Koperasi semacam ini leluasa beroperasi, bahkan banyak yang bertransaksi tanpa dokumen. Di pelosok desa dan kota, pegadaian swasta dengan jaminan bukti pemilikan kendaraan bermotor dan barang berharga lainnya merajalela seolah tanpa kontrol. Meski bunga sangat tinggi, debitor terus bertambah.
Belum lama ini, terulang lagi "ritual tahunan" ketika harga cabai merah keriting eks impor melonjak sampai Rp 75.000-Rp 100.000 dari biasanya hanya Rp 25.000-Rp 30.000 per kilogram. Harga cabai produk lokal di tingkat petani justru jatuh sehingga petani tak menikmati kenaikan harga. Mafia menguasai tata niaga dan kuota impor digunakan sebagai pengendali harga. Petani dan konsumen selalu dikorbankan.
Jika bertandang ke Jawa dan Sumatera, sejauh mata memandang, minimarket modern kini mengepung kota dan desa. Kita tak tahu ke mana perginya warung-warung kecil dan toko-toko kelontong tradisional.
Asap dan banjir kini rutin menimpa Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Episode "panen" kerusakan dahsyat ekosistem hutan tropis terus berlangsung sejak 20-30 tahun lalu. Di Jambi, ekspansi pesat perkebunan besar memaksa local genus setempat, Suku Anak Dalam, terusir dari kawasannya, sebagian terpaksa menggelandang ke kota.
Ilustrasi sejumlah fakta tersebut tegas menunjuk watak rezim neoliberal. Bersama banyak peristiwa getir lainnya, kita menyaksikan berkuasanya para pemilik modal dan melembaganya premanisme yang menyetir hajat orang banyak.
Yatim piatu
Ketika memimpin tim penulisan buku Bank Indonesia, Menuju Independensi Bank Sentral bersama Didik J Rachbini dkk, 1999, saya antusias karena UU Nomor 23 Tahun 1999 tegas melarang intervensi pemerintah terhadap BI sehingga mencegah terulangnya kasus pemberian dana talangan (BLBI) ratusan triliun 1997/1998. BI fokus pada tujuan utamanya: menciptakan stabilitas moneter dan sistem pembayaran. Tugas pengawasan dan pengaturan perbankan dan lembaga keuangan nonbank dialihkan ke lembaga lain (Otoritas Jasa Keuangan/OJK).
Peralihan ini ternyata tak menghapus karakter business as usual otoritas keuangan. Praktik operasi perbankan tetap menempatkan nasabah atau debitor pada posisi lemah. Rentenir swasta berbadan hukum bebas beroperasi. Arsitektur perbankan yang dibangun sejak awal 2000 tidak berhasil menurunkan harga dana (cost of fund) dan menggalang modal nasional (capital formation) untuk memenuhi beragam jenis investasi.
Investasi sektor usaha besar dan pasar modal tetap didominasi asing. Arus capital inflow dan outflow setiap kali mengancam stabilitas moneter. Rupiah sering diklaim mencapai keseimbangan baru. Padahal, faktanya bermula dari posisi tertekan.
Sejak krisis 1997 yang berlanjut dengan integrasi ekonomi nasional dalam sistem ekonomi global melalui ratifikasi dan harmonisasi UU ke dalam paket aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), kita seperti "mengundang" penjelmaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) berikut hak octroi-nya berkuasa lagi. Konfigurasi praktik bisnis dan keuangan yang berlangsung jelas mempertontonkan hegemoni modal berkekuatan politik.
Terdapat 14 sektor strategis yang terbuka bagi asing dengan rentang kepemilikan 49 persen sampai 95 persen. Seluruh kekuatan ekonomi nasional seperti inferior. Bukan semata-mata karena regulasi memberi peluang asing masuk di sektor-sektor strategis, melainkan karena level playing field-nya tidak setara, terutama dana dan beleid pemerintah.
Ekses semua ini adalah rakyat kehilangan pembela, laksana yatim piatu di negeri sendiri. Akibat kualitas pendidikan yang buruk, transformasi struktur ekonomi tidak mulus, dan pembengkakan jumlah petani tak punya lahan terjadi ledakan tenaga kerja informal dan TKI. Fenomena menjamurnya profesi tukang ojek di seluruh Tanah Air dalam 15 tahun terakhir cukup menjadi petunjuk semakin meluasnya pengangguran terselubung.
Di lapangan usaha, sektor usaha rakyat terus terdesak berhadapan dengan jaringan pemasaran dan modal raksasa yang menguasai produksi dari hulu ke hilir. Muara seluruh kekacauan ini adalah melebarnya ketimpangan dalam hampir semua lapangan kehidupan.
Kesabaran revolusioner
Para ekonom dan teknokrat terbiasa menyederhanakan capaian pembangunan sebagai buah pertumbuhan ekonomi. Mereka lupa bahwa kerusakan sumber daya tak terbarukan (hutan, tambang, ekosistem) membuat pertumbuhan tak berkelanjutan. Utang pemerintah (dan swasta) yang membengkak menjadi beban generasi ke generasi. Mereka juga mengabaikan fakta kerusakan sosial (penggusuran, konflik ekonomi-politik tak berkesudahan, pendidikan , dan gizi buruk).
Bahwa dua jenis kerusakan besar ini harus dibayar oleh anak cucu kelak sudah lama diingatkan para ahli (Club of Rome, 1972; Lester Brown 1981, dan Michael P Todaro 1989). Ulasan Daoed Josoef (Kompas, 19/3) dan Ahmad Erani Yustika (Kompas, 21/3) mengurai betapa menyesatkannya paradigma tersebut.
Musim kampanye lalu, banyak janji bertebaran dan harapan dilontarkan untuk menabalkan sebutan negara berdaulat dan sejahtera. Sebagai retorika politik, jargon gagah kedaulatan pangan dan energi, kenaikan pendapatan per kapita, jaminan sosial bagi seluruh warga miskin, dan lainnya jelas merupakan isu lama dalam kemasan baru.
Kritik terhadap program yang diusung parpol-parpol itu adalah lemahnya basis sintesis pemikiran, ketiadaan peta jalan, dan kemustahilan waktu untuk mencapainya. Ibaratnya, program itu dibangun di atas awang-awang, disokong nafsu
pragmatisme sesaat, dan cacat logika historis.
Konstruksi argumennya mengingkari seluruh realitas bangun sosial-politik-ekonomi mutakhir yang merupakan konsekuensi dari pilihan kebijakan dan talitemali praksis kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dari sejarah kita belajar pendiri bangsa cerdas merancang jalan menuju pembebasan melalui pemupukan persatuan, visi, dan memelihara momentum sambil mencermati perubahan geopolitik dan geoekonomi dunia.
Pesan moralnya jelas, perjuangan menuju kemandirian bangsa adalah sebuah proses peradaban yang tak dapat dipersingkat oleh sebuah rezim. Ia menghendaki bangkitnya kesadaran kolektif yang mencukupi syarat untuk mewujudkan ideal berbangsa dan bernegara. Kesadaran kolektif bangsa itu membutuhkan persatuan bukan persatean, kesepahaman bukan kezaliman, kegotongroyongan bukan perkongsian.
SUWIDI TONO, Koordinator Forum"Menjadi Indonesia"
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005931081
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar