Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 26 Juni 2014

TAJUK RENCANA Persoalan Fundamental Kita (Kompas)

PEMERINTAH meyakini pelemahan nilai tukar rupiah selama sepekan terakhir, yang telah menyentuh Rp 12.000 per dollar AS, bersifat sementara.
Sifat sementara tersebut karena mengikuti siklus tengah tahunan, yaitu pembayaran utang swasta yang jatuh tempo. Selain itu, perusahaan asing di Indonesia membagi dividen ke perusahaan induk di negara asal. Permintaan dollar yang lebih tinggi dari biasa tersebut menyebabkan nilai tukar rupiah tertekan.

Penyebab lain, menurut Menko Perekonomian Chairul Tanjung, adalah naiknya impor barang menghadapi bulan puasa dan Lebaran, termasuk bahan bakar minyak.

Di luar faktor rutin tersebut, situasi politik dalam negeri ikut memberi ketidakpastian pada beberapa pemegang obligasi negara. Selain menunggu presiden dan wakil presiden hasil pilpres pada 9 Juli nanti, investor menunggu menteri bidang perekonomian di kabinet mendatang.

Dari berbagai penyebab itu, ada hal yang perlu diperhatian serius oleh pemerintah karena sifat persoalannya mendasar. Pertama, defisit transaksi berjalan dan defisit neraca perdagangan; kedua, harga minyak dunia.

Saat Badan Pusat Statistik mengumumkan defisit neraca perdagangan bulan April lalu, rupiah melemah mencapai Rp 10.800. Defisit tersebut terutama disebabkan impor migas yang mencapai 1 miliar dollar AS dan nonmigas lebih dari 900 juta dollar AS.

Menteri Keuangan Chatib Basri menyebutkan, pemerintah segera mengeluarkan peraturan pemerintah untuk mendorong investor asing menanamkan kembali di Indonesia keuntungan mereka. Namun, peraturan ini tidak dapat segera terasa dampaknya.

Pemerintah belum terlihat menangani persoalan lebih mendasar, yaitu besarnya impor migas yang disebabkan konsumsi 1,3 juta barrel per hari (bph) jauh di atas kemampuan produksi dalam negeri 818.000 bph.   Rencana mengurangi ketergantungan pada migas dan beralih ke energi terbarukan berjalan lambat meski telah bertahun-tahun lama diwacanakan, begitu pun pembangunan kilang minyak baru.

Pengembangan industri dasar nyaris tidak terjadi sehingga pertumbuhan konsumsi ditopang bahan baku dan bahan penolong impor. Pertumbuhan ekonomi yang lebih ditopang konsumsi dalam negeri juga tidak mendorong ekspor produk manufaktur karena terlalu mengandalkan ekspor komoditas.

Sejak tahun lalu pemerintah berusaha menekan defisit perdagangan dengan mengerem pertumbuhan ekonomi melalui pengetatan suku bunga. Pemotongan APBN 2014 juga akan mengerem pertumbuhan. Upaya ini belum membuahkan hasil meskipun ada optimisme memasuki triwulan ketiga dan keempat.

Ekonomi Indonesia harus direncanakan berkelanjutan dan tumbuh sesuai potensi. Berbagai persoalan ini yang memerlukan jawaban tegas dan strategis dari pemerintahan mendatang.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007473698
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger