Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 13 Juni 2014

WABAH: Kesenjangan Kesejahteraan Melanda Dunia (Diskusi Kompas)

The New Face of India" judul artikel Time edisi 2 Juni 2014. Pada sampul depan majalah tertera "1,2 Billion People Await His Next Move". Semua judul di atas tak lepas dari kemenangan mengejutkan Narendra Modi dari Partai Bharatiya Janata (BJP) pada pemilu India, pertengahan Mei.
Kemenangan partai nasionalis Hindu ini mencatat sejarah karena menguasai 282 dari 543 kur- si parlemen India. Ini pertama kali dalam satu dekade terakhir sebuah partai politik di India menguasai lebih dari 50 persen kursi di parlemen. Apa di balik pencapaian spektakuler ini?

Masalah kesenjangan yang kian kasatmata di India berada di balik pencapaian Modi. Laporan resmi Pemerintah India menyebutkan bahwa angka kemiskinan di anak Benua Asia itu turun dari 45 persen populasi pada 1994 menjadi 22 persen pada 2012. Namun, angka kemiskinan ini bisa didebat berkaitan dengan definisi yang dipakai. Laporan McKinsey Global Institute yang dikutip Time menyebutkan bahwa 56 persen penduduk India pada 2012 tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup dasar.

Artinya, ada 680 juta penduduk India tak mendapat pangan, air bersih, rumah, sanitasi, dan kesehatan. Naik dari 45 persen (1994) menjadi 56 persen (2012). Kepada Modi yang juga anak seorang penjual teh dan terlahir dari kasta terendah ini, warga India yang miskin mengharapkan perbaikan dan perubahan. Kesenjangan dipersempit.

Paparan kesenjangan di India juga bagian dari kesenjangan yang mewabah di berbagai belahan dunia. Rasio gini di Indonesia sudah 0,41, sebuah indikasi kesenjangan yang kian melebar. Namun, hitungan gini kurang akurat. Pendekatan pendapatan berbasis kurun waktu yang panjang dianggap lebih akurat.

Fenomena Piketty
Pendekatan penguasaan modal dan tatanan ekonomi dunia dalam pengukuran kesenjangan ini diungkapkan Thomas Piketty lewat bukunya, Capital, in The Twenty-First Century. Pendapat Piketty, ekonom asal Perancis, itu meruntuhkan berbagai pemikiran selama ini, antara lain upaya menekan kesenjangan harus melalui pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, pendidikan, dan kesehatan.

Piketty dalam bukunya yang dipuji sekaligus dikritik ini mengungkapkan bahwa kesenjangan di dunia belakangan ini semakin mengkhawatirkan. Piketty mengambil contoh negara dengan kesenjangan rendah, seperti negara-negara Skandinavia. Pada periode 1970-an sampai 1980-an di kawasan itu tercatat 1 persen dari populasi dengan penghasilan tertinggi hanya menguasai 7 persen total pendapatan. Sementara itu, sekitar 50 persen penduduk berpenghasilan terendah menguasai 30 persen pendapatan.

Situasi itu berbeda dari negara-negara di Eropa yang menjadi kawasan dengan tingkat kesenjangan menengah. Pada 2010, 1 persen dari populasi berpenghasilan tertinggi menguasai 10 persen pendapatan nasional. Sementara itu, 50 persen populasi penduduk berpendapatan paling rendah menguasai 25 persen pendapatan.

Adapun di negara dengan kesenjangan tinggi (Eropa pada 1920 dan Amerika Serikat pada 2010) kini 1 persen penduduk berpenghasilan tertinggi menguasai 20 persen pendapatan, sedangkan 50 persen penduduk berpendapatan terendah hanya menguasai 20 persen. Tingkat kesenjangan di sana membentuk huruf U, sebagian besar pendapatan dikuasai segelintir orang.

Mengapa ini terjadi?
Tingkat penghasilan dari modal rupanya lebih besar daripada pertumbuhan ekonomi sebagaimana sebelum Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Penguasaan modal finansial pada segelintir orang itu membuat ketimpangan membesar. Perang kemudian membuat ketimpangan berkurang, tetapi kini kembali lagi karena kapitalisme menguasai permodalan dan pasar keuangan.

Kini, di Amerika Serikat, kesenjangan kesejahteraan kian memburuk. Kesenjangan pendapatan juga terlihat di Australia. Kurva kesenjangan berbentuk huruf U. Tiongkok dan India semakin parah, tetapi Indonesia lebih buruk. Modal masuk sangat deras, tetapi hanya didominasi segelintir penduduk. Di AS, mereka menguasai 42 persen perdagangan saham di pasar modal, 55 persen surat utang, dan 71 persen aset bisnis. Kondisi ini juga mirip terjadi di Indonesia.

Penguasaan modal yang tidak merata dan tatanan ekonomi dunia yang timpang menjadi penyebab utama kesenjangan yang kini mewabah ke berbagai belahan dunia. Laju pengurangan kemiskinan di beberapa negara dilaporkan signifikan, tetapi tidak terjadi di negara-negara sub-Sahara Afrika. Hal ini disebabkan penyebaran modal ke sana relatif terbatas, berakibat tidak adanya kegiatan ekonomi berarti di sana.

Dampak globalisasi
Seruan globalisasi dengan liberalisasi perdagangan pada intinya membuat kesenjangan kian melebar di kawasan tertentu di dunia. Globalisasi dan liberalisasi efektif apabila semua negara dan kawasan sudah berada pada aras sama.

Kenyataannya tidak demikian karena ada julukan negara maju, negara sedang bertumbuh, dan negara sedang berkembang. Sebuah definisi yang intinya melanggengkan kesenjangan.

Indonesia dipastikan tetap mengalami kesenjangan karena keterbatasan akses permodalan. Hanya 20 persen penduduk memiliki akses pada jasa keuangan dari 250 juta penduduk. Tak ada penghasilan dari bunga. Mereka yang berada di sektor informal mencapai 54 persen dari jumlah tenaga kerja. Sektor formal yang lebih memberi kepastian pendapatan tak mendapat perhatian serius.

Ketimpangan perdagangan dunia dan penguasaan modal perlu ditangani jika kita ingin menciptakan ekonomi dunia yang lebih merata dengan kesenjangan yang kian mengecil. Di Afrika, sejauh ini hanya 15 persen penduduk yang memiliki akses pada layanan perbankan, sedangkan di Asia 20-30 persen. Padahal, penduduk di negara maju sudah berada pada aras di atas 50 persen hingga 90 persen.

Pemikiran Piketty layaknya menjadi perhatian serius semua pihak. Akses permodalan yang lebih merata dan tatanan perekonomian yang lebih adil mutlak diperlukan demi menekan kesenjangan. Dan, semua ini hanya perlu sebuah kebijakan dan kesepakatan dari para pelaku, para eksekutor kebijakan.

Menarik mengutip kalimat tokoh anti apartheid dan mantan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela. "Seperti perbudakan dan apartheid, kemiskinan bukan alamiah. Semuanya hasil perbuatan manusia, dan hanya bisa diatasi dan dikurangi oleh manusia," katanya.

Semuanya hanya karena perbuatan manusia.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007149933
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger