Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 06 Mei 2014

TAJUK RENCANA Refleksi Hari Kebebasan Pers (Kompas)

APA yang dapat kita renungkan seusai peringatan Hari Pers Internasional 3 Mei lalu? Salah satunya masih adanya tindak kekerasan terhadap wartawan.
Bagi pers di Indonesia, penuntasan kasus pembunuhan wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafrudin, 18 tahun silam dan pengungkapan sejumlah kasus kekerasan terhadap wartawan masih bergaung kuat.

Dewasa ini, dalam menjalankan aktivitas profesionalnya, wartawan Indonesia—menurut Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 8—mendapat perlindungan hukum. Namun, semangat undang-undang itu belum sepenuhnya dipahami kalangan luas sehingga sampai hari ini masih terjadi tindak kekerasan terhadap wartawan.

Seperti kita baca di harian ini, Senin (5/5), kasus kekerasan terhadap wartawan di Kalimantan Barat, Arief Nugroho dan Faisal, juga kasus kematian wartawan SUN TV, Ridwan Salamun, serta pemimpin redaksi tabloid mingguan Pelangi, Alfred Mirulewan, di Maluku, hingga kini belum dapat dituntaskan pihak berwajib.

Tentu kita harus upayakan penyelesaian hukumnya, tidak saja karena ada hukum yang mengatur, tetapi juga sebagai wujud pembelajaran agar kasus serupa tidak terjadi lagi. Ini penting kita garis bawahi, mengingat tiadanya penindakan tegas terhadap pelaku kekerasan terhadap wartawan dapat mengirimkan sinyal buruk bagi pihak lain untuk melakukan hal serupa di kemudian hari.

Kemungkinan aktivitas wartawan dapat memicu kekerasan terus ada karena sesuai Pasal 6 Butir e UU Pers, pers nasional melaksanakan peran memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Misalnya saja wartawan mengungkap aktivitas usaha yang berdampak negatif terhadap lingkungan, sementara perusahaan terus melakukan praktik tersebut demi efisiensi.

Dalam kaitan ini, Dewan Pers bersama konstituennya, dalam hal ini organisasi kewartawanan (PWI, AJI, IJTI) dan organisasi perusahaan pers (SPS, ATVSI, ATVLI) telah merumuskan satuan tugas anti kekerasan yang diharapkan dapat menekan terjadinya kekerasan terhadap wartawan.

Selain melindungi wartawan saat melaksanakan tugas, pekerjaan rumah lain yang harus terus diupayakan adalah mengawal kemerdekaan pers. Memang kemerdekaan pers Indonesia lebih maju dibandingkan sejumlah negara lain, khususnya di kawasan.

Namun, kebebasan itu tak bisa dipandang sudah bersifat "semestinya begitu" (taken for granted). Selain itu, Ketua Dewan Pers Bagir Manan menegaskan, mahkota pers dewasa ini bergeser dari sekadar kebebasan pers ke kompetensi.

Demikianlah adanya karena untuk apa pers bebas jika tidak dapat mendorong bangsa pada peri kehidupan yang lebih maju dan sejahtera. Justru di sinilah kita membutuhkan kompetensi pada insan pers.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006455658
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger