Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 16 April 2014

Renegosiasi Kontrak Pertambangan (Bahrul Ilmi Yakup)

PEMERINTAH sedang berupaya keras merenegosiasi kontrak pertambangan, baik berupa Kontrak Karya maupun Perjanjian Kontrak Pertambangan Batubara.
Upaya itu telah berhasil mendorong 19 pemegang Kontrak Karya (KK) ataupun Perjanjian Kontrak Pertambangan Batubara (PKPB2) menandatangani nota kesepahaman atas isu strategis yang akan dibahas dalam renegosiasi perjanjian dengan pemerintah. Sayangnya, jumlah perusahaan pertambangan yang belum menyepakati isu strategis renegosiasi kontrak justru lebih banyak daripada yang telah menyetujui.

Kelemahan pemerintah
Ada 31 perusahaan pemegang KK dan  56 perusahaan pemegang PKPB2 yang belum menyetujui isu strategis yang akan dibahas dalam  renegosiasi (Kompas, 8/3). Kondisi ini mencerminkan bahwa renegosiasi KP memang cukup sulit ditempuh. Dalam konteks inilah target renegosiasi KP yang seharusnya telah kelar pada 2010 gagal dituntaskan pemerintah sampai sekarang.

Salah satu kendala serius yang dihadapi pemerintah dalam upaya renegosiasi KK pertambangan adalah lemahnya posisi pemerintah menurut milieu hukum kontrak. Akibatnya, pemerintah hanya mampu melakukan pendekatan persuasif  sesuai skim hukum kontrak, tanpa mampu muncul sebagai regulator pertambangan yang punya wewenang publik bersifat memaksa.   

Banyak faktor yang menyebabkan posisi pemerintah lemah dalam renegosiasi KP. Pertama, sejak awal perumusan KP, pemerintah memang telah gagal mengidentifikasi kualitas dirinya sebagai representasi negara yang menjadi subyek hukum publik yang memiliki wewenang memaksakan pelaksanaan aturan hukum Indonesia terhadap KP.

Akibatnya, kedaulatan negara dan primat hukum nasional yang seharusnya jadi substansi regulasi dalam pelaksanaan KP tidak dapat diterapkan terhadap KP. Menjadi pertanyaan yang sulit dipahami, mengapa pemerintah sebagai pihak dalam KP selalu mengerdilkan dirinya sehingga hanya  muncul dalam kualitas dan kapasitas sebagai subyek hukum perdata yang memiliki kedudukan setara dengan perusahaan pemegang KP? Adakah pemerintah tidak paham akan legal standing negara dalam perjanjian?

Kedua, dalam banyak KP yang telah dibuat, pemerintah telah gagal memahami dan mendesakkan fungsi pengaturan (bestuurdaad) yang jadi wewenang negara untuk memberikan izin aktivitas pertambangan dalam teritorialnya. Akibatnya, nyaris tak ada KP yang memasukkan isu izin sebagai exclusive clauses sehingga muncul pemahaman seolah-olah izin merupakan bagian yang inheren dan koheren dengan KP.

Ketiga, pemerintah telah gagal mendesakkan keberlakuan hukum Indonesia terhadap KP. Akibatnya, KP yang dibuat rata-rata lepas dari jangkauan hukum Indonesia. Norma rujukan KP senantiasa mengacu norma hukum kontrak internasional yang secara inheren dan koheren memang selalu berpihak kepada pemegang KP selaku investor. Karena itu, ketika  muncul sengketa terkait dengan interpretasi dan pelaksanaan KP, masalah ini memang menjadi ancaman serius bagi Indonesia. Dalam konteks inilah beberapa investor pemegang KP, seperti Freeport Indonesia Incorporated dan Newmont, melancarkan serangan bahwa Indonesia telah melanggar KP yang selanjutnya akan membawa masalah ini kepada badan arbitrase internasional (Wall Streets Journal, 14-16 Maret 2014).

Kesiapan renegosiasi
Ketika melancarkan tawaran renegosiasi KP, pemerintah seharusnya benar-benar siap dengan tim renegosiasi yang andal. Sebab, selain ketiga faktor di atas, masih banyak kelemahan lain yang harus jadi kajian dan perhatian serius dalam menghadapi renegosiasi KP jika hendak mencapai hasil maksimal. Meski demikian, itu bukan jaminan pemerintah akan mampu memproduksi hasil renegosiasi KP yang dapat merehabilitasi kerugian dan kelemahan pemerintah.

Tim renegosiasi yang andal seyogianya tak cuma terdiri atas  unsur  pemerintah yang umumnya berkarakter statis nontaktis. Pemerintah seyogianya membentuk tim ahli yang kompeten, yang memiliki keandalan dalam memahami skim renegosiasi dan siap mengantisipasi dampak renegosiasi yang dapat merugikan Indonesia. Sebab, sangat mungkin tawaran renegosiasi dari pemerintah akan berakhir di meja arbitrase internasional. Pilihan investor KP membawa isu renegosiasi KP ke badan arbitrase internasional merupakan a way of renegotiating the contract itself.

Apabila pemerintah belum siap, sebaiknya pemerintah memikir ulang desakan renegosiasi KP kepada investor.

Bahrul Ilmi Yakup, Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi; Advokat dan Konsultan Hukum BUMN; Ketua Pusat Kajian BUMN

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005991011
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger