Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 25 April 2014

TAJUK RENCANA Dilema Tarif Listrik Industri (Kompas)

Kenaikan tarif listrik industri yang berlaku mulai 1 Mei mendapat reaksi kritis pengusaha karena mengancam daya saing produk industri.
Kenaikan tarif listrik tersebut menimbulkan dilema. Kenaikan itu akan meningkatkan biaya produksi dan menurunkan daya saing produk. Apabila tarif tidak dinaikkan, hal itu akan membebani anggaran pembangunan karena sumber pembangkitan listrik menggunakan bahan bakar minyak yang diimpor dan disubsidi.

Bagi pengusaha, listrik adalah jantung kegiatan produksi. Kenaikan tarif yang berlaku otomatis dalam empat tahap sepanjang 2014 cukup besar. Total adalah 38,9 persen untuk industri kelompok I3 dengan daya 200-30.000 kilovolt ampere (kVA) dan 64,7 persen untuk kelompok I4 dengan daya di atas 30.000 kVA.

Kalangan industri tekstil menyebutkan, kenaikan tarif dapat mendorong pengusaha memilih mengimpor, terutama produk hulu tekstil. Saat ini 70 persen pasar domestik dikuasai produk impor. Kenaikan tarif listrik meningkatkan biaya produksi dari hulu hingga hilir sampai 15 persen.

Kritik pengusaha dapat dipahami. Pada satu sisi pemerintah mengatakan terus berupaya mengurangi impor untuk menurunkan defisit transaksi berjalan dan mendorong industrialisasi. Pada sisi lain, kebijakan yang diambil tidak terkoordinasi dan lebih bersifat reaktif parsial.

Tarif listrik hanya salah satu komponen pembentuk daya saing produk industri Indonesia dan perannya dalam struktur biaya cukup besar, yaitu 20-30 persen untuk industri tekstil.

Komponen lain pembentuk daya saing adalah sistem logistik, termasuk infrastruktur fisik, seperti jalan, angkutan kereta api, dan pelabuhan; stabilitas politik dan keamanan; kemudahan perizinan; pembiayaan; serta produktivitas pekerja. Semua komponen tersebut harus dikelola dalam strategi dan rencana kerja terkoordinasi.

Reaksi kritis pengusaha harus dilihat lebih dalam daripada sekadar isu kenaikan tarif listrik. Yang lebih mendasar adalah strategi dan program energi nasional. Indonesia tidak dapat mengandalkan pasokan BBM dalam negeri karena cadangan menipis, sedangkan kita berkelimpahan sumber energi lain, seperti panas bumi dan air.

Pemanfaatan panas bumi baru 4,26 persen karena persoalan pengadaan lahan dan harga keekonomian. Sumber listrik tenaga air juga berlimpah dan masyarakat di daerah bergairah memanfaatkan, tetapi terbentur harga keekonomian karena harus dijual melalui PLN sebagai pemegang monopoli pengadaan listrik.

Agar tarif listrik terjangkau masyarakat dan pengadaan energi memenuhi kebutuhan yang terus meningkat, kebijakan energi harus menjamin penyediaan yang efektif, efisien, berkesinambungan, dan ramah lingkungan. Jangan sampai kesalahan kebijakan dibebankan kepada konsumen yang tidak memiliki pilihan lain.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006250362
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger