Mantan anggota DPR yang berstatus negarawan karena posisinya sebagai hakim konstitusi itu dituntut hukuman seumur hidup, denda Rp 10 miliar, serta tuntutan agar dicabut hak memilih dan dipilihnya. Tuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu adalah tuntutan terberat dalam sejarah KPK. Bersamaan dengan tuntutan terhadap Akil, KPK menangkap seorang bupati di sebuah hotel di Jakarta.
Sebelumnya, KPK pernah menuntut Jaksa Urip Tri Gunawan dengan tuntutan 15 tahun penjara. Vonis itu diperberat hakim menjadi 20 tahun penjara. Pada masa Orde Baru, tahun 1977, mantan Kepala Dolog Kaltim Budiadji dituntut hukuman 20 tahun penjara atas dugaan korupsi uang negara Rp 7 miliar. Dengan menggunakan UU Subversi, pada 1977, anggota majelis hakim Saf Larossa memvonis Budiadji dengan hukuman seumur hidup!
Seraya menunggu pembelaan yang akan disampaikan Akil Mochtar dan vonis yang akan dijatuhkan majelis, kita apresiasi progresivitas KPK dalam memberantas korupsi. Sebagai alasan pemberat, KPK menyebutkan Akil telah menghancurkan wibawa Mahkamah Konstitusi. Sebagai penegak hukum, korupsi yang dilakukan Akil saat menangani sengketa pilkada tak sejalan dengan kebijakan pemerintah memerangi korupsi.
Jika diibaratkan sebagai perang, perang melawan korupsi adalah perang yang belum berhasil kita menangi. Sejumlah pejabat tinggi, baik itu menteri, anggota DPR, ketua umum partai, hakim, jaksa, polisi, maupun advokat, masuk dalam jerat korupsi KPK. Retorika pemberantasan korupsi yang dilakukan elite politik sepertinya retorika penuh kepalsuan. Dukungan terhadap KPK diberikan jika kebetulan yang tertangkap tangan bukanlah rekan separtai atau rekan satu golongan. Sebaliknya, jika yang terjerat korupsi adalah rekan separtai atau segolongan, kita justru mendapati pernyataan elite yang justru dimaksudkan untuk mendelegitimasi lembaga anti rasuah itu.
KPK membutuhkan dukungan politik nyata. Strategi pencegahan korupsi harus dilakukan oleh pemerintah, oleh presiden baru yang akan kita pilih pada 9 Juli 2014. Seorang presiden yang punya komitmen kuat memberantas korupsi dan didukung mitra koalisi yang juga betul-betul mempunyai komitmen sama dalam pemberantasan korupsi. Seorang pemimpin yang punya kehendak nyata mengabdikan dirinya untuk Indonesia yang bersih dan memproteksi KPK dari semua kekuatan politik yang justru ingin melemahkannya.
Korupsi tak mungkin bisa diperangi dengan sikap lembut dan kompromistis, apalagi dengan kalkulasi untung dan rugi secara politik. Tuntutan dan vonis hakim harus memberikan manfaat kepada bangsa untuk menciptakan efek jera agar elite bangsa berhenti menjarah uang negara.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007292995
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar