Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 13 Juni 2014

LAPANGAN KERJA: Subsidi BBM Merawat Ketimpangan (Diskusi Kompas)

BESARNYA subsidi bahan bakar minyak menjadi insentif fiskal bagi pelestarian dan pemburukan ketimpangan ekonomi. Ini bukan tudingan ngawur.

Kebijakan fiskal itu makin takabur, memarjinalkan anggaran penanggulangan kemiskinan sekaligus menggelontorkan insentif bagi perputaran roda-roda mobil orang kaya. Ketimpangan ekonomi di Indonesia memasuki era paling gelap sejak 2011. Rasio gini sebagai indikator menunjukkan tingkat terparah sejak republik ini berdiri. Badan Pusat Statistik mencatat rasio gini naik dari 0,38 pada 2010 menjadi 0,41 pada 2011-2013.

Kesenjangan penguasaan aset ekonomi sebagai akar masalah mengonfirmasi persoalan itu. Data Badan Pertanahan Nasional menunjukkan, 56 persen aset berupa properti, tanah, dan perkebunan dikuasai hanya oleh 0,2 persen penduduk Indonesia. Sementara itu, 26,14 juta rumah tangga tani, menurut Sensus Pertanian 2013, hanya menguasai lahan rata-rata 0,89 hektar per keluarga. Sebanyak 14,25 juta rumah tangga tani lainnya menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar per keluarga. Padahal, ska- la ekonomi minimal 2 hektar.

Di luar penguasaan aset, ada aspek fiskal yang menjadi variabel pelestarian dan pemburukan ketimpangan ekonomi: subsidi BBM atau energi. Apa hubungan antara besarnya subsidi energi dan parahnya ketimpangan ekonomi? Bagaimana menjelaskan hubungan kasualitas keduanya?

Dampak langsung subsidi BBM regresif. Orang miskin sedikit menikmati. Orang kaya lebih banyak menikmati. Efek tak langsungnya justru lebih besar: pemberian subsidi domestik sama dengan mengenakan pajak ekspor. Akibatnya, harga produk yang tidak dapat diperdagangkan meningkat terhadap produk dapat diperdagangkan seperti produk manufaktur. Dengan kata lain, nilai tukar riil meningkat.

Hal ini terbukti dari meningkatnya nilai tukar riil Indonesia sejak krisis ekonomi 1997-1998. Akibatnya, pertumbuhan sektor dapat diperdagangkan yang menyerap banyak lapangan kerja melambat. Industri manufaktur saat ini tumbuh hanya 0,9 persen setelah sempat rata-rata 6 persen per tahun sebelum krisis ekonomi 1998. Karena itu, subsidi energi perlu dikurangi dan direalokasikan kepada program perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan. Faktanya, anggaran subsidi energi dalam lima tahun terakhir terus menggelembung, menguras anggaran negara, dan melampaui pagu. Subsidi energi telah menyandera anggaran pendapatan dan belanja negara dengan memberi insentif konsumtif kepada golongan ekonomi menengah ke atas.

Korbankan pembangunan
Anggaran subsidi energi 2013 menggelembung Rp 50 triliun. Dalam APBN 2014, anggarannya Rp 282 triliun. Dalam RAPBN-P 2014, anggaran subsidi energi menjadi Rp 392 triliun atau 31 persen dari belanja pemerintah pusat. Penggelembungan disebabkan deviasi asumsi nilai tukar rupiah dan produksi minyak siap jual. Untuk mengompensasi besar penggelembungan itu, pemerintah berencana memotong anggaran belanja kementerian dan lembaga negara. Targetnya sekitar Rp 100 triliun dengan pemotongan setiap instansi sekitar 30 persen dari pagu anggaran. Lagi-lagi yang paling banyak jadi korban kebijakan adalah rakyat miskin.

Secara normatif pemotongan anggaran belanja kementerian dan lembaga negara diarahkan untuk program yang tidak terlalu memengaruhi hasil pembangunan, seperti perjalanan dinas. Namun, besarnya target pemotongan membuat pemotongan anggaran infrastruktur sangat berpengaruh terhadap pembangunan.

Misalnya anggaran infrastruktur yang tersebar di tiga sektor: (1) pertanian, kehutanan, dan perikanan; (2) bangunan dan konstruksi; serta (3) pemberdayaan masyarakat dan program padat karya. Berdasarkan simulasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, pemotongan anggaran infrastruktur di tiga sektor itu sekitar Rp 40 triliun, dari Rp 140 triliun menjadi Rp 99,85 triliun. Pemotongan ini menguapkan kesempatan kerja bagi 678.000 orang.

Pada saat yang sama target penurunan kemiskinan pada 2014 cenderung tak tercapai. Dari target jumlah orang miskin 9-10,5 persen total penduduk Indonesia, proyeksinya 10,41-10,69 persen. Pada 2014, total anggaran program pengentasan orang miskin adalah Rp 134,5 triliun dan total anggaran kesehatan Rp 70,5 triliun. Jika digabung sekalipun, kedua anggaran itu masih di bawah anggaran subsidi energi Rp 392 triliun.

Masalah ketimpangan ekonomi pertama kali disebabkan pemerintah melupakan kewajiban pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Kebutuhan pangan pokok, misalnya, alih-alih membangun infrastruktur pengendali pasokan dan harga, pemerintah cenderung menyerahkannya kepada mekanisme pasar. Pemenuhan kebutuhan dasar rakyat memang identik dengan pembangunan infrastruktur dasar. Faktanya, alokasi anggarannya amat minim. Ini lagi-lagi karena besarnya subsidi BBM menguras APBN.

Berdasarkan survei Bank Dunia, 45 persen penduduk Indonesia belum menikmati pelayanan kebutuhan dasar (sanitasi dan air bersih) memadai. Indonesia termasuk yang terendah di Asia Tenggara. Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025 menargetkan 100 persen penduduk Indonesia dapat layanan kebutuhan dasar pada 2019. Dibutuhkan dana Rp 660 triliun.

Persoalannya, rata-rata alokasi anggaran pembangunan infrastruktur dasar dalam lima tahun terakhir hanya Rp 38 triliun per tahun. Jika tak ada perubahan kebijakan subsidi energi, target 100 persen tercapai pada 2031.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007149562
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger