Penentuan lokasi jatuhnya pesawat didasarkan pada analisis data satelit Inmarsat dan perkiraan posisi lintang-bujur lokasi pesawat. Informasi ini lalu diteruskan kepada pesawat-pesawat intai yang beroperasi di wilayah tersebut untuk kemudian didekati oleh kapal-kapal SAR guna verifikasi.
Upaya berikutnya adalah memastikan bahwa bangkai pesawat ada di dasar samudra dan harus diusahakan untuk dapat diangkat ke permukaan laut. Minimal dapat mengangkat kotak hitam (black box) MH370 guna keperluan investigasi kecelakaan.
Memang ini tak mudah mengingat lokasi jatuhnya pesawat ada di samudra lepas dan kedalaman rata-rata lautan di sana sekitar 2.000 meter sekalipun dasar samudra di wilayah ini terbilang datar. Untuk mencapai sasaran tersebut, teknologi eksplorasi dasar laut yang ada di sejumlah negara harus dikerahkan.
Indonesia berpengalaman
Sebenarnya salah satu negara yang berpengalaman menemukan pesawat dan kapal tenggelam di dasar laut adalah Indonesia. Selain itu, para ahli Indonesia juga pernah bekerja sama dengan Amerika Serikat dan Jepang untuk mengeksplorasi dasar laut sampai kedalaman 2.900 meter.
Menengok ke belakang, saat kapal feri KM Gurita tenggelam di perairan Aceh, 19 Januari 1996. Instrumen multibeam echo sounder milik Baruna Jaya II, kapal riset Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), berhasil mendeteksi lokasi tenggelamnya KM Gurita di kedalaman sekitar 900 meter. Kemudian saat Boeing 737 Adam Air rute penerbangan Surabaya-Manado jatuh di Selat Makassar, 1 Januari 2007. Kapal riset BPPT lainnya, Baruna Jaya IV, dengan kemampuan instrumen multibeam echo sounder dan instrumen detektor logam dikerahkan ke lokasi kecelakaan.
Delapan bulan kemudian, 27 Agustus 2007, Baruna Jaya IV berhasil menemukan lokasi bangkai pesawat di dasar laut Selat Makassar di kedalaman 2.000 meter. Terakhir, kapal KMP Bahunga Jaya yang tenggelam di Selat Sunda pada 26 September 2012, sekali lagi, berhasil ditemukan oleh kapal riset BPPT Baruna Jaya IV.
Untuk eksplorasi dasar laut, para ahli Indonesia merupakan sedikit dari ahli kelautan dunia yang pernah menyelam sampai kedalaman 2.900 meter. Pada 2002, para ahli kelautan Indonesia yang dipimpin Dr Jusuf Surachman dari BPPT bersama mitra ahli dari Jepang berhasil menyelam di palung Jawa sampai kedalaman 2.900 meter menggunakan kapal selam SHINKAI-6500. Penyelaman itu dalam rangka eksplorasi geotektonik dan biota dasar laut di palung Jawa. Sampai saat ini SHINKAI-6500, yang mampu menyelam sampai kedalaman 6.500 meter milik Japan Marine Science & Technology Center (JAMSTEC), merupakan kapal selam laut dalam paling canggih di dunia.
Pada 2010, para ahli kelautan Indonesia dan AS menggelar eksplorasi biota laut dalam di dasar Laut Sulawesi dengan sandi INDEX-SATAL 2010. Tim Indonesia dipimpin Dr Sugiarta Wirasantosa dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan bersama mitra ilmuwan AS menggunakan kapal riset National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) bernama Okeanos Explorer. NOAA, yang dilengkapi robot bernama Little Hercules, itu berhasil merekam kehidupan di dasar Laut Sulawesi hingga kedalaman 1.000 meter.
Akumulasi pengalaman tadi tampaknya sesuai untuk dicoba guna mencari pesawat MH370 di dasar Samudra Hindia bagian selatan. Para ahli kelautan Indonesia dapat segera bergerak ke lokasi kecelakaan dengan mengerahkan kapal riset BPPT Baruna Jaya IV sekaligus mengajak mitra JAMSTEC untuk mengerahkan kapal selam SHINKAI 6500 milik mereka. Tentu juga mengajak kapal riset NOAA Okeanos Explorer untuk bergerak ke
Samudra Hindia dengan menggotong si Little Hercules guna menemukan dan mengangkat MH370.
Inilah kesempatan bagi ilmuwan laut kita untuk membuktikan, sekali lagi, akan kemampuan ipteknya bagi kemaslahatan umat manusia.
Indroyono Soesilo, Mantan Deputi TPSA-BPPT; Kini Direktur Sumber Daya Perikanan dan Akuakultur di FAO, Roma
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005689118
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar