Karena tak ada satu pun partai yang meraih suara 25 persen atau lebih, saat ini kita menyaksikan para pemimpin partai sibuk menjajaki koalisi, entah untuk membangun kerja sama atau dagang sapi. Pada 9 Juli 2014, rakyat Indonesia akan kembali ke TPS untuk memilih siapa yang akan jadi presiden Indonesia periode 2014-2019. Siapa pun yang terpilih tampaknya negara kita akan dipimpin kabinet pelangi lagi. Itu pertanda lima tahun ke depan panggung politik kita akan diwarnai banyak drama seperti 15 tahun terakhir.
10-20 tahun ke depan
Apabila kita kemudian tidak dapat berharap banyak pada pemerintah yang akan datang karena alasan di atas, kepada siapa kita dapat menaruh harapan bahwa negara kita akan tetap eksis dan diperhitungkan dunia? Jika potret lima tahun ke depan masih agak suram, bagaimana nasib bangsa 10-20 tahun ke depan?
Panen boleh gagal, tetapi selama kita masih memiliki benih kita masih punya harapan. Dalam konteks pembangunan bangsa, "lumbung benih" adalah tempat anak bangsa ditempa dan dibangun kemampuannya, yaitu sekolah dan lembaga pendidikan lainnya. Dalam konteks peningkatan daya saing bangsa, terlebih di abad ke-21 ini, lumbung benih itu adalah perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian yang mempelajari dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Namun, belakangan ini kita juga tidak melihat adanya titik terang bahwa kita akan menikmati "panen" berlimpah 10-20 tahun ke depan. Investasi kita untuk masa depan itu sangat minim. Andrianto Handojo, Ketua Dewan Riset Nasional, mengkhawatirkan masa depan bangsa jika tidak ada upaya perbaikan yang segera dilakukan oleh para pemangku kepentingan (Kompas, 10/4/2014).
Pada saat bersamaan, Daoed Joesoef, mantan Mendikbud periode 1978-1983, mengajak kita untuk memikirkan ulang pendidikan sehubungan dengan tidak tumbuhnya komunitas ilmiah di perguruan tinggi kita (Kompas, 7/4/2014). Ia resah karena berdasarkan sejarah suatu bangsa bisa maju dalam peradaban hanya jika subkomunitas ilmiahnya lebih maju daripada subkomunitas lainnya.
Bahwa kita tertinggal dalam penguasaan iptek, padahal itu yang menentukan apakah kita sebagai bangsa tetap eksis dan berjaya di abad ini, juga membuat Sayidiman Suryohadiprojo, mantan Gubernur Lemhanas, risau. Menurut dia, bangsa Indonesia hanya dapat hidup bahagia dan sejahtera jika kita bergotong-royong mengembangkan iptek modern sesuai tuntutan zaman (Kompas, 7/4/2014).
Tiga tokoh masyarakat telah menyatakan kerisauannya tentang masa depan bangsa. Jika saya bongkar arsip saya, masih banyak pernyataan keresahan serupa dari pemuka masyarakat lainnya. Sebut misalnya Bambang Hidayat, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia periode 2007-2008. Di satu sisi ia gelisah dengan kurikulum nasional, di sisi lain berharap Indonesia dapat turut berperan dalam arus kemajuan dunia (Kompas, 17/6/2013).
Siapalah saya jika saya kemudian menambahkan, melalui beberapa tulisan saya sebelumnya, bahwa kinerja perguruan tinggi di Indonesia selama ini sangat jauh dari harapan. Sebetulnya apabila kita menengok ke belakang, kesadaran akan ketidakberdayaan perguruan tinggi dalam mendukung perekonomian negara telah ada ketika Indonesia dilanda krisis moneter pada 1997. Di institut tempat saya mengabdi, saat itu digagas perubahan tata kelola agar institut kami dapat berkontribusi lebih pada perekonomian negara.
Di tingkat nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi menyusun Higher Education Long Term Strategies (HELTS) 2003-2010 dan pada waktu yang hampir bersamaan meluncurlah tujuh perguruan tinggi BHMN dengan skema pendanaan berupa block grant. Sayangnya, dukungan keuangan dari negara yang dinantikan tak kunjung mengucur. UU Badan Hukum Pendidikan yang terbit pada 2009 bukannya menjadi solusi, melainkan memicu blunder dan akhirnya dibatalkan serta menyeret PT BHMN kembali menjadi PTN dengan pola pengelolaan keuangan BLU yang ruwet.
Pada 2012, UU Pendidikan Tinggi disahkan dan beberapa peraturan pemerintah yang mengatur pelaksanaannya pun telah terbit. Namun, terlalu naif jika kita mengganggap produk hukum ini merupakan kunci yang akan mendongkrak kinerja perguruan tinggi kita dalam pengembangan iptek, sementara kita tahu bahwa dukungan dana untuk itu tidak memadai.
Menurut hemat penulis, dana yang tersedia saat ini hanya cukup untuk biaya operasional penyelenggaraan pendidikan, tidak untuk bersaing dengan negara lain dalam pengembangan iptek. Baru-baru ini, Mendikbud mengungkapkan alokasi anggaran tahun 2014 untuk pendidikan tinggi (di seluruh Indonesia) hanya Rp 3,2 triliun. Bandingkan dengan anggaran National University of Singapore pada 2013 yang mencapai Rp 18 triliun.
25-40 tahun ke depan
Jika nasib bangsa 10-20 ke depan masih suram karena kita ternyata tidak bisa berharap pada perguruan tinggi kita yang seharusnya berperan sebagai "lumbung benih", kepada siapa lagi kita harus menggantungkan harapan?
Dalam situasi seperti ini, satu- satunya yang harus kita jaga adalah anak-anak. Ya, mereka yang saat ini berada di bangku sekolah dasar karena mereka yang akan mengawal bangsa ini 25-40 tahun ke depan. Pertanyaannya sekarang: apakah yang akan kita wariskan untuk mereka? Apakah, misalnya, Kurikulum 2013 yang disusun dengan tergesa-gesa itu merupakan bekal yang mereka perlukan?
Kita tidak mempunyai ruang lagi untuk berbuat salah kecuali kita tidak peduli jika bangsa Indonesia yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa tidak pernah terwujud, malah punah.
Hendra Gunawan
Guru Besar FMIPA ITB
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006277661
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar