang terserak di rumah rakyat dan lembaga-lembaga seni rakyat. Dengan begitu segenap karya seni yang dihasilkan masyarakat memperoleh penghormatan, mendatangkan kecintaan, dan menumbuhkan perlindungan. Harapan itu akan ditaruh di meja Presiden Indonesia "Rooseveltian" yang terpilih nanti.
AGUS DERMAWAN T, Pengamat Budaya dan Seni
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005712755
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar