Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 16 April 2014

TAJUK RENCANA: Mematikan Demokrasi (kompas)

DI tengah apresiasi kian matangnya demokrasi Indonesia, publik disuguhi berita masifnya politik uang dalam Pemilu Legislatif 9 April 2014.
Fenomena politik uang yang diangkat sebagai laporan utama harian ini cukup memprihatinkan. Niat bangsa menggelar pemilu berintegritas ternyata masih jauh. Politik uang dengan berbagai turunannya seperti sudah menjadi hal biasa dalam demokrasi elektoral. Politik uang mewujud dalam bentuk pemberian uang kepada pemilih disertai harapan untuk memilih caleg tertentu; pemberian bahan pokok, kupon belanja, dan kompor; janji untuk membangun balai desa; serta bentuk politik uang lainnya.

Demokrasi elektoral menjadi begitu pragmatis. Pemilu menjadi komoditas yang dengan mudah ditransaksikan. Seorang pemilih mengakui menerima uang dari beberapa partai politik. Besarnya uang yang diberikan bervariasi. Seusai pemilu legislatif, melalui media, publik menyaksikan bagaimana caleg marah-marah karena perolehan suaranya tak seperti yang diperkirakan. Sumbangan kompor diminta kembali. Balai desa tak jadi dibangun. Inilah ironi dalam negara demokrasi.

Akibat dari permainan politik uang itu membuat politik begitu mahal. Penelitian doktor Pramono Anung Wibowo menyebutkan, biaya politik seseorang untuk menjadi anggota DPR bisa mencapai Rp 6 miliar. Jumlah itu jelas tidak sebanding dengan penerimaan uang kehormatan sebagai anggota DPR dalam periode lima tahun. Dari mana anggota DPR terpilih mengembalikan investasi yang dikeluarkan saat kampanye memang masih jadi pertanyaan. Namun, boleh jadi, banyaknya anggota DPR yang tersangkut korupsi menjadi jawaban.

Politik uang marak karena aturan tidak ditegakkan. Aturan sebenarnya sudah memberikan sanksi tegas soal praktik politik uang itu. Namun, menjadi pertanyaan, apakah Badan Pengawas Pemilu mampu menegakkan aturan itu? Aturan tanpa kekuasaan yang mampu menegakkannya menjadi tidak punya makna apa-apa. Maraknya politik uang disebabkan kombinasi banyak faktor, interaksi antara pemilih dan yang akan dipilih, rivalitas internal akibat sistem pemilu proporsional daftar terbuka, serta ketidakmampuan otoritas menegakkan aturan yang ada.

"Money politics kill our democracy"! Itulah status Blackberry Messenger seorang caleg merespons masifnya politik uang. Kita garis bawahi status BBM itu. Politik uang membunuh dan mematikan demokrasi. Uang telah menghilangkan rasionalitas orang dalam memilih anggota DPR dan calon pemimpin. Jika politik uang tak bisa dicegah, agenda utama bangsa memerangi korupsi akan sulit dilakukan.

Sebaiknya ada langkah signifikan yang dilakukan partai politik, elite politik, penyelenggara, dan pengawas pemilu untuk mengatasi masifnya politik uang. Dengan adanya komitmen bersama untuk mengatasi politik uang, penegakan aturan yang lugas, kita masih yakin virus politik uang bisa diatasi.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006096730
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger