Cari Blog Ini

Bidvertiser

Minggu, 20 Juli 2014

ANALISIS Rudal Buk/SA-11 Gadfly-kah Itu? (Ninok Leksono)

SETIAP kali mendengar musibah pesawat terbang, hal pertama yang mengundang rasa ingin tahu tentu: bagaimana dengan penumpang?

Berikutnya, orang segera teringat penyebab klasik musibah, seperti cuaca, kondisi pesawat, dan awak. Namun, untuk pesawat Malaysia Airlines dengan nomor penerbangan MH17, faktor di atas segera dinafikan.

Mungkin pesawat MH17, yakni Boeing 777-200, ini cukup tua, dibuat pada Juli 1997. Jadi, sudah 17 tahun bertugas. Tetapi, menurut maskapai, pesawat itu punya rekam kesehatan yang baik. Terakhir diperiksa pada 11 Juli 2014 di hanggar Malaysia Airlines di KLIA. Jet dengan mesin Rolls-Royce Trent 800 ini sudah membukukan 75.322 jam terbang dengan 11.434 siklus.

Tampaknya, faktor di atas terdengar tiada kaitan karena menanggapi musibah MH17, seorang pejabat senior Amerika Serikat bergegas menyimpulkan, pesawat tersebut dihantam rudal meski belum menunjuk siapa yang bertanggung jawab (CNN, 17/7). Pesawat terbang dari Amsterdam ke Kuala Lumpur pada ketinggian sekitar 10.000 meter (33.000 kaki) ketika rudal menghantam.

Sebuah sistem radar melihat sebuah rudal darat-ke-udara (surface-to-air missile) menyala dan mengikuti pesawat sesaat sebelum pesawat jatuh. Sistem (radar) kedua melihat kilatan panas (heat signature) pada saat pesawat terkena rudal. Kini, AS sedang menganalisis trayektori rudal guna menyelidiki dari mana serangan itu datang, tambah pejabat AS tersebut.

Sebagaimana telah dilaporkan oleh harian ini, Jumat kemarin, rudal yang dicurigai digunakan untuk menghantam MH17 adalah Buk, yang di NATO dikenal dengan SA-11 Gadfly.

Mengapa dugaan sampai pada SA-11? Ini karena rudal anti pesawat yang diluncurkan dari atas pundak (manned portable air defense systems)—sekarang banyak tersebar di kalangan separatis Ukraina—tak akan mampu menjangkau pesawat terbang komersial yang terbang di ketinggian jelajahnya. Rudal luncur pundak seperti Stinger, yang terkenal di era Mujahidin di awal 1980-an, berjangkauan 3.000-5.000 meter (Intern Military and Defense Encyclopedia, 1993).

Rusia, menurut The Military Balance (IISS, 2013), punya sistem pertahanan udara (hanud) swagerak (self-propelled) seperti Gadfly sebanyak lebih dari 1.500. Tipe lainnya misalnya SA-8 Gecko. Sementara Ukraina juga punya sistem hanud, seperti SA-11 selain versi maju S-300PS.

Warisan Perang Dingin
Sistem rudal hanud Buk dikembangkan Uni Soviet pada 1970-an. Ide awalnya untuk memperkuat sistem hanud SA-6 Gainful yang dikhususkan menghadapi sasaran yang terbang rendah, apakah itu pesawat atau helikopter.

Tahun 1970-an, Soviet merasa perlu melengkapi SA-6 dengan sistem lebih canggih yang bisa menangkal sasaran di ketinggian medium, termasuk ancaman rudal jelajah. Tahun 1972, jadilah sistem penerus SA-6 yang terdiri atas rudal 9M38 Buk yang dioperasikan dari kendaraan peluncur, dan SA-11 pun mulai berdinas tahun 1980.

Rudal Buk, yang panjangnya 5,55 meter dan berbobot 700 kilogram per buah, terus dikembangkan variasinya dan hingga kini masih dipandang andal untuk menghadapi ancaman udara modern. Misalnya, versi lebih modern dari Gadfly adalah SA-17 Grizzly.

Rudal Buk yang mencari sasaran dengan panduan radar ini akan meledak sekitar 20 meter dari sasaran, menyebabkan kerusakan fatal pada mesin pesawat dan sistem kendalinya. Rudal ini juga menimbulkan kerusakan kedua, yaitu membuat bahan bakar meledak, menyebabkan pecahnya sayap dan badan pesawat.

Buk, sebagaimana dijelaskan analis senjata PBB, Ben Rich, (news.com, 18/7) merupakan satu-satunya tipe rudal yang ada di wilayah Ukraina yang bisa menjangkau sasaran setinggi 10.000 meter, yang merupakan ketinggian terbang pesawat komersial.

Selain digunakan untuk kebutuhan sendiri, Uni Soviet, kemudian Rusia, menjual alat utama sistem persenjataan (alutsista) hanud ini kepada negara satelitnya (military-factory.com). Ukraina memiliki alutsista ini, tetapi Presiden Ukraina Petro Poroshenko, seperti dikutip CNN, membantah bahwa tentaranya menembak sasaran di udara.

Di wilayah perang
Meski rudal Buk bisa digelar dalam tempo sekitar lima menit, bagaimanapun, masih dibutuhkan personel terlatih untuk mengoperasikannya.

Jika pembicaraan telepon antara militan yang disebut "cossack" dan atasannya yang transkripnya disiarkan dalam laman ITV (18/7) benar, tersirat pesawat Malaysia Airlines MH17 semula diduga pesawat kargo Ukraina.

Militan juga mempertanyakan, mengapa pesawat melintasi Ukraina. Tidakkah mereka tahu, perang sedang berkecamuk di wilayah itu. Dalam kondisi perang ini, insiden penembakan pesawat di Ukraina cenderung meningkat. Pada 14 Juli lalu, sebuah pesawat transpor Ukraina jenis Antonov An-26 ditembak jatuh di Luhansk. Dua hari kemudian pesawat tempur Ukraina tipe Su-25 ditembak jatuh di Amvrosievka.

Bukan pertama
Penembakan pesawat sipil oleh militer bukan baru pertama kali ini terjadi. AS pernah menembak jatuh sebuah Airbus A-300 Iran Air tahun 1988 karena awak kapal USS Vincennes menduga jet Iran itu adalah pesawat tempur.

Pesawat sipil, menyusul meningkatnya konflik di Ukraina, telah dilarang terbang di atas wilayah itu oleh otoritas penerbangan sejumlah negara. Di pihak lain, pesawat komersial masih ada yang terbang di wilayah perang, seperti Afganistan, tetapi—seperti kata Ben Rich— karena beranggapan dirinya tidak akan ditembak oleh pihak-pihak yang berperang.

Jadi, jika benar MH17 benar- benar jatuh karena rudal Buk, ujar Ben Rich, telah terjadi eskalasi penggunaan tipe peralatan. Dalam arti, jika semula yang digunakan dalam konflik berupa rudal jarak pendek untuk menghantam sasaran militer, atau udara-ke-udara, kini sudah ada penggunaan rudal jarak sedang yang lebih canggih.

Masih belum jelas rudal yang ditembakkan milik siapa dan siapa yang menembakkan. Namun, satu hal yang sudah jelas, kecanggihan rudal itu telah digunakan terhadap sasaran yang salah.

Tidak lama setelah Perang Dingin berakhir, juga muncul kekhawatiran bahwa senjata nuklir bisa jatuh ke pihak yang tidak bertanggung jawab atau tidak profesional. Di sinilah kita bisa belajar tentang pentingnya kontrol proliferasi alutsista berteknologi canggih berdasarkan pengalaman jatuhnya pesawat MH17.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007930441
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger